Pembagian Sembako Bagi Masyarakat Terdampak Covid-19 Tidak Praktis, Ini Alasannya

Pemberian bantuan berupa paket sembako ke masyarakat terdampak pandemik Covid-19 dinilai tidak praktis dan efektif.


“Mengapa harus paket sembako yang diberikan kepada rakyat? Kenapa tidak uang tunai saja. Bukankah uang tunai lebih praktis, lebih cepat sampai, dan lebih fleksibel. Sehingga tidak butuh ongkos kirim, tidak butuh ongkos tenaga kemas paket, tidak butuh ongkos transportasi,” terang pengamat sosial politik, Muhammad Trijanto kepada Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (21/4).  

Trijanto menambahkan, pembagian paket sembako membutuhkan anggaran dua kali lipat. “Nanti ujung-ujungnya dibuat alasan untuk memotong jatah rakyat,” ujarnya.

Lanjutnya, pembagian bantuan paket sembako tidak semuanya sesuai kebutuhan masyarakat. Pasalnya, kebutuhan masyarakat berbeda-beda.

“Apakah beras bisa dimakan bila tidak ada gas? Apakah aktifitas kerja dan belajar anak di rumah bisa berjalan bila listrik tidak dibelikan token? Sepertinya rakyat lebih paham tentang kebetuhan dapurnya sendiri. Sebaiknya soal rasa menu harian dapur, pemerintah tidak boleh intervensi terlalu masuk ke dalam. Karena rakyat punya kebutuhan gizi dan selera rasa masing-masing,” imbuhnya.

Yang paling mengejutkan di lapangan, kata Trijanto, aktivitas masyarakat dilarang termasuk saat bekerja keluar rumah.

“Aktivitas masyarakat keluar rumah dilarang. Bapak-bapak yang punya upah harian dengan tanggung jawab 3-4 orang dalam satu KK, tentu akan tetep keluar cari makan untuk hidup keluarganya. Meskipun turun bantuan dari negara pada keluarga yang berdampak Covid-19, tentu masih sangat jauh dari cukup. Itu juga kalau benar benar turun. Faktanya sampai hari ini masih banyak yang belum sekalipun terima bantuan,” urainya.  

Bapak-bapak itu, tambah Trijanto, lebih memilih mati di jalan sebagai pahlawan keluarga daripada mati konyol di rumah karena kurang makan.

“Berjuang mati nggak berjuang juga mati. Dan lebih baik harus terus tetap berjuang hingga titik darah penghabisan,” tuturnya.

Selain bapak-bapak, ada juga barisan emak-emak. Mereka tetap akan keluar rumah untuk belanja sayur dan sejenisnya demi menjaga gizi keluarganya.

Dan emak-emak jaman sekarang sudah lebih paham apa arti jaga jarak. Terkadang, justru emak-emak itu bertanya pada yang punya kebijakan yang notabene selalu dikerumuni ahli gizi.

“Mereka bertanya apakah mie instan yang dibagikan melalui paket sembako itu makanan sehat? Apakah biskuit bakal mampu mengenyangkan untuk ukuran perut indonesia? Ingat jatah paket sembako itu hanya untuk kebutuhan 2 sampe 3 hari saja. Buat yang satu keluarga isinya ada 4-5 orang,” tandasnya.

Karena itu, Trijanto menyarankan agar pemerintah lebih cerdas lagi dalam membuat kebijakan. Jangan asal bagi sembako secara instan tapi tidak memandang kesehatan. Apalagi jika kebijakan itu dibuat hanya untuk kepentingan oligarki.  

“Jangan sampai kebijakan ini hanya menguntungkan pengusaha lingkaran kekuasaan saja. Haram hukumnya mencari untung di tengah penderitaan rakyat. Haram !!! Haram !!! Kalaupun nanti ditemukan adanya dugaan korupsi, para pelaku harus segera dilempar ke bui dan dihukum berat,” kritiknya.

Trijanto mengingatkan bahwa salah satu tugas utama pemimpin itu adalah untuk mencari solusi dan sanggup mensejahterakan rakyatnya.

“Bila sekedar gagah gagahan jadi pemimpin untuk apa? Bila tidak mampu mengatasi masalah rakyat, ya bilang saja nggak mampu dan nggak sanggup saja. Lagi pula uang yang dibagikan itu juga uang rakyat, untuk kepentingan darurat isi perut rakyat pula. Kemudian bila ada yang bilang, ‘syukuri saja pemberian paket sembako, masih bersyukur ada yang rela memberi bantuan’, justru orang yang bilang begitu tergolong lemah pikiran dan tidak punya kemampuan mengelola daya kritis secara obyektif. Ini soal kebijakan publik, soal uang rakyat yang harus diberikan, soal hak rakyat, soal pengawasan kebijakan, serta soal kemampuan pemimpin membaca situasi sosial dan solusi atraktif untuk rakyat,” pungkasnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news