Peran Oposisi Nonparlemen

Istana Merdeka, Jakarta/Net
Istana Merdeka, Jakarta/Net

SEBENARNYA agak berat, apabila menyatakan keberadaan oposisi di Indonesia. Kata oposisi kemudian dihaluskan menjadi penyeimbang, yaitu mengimbangi pendapat sikap dari kelompok mayoritas yang merupakan arus utama, dengan memperjuangkan antitesis dibandingkan tesis dari suara mayoritas tersebut. 

Keseimbangan tersebut diyakini amat sangat penting untuk menjaga keberlanjutan suatu pemerintah dalam koridor dan rel laju pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan kesepakatan pada kepentingan-kepentingan nasional.

Pada periode pemerintahan Soeharto, kejatuhan Soeharto diyakini anntara lain karena tekanan luar biasa yang meminimumkan peran oposisi, baik di dalam parlemen maupun non parlemen.

Dewasa ini, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagaimana Susilo Bambang Yudhoyono maupun Joko Widodo lebih memilih membangun penguatan koalisi parpol di parlemen sebesar mungkin.

Maksud mereka selain berbagi kekuasaan, adalah memininumkan potensi perbedaan-perbedaan pendapat dalam mempraktikkan jalan pemerintahan, sehingga pemerintahan dapat berjalan lebih mulus tanpa benturan-benturan yang berpotensi lebih sering terjadi, apabila keberadaan parpol koalisi tidak terdukung dalam parlemen dan eksekutif. Hal ini bermaksud untuk memudahkan proses dialektika.

Meskipun demikian, untuk kondisi di luar pemerintahan legislatif dan eksekutif, tetap saja terdapat kelompok-kelompok kepentingan yang menjalin keberadaan sebagai oposisi nonparlemen.

Mereka ini bertindak sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didukung di bawah meja, di samping meja, atau bahkan di atas meja oleh parpol di luar koalisi, baik secara formal, nonformal, maupun untuk dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Dukungan terhadap LSM tersebut terkesan seringkali juga didukung oleh kelompok-kelompok kepentingan dari negara-negara sahabat, maupun negara mitra kerja yang mempunyai blok-blok berbeda, yakni ketika pemerintah Indonesia mengambil posisi sebagai negara nonblok.

Dukungan terhadap kelompok koalisi nonparlemen ini sedemikian nyata, yang terkesan dibina melalui sosialisasi dan pembinaan, bukan hanya melalui dukungan pendidikan kuliah ke luar negeri, maupun pertemuan, rapat-rapat yang telah dibina dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Bukan juga menggunakan dukungan material dan keuangan secara selektif, sehingga oposisi nonparlemen mempunyai komunitas yang relatif militan guna menyeimbangkan pendapat pemerintah. Minimal mampu mengguncang-guncang untuk mempengaruhi antitesis terhadap tesis yang dianut pemeritah.

Misalnya isu yang digarap menggunakan mekanisme persidangan pada tatausaha negara, perdata, dan pidana mengenai ijazah palsu dan skripsi palsu Joko Widodo.

Walaupun putusan pengadilan tentang isu PKI telah berlalu, persoalan dilanjutkan bukan hanya mempersoalkan keabsahan ijazah SD Joko Widodo, SLTP, SLTA, dan sarjana S1 Universitas Gajah Mada (UGM), bahkan bertambah dengan masalah foto di buku pernikahan.

Pendekatan yang digunakan oleh oposisi nonparlemen adalah keilmiahan atas dasar uji analisis digital forensik, uji analisis telematika, dan uji morfologi foto yang dipraktikkan bukan terhadap ijazah asli dan skripsi asli pemberian Joko Widodo maupun yang diserahkan oleh UGM, namun dinyatakan sebagai klaim palsu.

Lebih jauh, keilmiahan dianggap sebagai kegiatan yang tidak layak dipidanakan atas dugaan penghasutan dan pencemaran nama baik. Beberapa informasi yang digunakan oleh pihak terlapor untuk mengguncang-guncang keaslian ijazah dan skripsi, antara lain adalah foto, bentuk tanda tangan pengesahan.

Informasi lainnya adalah nama penandatangan pengesahan, jenis huruf (font), cetakan versus pengetikan, lembaga pencetak skripsi, maupun bukti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), kegiatan kuliah, teman-teman kuliah seangkatan dan lain angkatan di UGM, bukti ketercantuman penerimaan mahasiswa baru.

Publik diminta diperkenankan mengakses ijazah dan skripsi asli secara langsung dan mengabadikannya. Terlapor sebagai oposisi nonparlemen meminta diajak kehadiran dalam menguji laboratorium forensik Polri.

Ketidakpercayaan terhadap Kapolri Listyo Sigit yang masih menjabat sebagai Kapolri sebagai orang Joko Widodo yang dikhawatirkan mempengaruhi dependensi Puslabfor Polri.

Para terlapor juga terkesan meyakini bahwa telah terjadi konspirasi untuk menjaga marwah Joko Widodo untuk memproduksi ijazah dan skripsi, di mana banyak sekali pejabat tinggi rektorat di UGM terlibat, termasuk dosen pembimbing yang diduga melakukan pelanggaran berupa pemalsuan ijazah dan skripsi.

Selanjutnya penggunaan tuntutan sanksi pidana lebih dari lima tahun bahkan sepuluh tahun, yang akan memenjarakan para saksi terlapor sebagai kekhawatiran tindakan kriminalisasi berdasarkan historis di masa lalu, seperti pada kasus Bambang Tri, Gus Nur, dan KM 50.

Tidak cocok terhadap Puslabfor Polri terlebih menguji keaslian ijazah palsu, melainkan mengharapkan uji keaslian ijazah diharapkan oleh kuasa hukum terlapor dipraktikkan sebagai langkah terakhir terhadap uji kepalsuan ijazah dan skripsi.

Bukan hanya independensi dan integritas Puslabfor Polri dan UGM terkesan yang diragukan kebenaran dan integritasnya oleh kuasa hukum terlapor. Persoalan konsistensi penggunaan gelar doktorandus dan insinyur.

Sebenarnya masih banyak lagi argumentasi untuk mendegradasikan upaya-upaya yang bertujuan untuk meragukan integritas dan kredbilitas dari lembaga persidangan, baik terhadap hakim, jaksa, dan Polri, maupun UGM, termasuk institusi SLTA, maupun terhadap persidangan keaslian ijazah SD, SLTP, dan kemurnian asal usul keturunan Joko Widodo.

Demikian pula dengan tingkat kepandaian Joko Widodo pada waktu sekolah. Di samping itu dengan degradasi ambiguitas antara fenomena kebohongan dibandingkan kegagalan kinerja tim dalam memproduksi pembangunan nasional.

Singkat kata, sungguh tidak mudah untuk lembaga pengadilan dalam membuktikan berkinerja membangkitkan kepercayaan terhadap masyarakat. Ada banyak sekali informasi, yang secara metodologi penelitian kualitatif perlu dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan metode triangulasi untuk setiap ketidakcocokan informasi tersebut di atas.

Sebagaimana persidangan-persidangan yang bersifat kontroversial dan viral, yang menyajikan secara persidangan terbuka, maka kualitas persidangan merupakan mekanisme penting guna meraih kepercayaan masyarakat secara luas.

Dalam hal ini setiap anti tesis yang dilakukan penyerangan terhadap tesis-tesis yang dilakukan oleh oposisi nonparlemen, yang telah bersatu padu, perlu dibuktikan untuk dikalahkan oleh tim pengacara pelapor di pihak Joko Widodo.

Ini suatu pertaruhan untuk membuktikan kebenaran tehadap serangan penggunaan isu ijazah palsu dan skripsi palsu.

*Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana

ikuti terus update berita rmoljatim di google news