Reformasi Gagal Total

Tom Pasaribu/Ist
Tom Pasaribu/Ist

BANYAK aktivis yang menjadi tokoh reformasi 1998 saat ini telah menguasai DPR dan pemerintahan. 

Namun apa yang aktivis perjuangkan ketika menggulingkan Orde Baru yang dikomandani Soeharto, ternyata mereka praktikkan sendiri saat ini. 

Adapun agenda perjuangan mereka ketika menggulingkan Orde Baru, di antaranya menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penegakan supremasi hukum, dan pencabutan Dwifungsi ABRI.

Harapannya bisa menciptakan sistem politik yang lebih demokratis, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Sangat mulia perjuangan dan agendanya. Namun agenda tersebut justru berbanding terbalik dengan fakta dan kenyataannya. 

Mari kita ulas satu persatu.

Menciptakan Pemerintahan yang Bersih dari KKN

KKN pada era Orde Baru hanya dilakukan kelompok-kelompok kecil yang sangat dekat dengan kekuasaan. Pemerintah masih mampu membatasi KKN.

Pada pemerintahan era Reformasi, KKN justru semakin tumbuh subur dan menyebar ke seluruh aspek. Mulai dari keluarga Presiden, DPR, MPR, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Polri, TNI, Kementerian, BPK, BPKP, KPK, BUMN, partai politik, DPD, Kejaksaan, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Kelurahan, RW dan RT.

Penegakan Supremasi Hukum

Penegakan hukum pada zaman Orde Baru dianggap lemah sehingga mengganggu keadilan, kehakiman yang tidak independen, kurangnya partisipasi masyarakat, hukum sering digunakan sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, kualitas penegak hukum yang lemah dan penegakan hukum yang menyebabkan ketidak puasan masyarakat.

Pada zaman Reformasi penegakan hukum jauh lebih tidak beradab dan berkeadilan. Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya penegak hukum yang tersandung kasus korupsi, termasuk hakim.

Sementara dalam penuntasan kasus dilakukan tidak berkeadilan dan beradab, seperti pencuri ayam jauh lebih berat hukumannya dari perampok triliunan uang rakyat.

Kasus-kasus hukum dijadikan komoditi, seperti kasus ekspor impor emas Batangan dan tambang ilegal yang sampai saat ini tidak jelas penuntasannya. 

Bahkan rekayasa kasus hukum dijadikan sebagai alat terhadap lawan politik, maupun terhadap kelompok yang dibenci.

Pencabutan Dwifungsi ABRI

Pada era Orde Baru Dwifungsi ABRI berdampak pada keterwakilan sipil pada pemerintahan, karena banyak posisi penting yang diisi oleh anggota ABRI.

Setelah reformasi, Polri dan TNI berdiri sendiri. Saat ini semua posisi penting di lembaga negara diisi oleh Polri dan TNI.

Yang memulai Dwifungsi di era Reformasi adalah Polri. Hampir semua lembaga dikuasai oleh Polri dan TNI saat ini. Kenapa aktivis 98 yang berada di DPR dan Pemerintahan mendiamkan agenda Reformasi 98 terulang dan terjadi?

Dengan kondisi tersebut masihkah pemerintahan reformasi harus dipertahankan, apalagi pemerintahan sudah sangat jauh melenceng dari UUD 1945.

Pemerintah reformasi saat ini menggunakan teori homo homini lupus alias manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, sebagai pengganti UUD 1945.

Lalu kenapa agenda reformasi tidak berjalan seperti yang diharapkan? Kenapa para aktivis yang berjuang menggulingkan Orde Baru setelah masuk di pemerintahan dan parlemen tidak mampu mempertahankan agenda reformasi?

Kita tunggu jawaban yang sebenarnya dari para pejuang reformasi.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I)

ikuti terus update berita rmoljatim di google news