- PT Paiton Energy dan UGM Teken Kerja Sama Kelola Hutan Berkelanjutan
- Dukung Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Lestari, Koperasi Kana dan UGM Kenalkan Teknik Tanam Tebu Terbaru di Kabupaten Agam
- Dukung Energi Berkelanjutan, PT Paiton Energy Jalin Kerja Sama Dengan UGM
Di suatu masa yang tidak terlalu jauh dari zaman TikTok, di mana dosen bisa viral karena ngomong lucu di kelas dan rektor bisa trending karena salah langkah, berdirilah sebuah universitas yang dulu begitu agung.
Namanya Universitas Gadjah Mada—UGM, kampus kerakyatan, kampus perjuangan, kampus tempat mahasiswa demo dengan idealisme dan sarapan nasi kucing.
Namun, seperti kisah cinta di sinetron, semua yang indah tidak bertahan lama. UGM, yang dulu simbol akal sehat dan suara kritis, kini mulai bertransformasi menjadi ladang penuh absurd dan intrik politik.
Tak disangka, kredibilitas yang dibangun sejak zaman Belanda bisa hancur hanya dalam sekejap mata. Bukan karena gempa bumi, bukan pula karena meteor jatuh, tapi karena kehausan akan kekuasaan, keakraban dengan kekonyolan, dan tentu saja, keberpihakan yang membabi buta.
Mari kita bedah tragedi ini dengan gaya ringan agar tak terlalu menyayat hati. Toh, tak ada salahnya kita menertawakan kegetiran, daripada menjerit di dalam kamar kos.
UGM, Kampus Perjuangan yang Terjebak Nostalgia
UGM selama ini dikenal sebagai tempat lahirnya para pemikir besar, dari ekonom, dokter, insinyur, hingga filsuf dadakan di angkringan. Sejarah mencatat bahwa kampus ini dulunya tempat mahasiswa turun ke jalan, membela rakyat kecil, dan menolak segala bentuk pembodohan. Bahkan sampai sekarang, setiap seminar nasional dibuka dengan narasi panjang tentang "UGM sebagai benteng moral bangsa."
Namun, apa daya, benteng itu kini seperti benteng Takeshi: gampang ditembus asal punya strategi yang licik dan koneksi yang kuat. Yang dulunya rektor bicara soal integritas, sekarang mulai terdengar seperti buzzer berjas almamater. Bahkan, rapat senat universitas lebih mirip siaran infotainment daripada diskusi akademik.
"Pak, kita bahas etika akademik."
"Etika yang mana dulu, Pak? Yang cocok buat yang berkuasa, atau yang ideal buat yang udah kalah pilpres?"
Ketika Ilmu Pengetahuan Diparkir Sementara
UGM belakangan ini seperti mengalami gangguan sinyal. Bukan sinyal WiFi, tapi sinyal moral. Di tengah hiruk-pikuk pesta demokrasi yang lebih mirip festival endorse, kampus ini mulai kehilangan suara. Di saat masyarakat menunggu sikap tegas dari kampus—tentang politik dinasti, tentang penyalahgunaan kekuasaan, tentang manipulasi hukum—UGM justru memilih diam.
Atau lebih parah: bersuara, tapi suaranya lebih mirip pembelaan terhadap status quo.
“UGM tetap netral!” katanya.
Tapi faktanya, sikap netralnya lebih mirip netralitas juri lomba nyanyi yang sudah di-brief sponsor.
Tak ada yang lebih menyedihkan dari melihat kampus yang dulu mengkritik Soeharto, kini malah tampak manut saat melihat kekuasaan berulah. Dulu mereka bersuara lantang melawan Orde Baru. Sekarang, saat Orde Baru gaya baru berkuasa, mereka malah sibuk selfie bareng elite.
Kalau dulu UGM punya intelektual yang bersikap tegas, kini lebih banyak akademisi yang bersikap luwes—tergantung arah angin dan arah kekuasaan.
Rektor Jadi Seleb, Mahasiswa Jadi Penonton
Baru-baru ini, rektor UGM tampil di berbagai forum dengan gaya yang sangat 'ramah media'. Bahasa tubuhnya lebih cocok buat influencer: tenang, manis, diplomatis, dan tentu saja—menghindari kontroversi.
Masalahnya, dunia akademik bukan konten YouTube. Kebenaran ilmiah bukan hasil polling Instagram. Tapi, entah mengapa, UGM seperti ingin tampil baik di mata semua pihak—termasuk mereka yang justru sedang merusak demokrasi.
Ketika UGM mengundang pejabat tinggi negara yang sedang dihujat karena pelanggaran etika dan nepotisme, banyak yang berharap akan ada dialog kritis. Tapi ternyata, acaranya lebih mirip penghormatan negara adidaya terhadap tokoh spiritual. Pertanyaan-pertanyaan kritis diganti dengan puja-puji dan tepuk tangan.
Mahasiswa yang biasanya lantang, kini hanya bisa ngetwit sambil makan gorengan:
“Lah, ini UGM atau cabang istana sih?”
Dari Universitas Rakyat ke Universitas Relawan
Transformasi UGM tampak begitu elegan. Di satu sisi tetap bicara soal “tridarma perguruan tinggi,” tapi di sisi lain mulai tampak akrab dengan relawan politik dan elite penguasa. Beberapa dosen tampak aktif memberikan pembenaran atas kebijakan pemerintah. Tak sedikit pula yang ikut nyemplung ke dalam tim sukses, baik secara terang-terangan maupun sambil tutup muka pakai jurnal ilmiah.
Padahal, dulu UGM bangga jadi kampus independen. Kini? Lebih mirip kampus indekos buat kekuasaan. Mahasiswa mulai kebingungan: kuliah di sini masih soal logika, atau sudah ganti jadi soal loyalitas?
Beberapa dosen bahkan mulai disebut “profesor oportunis” oleh mahasiswanya sendiri. Mereka lebih sibuk membangun relasi politik ketimbang membangun argumentasi ilmiah. Bahkan ketika terjadi pelanggaran etik nasional, kampus ini justru bilang: “Mari kita duduk bersama dan berdialog.”
Sungguh damai. Sungguh pasif.
UGM dan Politik Amnesia
Kredibilitas UGM sebenarnya bukan hancur dalam semalam, tapi perlahan-lahan melalui proses panjang bernama "amnesia moral." Dari tahun ke tahun, kampus ini mulai melupakan bahwa tugas utamanya adalah menjaga akal sehat, bukan menjaga kursi kekuasaan.
Mahasiswa yang mengkritik rektor? Dicap tidak sopan.
Dosen yang terlalu kritis? Tidak dapat proyek penelitian.
Alumni yang bersuara lantang? Dibilang sakit hati karena tidak diundang ke reuni.
Satu-satunya yang masih setia pada idealisme mungkin cuma tukang fotokopi kampus, yang sejak dulu konsisten memberikan diskon buat mahasiswa skripsi.
Parade Penjilat Akademik
Fenomena paling tragis di UGM hari ini adalah maraknya penjilatan akademik. Ini adalah semacam cabang ilmu baru—bukan fisika, bukan sosiologi, tapi lebih dekat ke political ass-kissing studies. Di jurusan ini, mahasiswa belajar cara menyusun kalimat manis buat pejabat, cara membuat analisis kebijakan yang menyenangkan penguasa, dan tentu saja, cara menutup mata terhadap realitas.
Tak sedikit profesor yang dulunya dielu-elukan sebagai penjaga moral bangsa, kini tampil di televisi membela penguasa dengan argumentasi mirip seleb TikTok: cetek, penuh jargon, dan tak berdasar data.
Yang dulu menulis jurnal tentang demokrasi, sekarang lebih suka bikin podcast soal “pentingnya loyalitas terhadap pemerintah.”
Mahasiswa Bangkit, Tapi Dihadang Satpam
Di tengah kehancuran kredibilitas kampus, masih ada cahaya: mahasiswa. Tapi cahaya itu sering kali dipadamkan secara sistematis. Demo dibatasi, ruang diskusi dibungkam, bahkan pamflet kritik disobek petugas kampus. Ironis, kampus yang dulu tempat lahirnya gerakan reformasi, kini malah membatasi ruang untuk berekspresi.
Mahasiswa yang protes dianggap merusak nama baik universitas.
Padahal, justru mereka yang menjaga nama baik itu tetap ada.
Lucunya, ketika ada mahasiswa yang bikin poster bertuliskan “Kampus Jangan Jadi Alat Kekuasaan,” pihak kampus malah menggelar seminar bertema “Merawat Sinergi Kampus dan Pemerintah.”
Sungguh respons yang begitu... plot twist.
Akreditasi A, Akal Sehat Z
UGM mungkin tetap dapat akreditasi A, tapi akal sehatnya mulai berada di level Z. Sejumlah keputusan rektorat akhir-akhir ini justru merusak marwah kampus. Mulai dari pengangkatan pejabat yang problematik, penyerahan gelar kehormatan ke tokoh penuh kontroversi, hingga pernyataan-pernyataan publik yang membuat warga kampus hanya bisa berkata: “Ini serius, Pak?”
Kredibilitas ilmiah kampus bukan diukur dari jumlah kolaborasi internasional atau jumlah konferensi hybrid, tapi dari keberanian menyuarakan kebenaran, meskipun pahit. Tapi sayangnya, kebenaran hari ini lebih banyak disembunyikan di balik lobi-lobi hotel bintang lima dan press release berisi basa-basi.
Menuju Rezim Akademik Otoriter
Yang lebih mengkhawatirkan, UGM mulai mengadopsi semangat otoritarianisme gaya baru. Bukan lewat kekerasan fisik, tapi melalui kontrol administratif dan tekanan birokratis. Mahasiswa yang terlalu vokal diawasi. Dosen yang terlalu kritis tidak dipromosikan. Forum diskusi dicekal dengan alasan “belum ada izin.”
Padahal ini kampus, bukan markas militer. Kalau diskusi saja harus izin tiga lapis, lalu bagaimana akal sehat bisa tumbuh? Apakah UGM sedang latihan jadi kementerian dalam negeri?
Harapan Masih Ada Asal Tidak Dimakan Buzzer
Meski kredibilitas UGM sedang anjlok seperti harga saham perusahaan tambang fiktif, harapan masih ada. Ada dosen-dosen yang tetap teguh pada prinsip. Ada mahasiswa yang masih berani menulis kritik. Ada alumni yang masih peduli pada nama baik kampus, bukan hanya nama baik karier politiknya.
Mereka ini adalah lilin-lilin kecil di tengah gelapnya lorong kampus yang semakin penuh dengan kepentingan. Mereka adalah pengingat bahwa UGM tidak boleh tenggelam dalam lumpur kekuasaan. Bahwa kampus harus jadi tempat berpikir bebas, bukan tempat berpihak diam-diam.
Hancurnya Kredibilitas, Tapi Bukan Akal Sehat
Kredibilitas UGM memang bisa hancur dalam sekejap mata, karena kredibilitas adalah soal persepsi publik. Tapi akal sehat? Ia bisa tetap hidup, selama masih ada satu dua orang yang berani menyuarakan kebenaran.
UGM mungkin sedang berada di titik terendah. Tapi sejarah selalu memberi kesempatan untuk bangkit. Tentu dengan syarat: berhenti menjilat, berhenti kompromi terhadap kemunafikan, dan kembali pada nilai-nilai yang dulu membuat UGM besar: keberanian, integritas, dan berpihak pada rakyat.
Karena kalau UGM memilih terus menjadi alat kekuasaan, maka siap-siap saja: generasi berikutnya mungkin akan menyebutnya UGM = Universitas Gagal Moral.
Kalau kamu mahasiswa UGM dan sedang baca ini sambil menatap gedung rektorat, ingatlah satu hal: perubahan tak datang dari rapat senat, tapi dari poster, spanduk, dan keberanian kalian. Jangan biarkan almamater berubah jadi alat pemoles kekuasaan. Karena sejatinya, intelektual sejati bukan penjilat, tapi penantang.
Dan satu lagi, kalau nanti ditanya siapa yang menulis ini, bilang saja: "Yang nulis bukan saya, tapi hati nurani yang sudah muak."
*Khairul A. El Maliky, pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Akting Jokowi di Depan Kamera Sudah Tidak Mempan Lagi Kelabui Rakyat
- DPR Harus Desak Kapolri Tangkap Jokowi Soal Dugaan Ijazah Palsu
- Kasmudjo Bakal Bicara Jujur Soal Ijazah Jokowi