MUI Tidak Berpatokan Uji Laboratorium Untuk Fatwa Haram Vaksin AstraZeneca

Logo MUI/Net
Logo MUI/Net

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai pedoman baku dalam mengeluarkan fatwa, yaitu tidak menjadikan produk jadi vaksin sebagai bahan uji kesucian dan kehalalan. Tetapi juga dengan menelusuri proses pembuatannya. Sehingga terkait vaksin Covid-19 yang berasal dari AstraZeneca, MUI tidak menjadikan uji laboratorium untuk menetapkan fatwa. 


"Tidak setiap fatwa harus didasarkan pada hasil uji lab," ujar Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, Muti Aintawari dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (23/3).

Dalam pengkajian terhadap vaksin AstraZeneca, LPPOM MUI melakukan kajian dengan menggunakan metode dossier atau pengkajian dokumen-dokumen yang berisi bahan lengkap terkait vaksin Covid-19 yang diproduksi AstraZeneca, dan kajian publikasi ilmiah.

Khusus di dalam kajian dossier, LPPOM MUI menemukan adanya penggunaan unsur babi di dalam dua bahan baku utama produksi vaksin AstraZeneca, dan tidak dibuat hanya di satu pabrik di Korea Selatan, yang merupakan pengimpor untuk Indonesia.

"Ada dua bahan utama untuk memproduksi vaksin AstraZeneca yang melibatkan unsur babi. Yaitu, host cell dan virus seed.  Dua bahan ini tidak dibuat di pabrik Korea," terang Muti.

Karena itu kemudian Muti Aintawari menegaskan, dalam kasus ini menjadi tidak relevan jika uji laboratorium LPPOM vaksin jadi AstraZeneca dijadikan patokan untuk menetapkan kesucian dan kehalalan produk.

"Karena meskipun uji lab tidak mendeteksi adanya babi pada produk akhir, tetap tidak memenuhi persyaratan halal MUI. Karena ada penggunaan unsur babi dalam tahapan proses pembuatannya," demikian Muti Aintawari.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news