- Besok, KPU Surabaya Gelar Debat Publik Pilwali 2024 Kedua
- Closing Statement Luluk-Lukman: Kepemimpinan untuk Keadilan dan Kemakmuran Jawa Timur
- Calon Bupati Ngawi Sampaikan Visi dan Misi
DEBAT pilkada adalah salah satu panggung elektoral yang mulai mendapat perhatian serius di era baru politik virtual dan digital. Panggung ini juga mendapat atensi, sorotan banyak media sehingga mendapatkan pemberitaan luas di masyarakat.
Panggung singkat ini adalah wahana kontes politik untuk menunjukkan kemampuan (kapasitas) dan kompetensi serta daya saing para kandidat secara langsung. Para kandidat bisa diperbandingkan secara langsung _head to head_ dengan paslon yang lain.
Dalam debat publik, para kandidat ditantang tidak hanya memiliki kemampuan dalam memahami dan menyampaikan _policy_ strategis dan teknis, tetapi juga dituntut untuk memiliki kemampuan pengetahuan nonteknis. Kandidat harus bisa menampilkan banyak surplus dibanding kandidat lain. Tentu saja tidak sekadar surplus sebagai lipstik artifisial tetapi substantif.
Para kandidat ditantang untuk bisa memiliki kemampuan komunikasi publik yang impresif dan emphatik. Gaya komunikasi ini terbukti lebih cocok dan manjur untuk diterapkan di panggung kontestasi pemilu pilkada di Indonesia.
Pangung debat pilkada Indonesia sejatinya bukan sekadar peragaan komunikasi adu kepintaran pengetahuan semata _(ansich)_, tetapi sesungguhnya lebih kompleks, adalah adu keunggulan banyak faktor kombinatif. Pemenangnya bukan siapa yang bisa menjatuhkan lawan dan membuat lawan malu tak berkutik. Namun, lebih banyak terkait dengan bagaimana para kandidat bisa mengembangkan gaya dan strategi komunikasi etis, elegan yang mengesankan, full emphatik dalam komunikasi publik.
Jadi pemenang debat pilkada adalah mereka yang memiliki kemampuan membangun komunikasi emphatik, bisa menenggang lawan secara bijaksana sehingga bisa merebut simpati dan perhatian publik.
Kandidat melalui panggung debat dibatasi waktu dan potensi terlepas dari konteks dan pemahaman yang utuh, para kandidat harus bisa tampil impresif menyuguhkan citra diri dihadapan para pemirsa dan pemilih sehingga akan nampak elegan, smart, bijak, dan memenuhi ekspektasi pemirsa.
Impresi ini menjadi kunci karena kandidat harus memahami konten dan konteks komunikasi secara komprehensif. Tidak hanya soal isi komunikasi, tetapi juga soal latar dari komunikasi publik yang diperagakan.
Mengutip elemen retorika dari Aristotles (2018), para kandidat dalam debat harus bisa memenuhi 3 elemen gabungan agar bisa berbicara persuasif yaitu memenuhi ethos yaitu etika atau kredibilitas. Kemudian logos yaitu logika atau fakta dan pathos yaitu emosi atau perasaan. Pada intinya makin tinggi kredibilitas etis komunikator maka makin tinggi daya persuasi dan penerimaan pesan.
Dalam konteks ini kita bisa memahami mengapa kadang debat publik bisa menghasilkan impact yang berbeda. Yang nampak jago berdebat belum tentu selalu bisa mendapat simpati publik. Jadi jangan heran kalau ada kandidat terlihat cerdas, pintar, tetapi kalau kandidat tsb gagal memahami konteks etika komunikasi maka ia bisa gagal mendapatkan perhatian publik dan tone positif dari media.
Dengan demikian, kandidat harus bisa menyesuaikan dengan konteks lingkungan, sosio budaya, lingkungan,dan logika publik. Komunikasi publik benar benar diuji agar sesuai baik di level mikro, meso maupun makro. Konten dan konteksnya seyogyanya sesuai, pas dengan momentum ruang dan waktu yang ada.
Inilah tantangan sesungguhnya dalam debat pilkada sebagai sebuah panggung politik. Bagaimana kandidat bisa menampilkan komunikasi politik yang impresif persuasif kepada pemilih sehingga mendapat _tone positif_.
Olah karena itu dalam komunikasi publik sesungguhnya para kandidat dituntut bisa tampil secara elegan, bijak dan positif. Dalam bahasa yang sederhana, mereka bisa memahami, memiliki modal etik, modal sosial sopan santun dalam komunikasi publik. Kandidat tidak merendahkan kandidat lawan, tidak menyerang personal, tetapi elegan bisa memberi masukan dengan baik. Mereka bisa memahami prinsip _mikul dhuwur mendem jeru_, praktik budaya jawa. Dengan demikian debat bisa inklusif dan beretika.
Sering saya sampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa para kandidat harus bisa memahami dan merasakan betul perbedaan antara memukul dan mencubit manakala menyampaikan kritik, memberi evaluasi dan masukan. Hal ini penting karena sesuai dengan budaya tinggi (high context) masyarakat kita.
Bahkan di era politik virtual digital, para kandidat harus bisa mengembangkan komunikatif emphatik sesuai dengan kebutuhan konteks politik virtual digital saat ini. Komunikasi yang tidak mengurui dan mendikte, tetapi lebih banyak menginspirasi dan mencerahkan.
Sebagai panggung depan yang dibatasi waktu, para kandidat tentu saja harus hati hati didalam menyampaikan pandangan, khususnya terkait dengan pemilihan diksi kata, memberi penilaian dan kritik terhadap lawan. Jangan membuat konflik baru dan polarisasi dalam masyarakat.
Panggung debat pilpres 2024 memberi pelajaran berharga kepada kita semua. Jika kandidat tidak hati hati dalam memberi respons negatif seperti memberi penilaian dan skore. Jika hal itu dilakukan secara serampangan dan negatif maka bisa membuat publik antipati. Jadi hati hati jangan terjebak kepada pancingan untuk memberi score nilai kepada lawan yang ekstrim. Hal itu ternyata bisa memukul balik kandidat.
Dalam konteks budaya tinggi masyarakat Indonesia yang didominasi budaya Jawa perlu untuk mengemas komunikasi publik dibungkus agar tidak kasar, bisa menjadi elegan dan emphatik.
Komunikasi publik yang empatik dan impresif mensyaratkan adanya kemampuan memahami logika dan psikologi massa secara komprehensif. Termasuk bisa memertimbangkan kondisi dan situasi kebatinan audiens.
Kemampuan komunikasi emphatik ini tentu berkaitan dengan konteks dimana debat itu digelar. Dalam konteks sosio budaya masyarakat timur ada unggah ungguh dalam komunikasi debat publik yang tentu berbeda konteks dengan masyarakat barat.
Apalagi saat ini ada trend dimana pemilih lebih menghargai kandidat yang bisa tampil komunikatif, emphatik, elegan, arif bijaksana, dan beretika serta tampil asli apa adanya _(genuine)_.
Kandidat harus bisa memberi respons yang elegan dengan menempatkan liyan sebagai partner dan audiens komunikasi yang setara dan full respek.
Debat publik di Indonesia memang jika dilihat dari rasa komunikasi akan lebih pas jika dikatakan sebagai sharing ide gagasan aksi publik yang bermakna. Debat publik yang didedikasikan untuk memberi bekal pemahaman akan isu isu substantif.
Ajang ini sesungguhnya merupakan media menyampaikan visi misi program impresif sehingga bisa menjadi ajang edukasi publik dan sarana untuk berbagi inspirasi kreasi dan inovasi kebijakan publik.
Saya percaya jika ruang itu digunakan sebaik baiknya maka impresi publik akan mudah diperoleh. Jika itu sudah didapat maka dukungan akan mengalir dan tingkat keterpilihan (elektabilitas) kandidat akan naik. Selain itu impresi ini juga akan meningkatkan partisipasi publik dalam pilkada.
Secara umum debat pilkada 2024 menurut saya lebih baik jika dibandingkan debat kandidat pada pemilu sebelumnya. Masing-masing paslon sekarang ini terlihat lebih siap, hangat, dewasa dan kian menunjukkan kualitas dalam berkomunikasi di ruang publik.
Yang menarik dicermati dalam pilkada kali ini adalah teknik komunikasi yang menggunakan serangan langsung terbuka yang sifatnya personal dan pribadi. Hal ini masih kerap dilakukan khususnya oleh para kandidat penantang. Strategi ini masih banyak yang belum efektif karena gagal mengemphati lawan.
Gaya debat yang _straight to the point_ dengan menembak langsung paslon, khususnya kepada para petahana patut dikembangkan hati hati dan perlu diberikan catatan dan evaluasi.
Teknik ini memang memiliki efek plus untuk mengambil peluang pada ceruk pemilih kritis menengah atas perkotaan. Teknik ini sebenarnya cocok dipakai sebagai strategi darurat untuk mengerek elektabilitas jangkan pendek.
Strategi itu juga bagus untuk menyasar pemilih perkotaan yang _low context_ dan masyarakat yang memiliki gaya komunikasi tingkat rendah. Efektif untuk menyasar pemilih milenial perkotaan.
Namun, jika diterapkan di Indonesia yang didominasi budaya _high context politics_, termasuk dalam konteks debat Pilkada, gaya menyerang secara lugas dan terbuka bisa menjadi senjata makan tuan jika tidak dilakukan dengan hati-hati.
Teknik memukul langsung _straight_ menurut saya sering kurang efektif. Dalam pandangan saya, gaya itu kerap menghasilkan antipati publik. Komunikasi memang jujur, lugas, terlalu vulgar, tetapi kurang persuasif dan kurang empatik. Hal ini kerapkali yang masih sering diperagakan dalam melakukan kritik. Gaya itu lebih dekat dikatakan sebagai memukul dan menjatuhkan dan sulit untuk efektif
Menurut saya ada perbedaan antara memukul dan mencubit. Hal itu yang perlu dipahami sehingga butuh kemasan dan gaya yang lebih empatik lagi. Saya pikir strategi lugas itu hanya cocok dikembangkan untuk bisa menyasar ceruk para pemilih rasional dan _swing voters_ di perkotaan.
Secara umum, saya berharap debat kandidat bisa meningkat kualitasnya. Debat bisa menjadi ajang edukasi dan literasi politik serta bisa menjadi referensi bagi pemilih.
Masing-masing paslon sudah menyuguhkan perdebatan yang menarik dan hangat. Termasuk bagaimana para paslon menawarkan solusi, baik di level policy maupun operasional jangka pendek dan jangka panjang.
Catatan saya terhadap semua paslon di sesi mendatang perlu penguatan lagi untuk policy strategis sehingga bisa lebih menguatkan strategi di level operasionalnya. Tidak saja mengandalkan _best practices_, tetapi juga penguatan _future practices_ sehingga para paslon bisa menunjukkan visi kepemimpinan publik yang progresif visioner. Selain itu juga bisa membuat pendidikan politik lebih bermartabat.
Peneliti Media dan Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM)
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Future Practices & Re-Up Skilling SDM Perti di Era Transisi
- Besok, KPU Surabaya Gelar Debat Publik Pilwali 2024 Kedua
- Closing Statement Luluk-Lukman: Kepemimpinan untuk Keadilan dan Kemakmuran Jawa Timur