Obyek Rencana Eksekusi tak Sesuai Amar Putusan, Kuasa Hukum Debora Sebut Terkesan Ada Upaya Paksa 

Obyek eksekusi yang dinilai tak sesuai amar putusan/ ist
Obyek eksekusi yang dinilai tak sesuai amar putusan/ ist

Kuasa hukum Debora, Akhmad Zainaritho, SH, menyampaikan keberatannya atas rencana pelaksanaan eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Mataram yang dijadwalkan berlangsung Kamis, 24 April 2025. 


Keberatan tersebut telah resmi disampaikan melalui surat kepada PN Mataram. Rabu, 23 April 2025

Menurut Zainaritho, eksekusi itu didasarkan pada Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 366/PK/Pdt/2023 dalam perkara pokok 143/Pdt.G/2019/PN MTR. Namun, menurutnya jika putusan itu tidak dapat dieksekusi lantaran sejumlah alasan hukum dan teknis di lapangan.

 "Kami menilai ini bentuk upaya paksa yang tidak sah karena putusan PK tersebut bersifat deklaratif dan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Kemudian objek yang akan dieksekusi juga tidak sesuai dengan amar putusan, bahkan tidak ada dalam perkara pokok," ujarnya.

Zainaritho menegaskan, ada lima alasan mendasar mengapa putusan PK tidak dapat dieksekusi:

1. Putusan bersifat deklaratif atau konstitutif, bukan condemnatoir, sehingga tidak dapat dieksekusi.

2. Objek eksekusi tidak sesuai atau tidak ada, bahkan beberapa sertifikat yang disebut tidak termasuk dalam perkara pokok.

3. Amar putusan tidak mungkin dilaksanakan, terutama jika objek telah berpindah tangan atau berada dalam penguasaan pihak ketiga.

4. Harta kekayaan tidak ditemukan, sehingga tidak ada yang bisa dieksekusi.

5. Objek berada di tangan pihak ketiga, yang tidak menjadi pihak dalam perkara hukum tersebut.

Ia juga menyoroti hasil konstatering (peninjauan lokasi eksekusi) yang dinilainya keliru dan fatal. Beberapa objek yang tidak tercantum dalam perkara pokok justru dimasukkan dalam berita acara konstatering oleh pemohon eksekusi. Dalam proses tersebut, keberatan pihaknya juga telah dicatat secara resmi.

 "Sertifikat klien kami yang masuk dalam berita acara eksekusi tidak pernah disengketakan dalam perkara pokok. Bahkan, sudah ada dua sertifikat yang dimiliki pihak lain, juga tidak relevan dengan perkara, namun tetap dimasukkan dalam objek eksekusi. Ini berbahaya," jelasnya.

Ia pun mendesak agar dilakukan pengukuran ulang (konstatering ulang) untuk memastikan kejelasan objek sengketa sebelum tindakan eksekusi dilakukan. Jika keberatan ini diabaikan dan eksekusi tetap dipaksakan, Zainaritho menyatakan akan menempuh jalur hukum.

"Kami akan melawan. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi bisa dikategorikan sebagai perampasan hak milik yang sah. Kami akan memperkarakan siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran terhadap hak klien kami," tegasnya.

Sementara juru bicara Pengadilan Negeri Mataram Lalu Sandy saat di konfirmasi oleh awak media terkait adanya eksekusi ini belum dapat memberikan penjelasan karena sedang menjalani sidang Tipikor. 

"Saya masih sidang Tipikor, coba langsung ke bagian informasi saja' jawabnya. 

Kasus ini mencerminkan kompleksitas pelaksanaan eksekusi dalam hukum perdata, khususnya ketika objek sengketa tidak lagi berada dalam kondisi yang sesuai dengan putusan pengadilan. Dalam hukum, eksekusi hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir), memiliki objek yang jelas, dan berada dalam penguasaan tergugat.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news