PORWANAS (Pekan Olahraga Wartawan Nasional) harus kembali ke marwahnya. Demikian kata salah kawan dari media online papan atas di grup whatsap balbalan, beberapa hari lalu.
- Menunggu 2 T
- Ketika Menunda Pemilu 2024 Menjadi Skandal Politik
- Tarekat Generasi Algoritma
Pernyataan singkat itu kemudian memantik diskusi panjang member grup lainnya.
"Iya neh. Kita yang wartawan beneran harus susah-susah ikut UKW (Uji Kompetensi Wartawan) beberapa hari demi profesi. Eh yang bukan wartawan ikut UKW juga dan lolos hanya demi Porwanas,†ucap kawan wartawan dari media cetak.
"Mana harus bayar lagi,†timpal kawan wartawan handal dari salah satu televisi nasional sambil diberi emoticon marah.
Diskusi lalu mengalir makin seru. Tapi seperti biasa, selalu diselingi canda tawa.
Yup, sudah sangat sering ihwal Porwanas menjadi bahasan di grup whatsap yang saya ikuti yang isinya mayoritas memang wartawan itu.
Tak hanya di grup whatsap, ajang yang biasanya digelar mengiringi pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) itu kerap jadi pembicaraan sebelum dan sesudah kami bermain bola, atau di sela liputan.
Tak cuma di ibukota, soalan Porwanas ini juga menjadi rasan-rasan ketika saya berada di Kota Pahlawan. Dan juga ketika saya balbalan bersama teman-teman wartawan di belahan kota di tanah air lainnya.
"Topik pembicaraan hampir pasti mengarah ke Porwanas itu jelas-jelas ajangnya wartawan. Tapi kok ada yang bukan wartawan ikut ambil bagian. Ini tidak benar. Harus diluruskanâ€.
Tentu saja, kawan-kawan itu tidak asal njeplak. Mereka punya data kuat dan akurat bahwa sudah beredisi-edisi Porwanas pesertanya tidak wartawan murni.
Sudah menjadi rahasia umum bila beberapa (banyak) kontingen merekrut atlet bukan katagori wartawan untuk tampil di Porwanas.
Demi gengsi juara pastinya.
Yang bikin dahi betul-betul berkernyit dan kepala nyut-nyut, praktek ini berjalan lama dan terindikasi kuat diketahui oleh senior-senior atau sebutlah para petinggi kepengurusan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) daerah masing-masing.
Tapi dibiarkan.
Malah cenderung didukung.
Lagi-lagi demi gengsi juara daerahnya.
Sementara kawan-kawan saya yang merasa sebagai wartawan asli dan memenuhi syarat, serta cukup kemampuan untuk bersaing ambil bagian malah tersisih oleh oknum-oknum bukan wartawan.
Sudah sepantasnya mereka mempertanyakan.
Sewajarnya kawan-kawan seprofesi saya itu resah dan kecewa.
How come, posisi yang semestinya bisa mereka isi, eeeh malah dinikmati oleh oknum bukan wartawan.
"Katanya Porwanas ini salah satu tujuan utamanya adalah ajang silaturahmi wartawan tanah air. Kok yang bukan wartawan (di)ikut(kan)? Ini sama saja penghinaan profesi kita sebagai wartawan,†beber kawan wartawan di Kota Pahlawan usai bermain bola beberapa hari lalu di lapangan yang bersebelahan dengan tempat parkir bis pariwisata itu.
"Kondisi ini sudah berjalan lama. Harus diakhiri. Saya pernah menolak ikut Porwanas karena tahu tim diisi banyak pemain yang bukan wartawan,†lanjut kawan satunya yang biasa main di posisi gelandang.
Tak hanya cabang olahraga sepak bola saja yang ditengarai kuat disusupi pemain bukan wartawan. Cabor-cabor lain yang dipertandingkan juga tak beda.
Dan tak hanya Porwanas, event lain yang bertitle Liga Media dan sejenisnya yang berbau media pun situasinya serupa.
Tak sedikit pemain silumannya.
Seolah berkhotbah, kawan lain yang sedang nyruput teh anget tanpa gula tiba-tiba berdiri. Sambil bersungut-sungut dia mengatakan, "Saat menjalankan tugas kewartawanan kita ini bersemangat sekali saat menulis atau membuat liputan kalau ada tim yang memainkan pemain tidak sah, atau pemain palsu,†katanya.
"Lha masa iya, ini ajangnya wartawan, ya ajangnya wartawan, yang namanya Porwanas, memainkan pemain yang bukan wartawan malah dibiarkan. Malah seolah dilestarikan. Lagi pula apa yang dibanggakan sih jika bisa menjadi juara Porwanas tapi atletnya bukan murni wartawan. Dimana kebanggaan dan kepuasannya? Logikanya dimana?â€
Ya, betul. Dimana kehormatan kita sebagai wartawan.
Ali Mahrus
Wartawan Senior Juga Anggota Siwo
ikuti terus update berita rmoljatim di google news