Rommy

ROMAHURMUZIY alias Rommy dicokok KPK. Mahfud MD langsung teriak di twiter, "I told you so", gue bilang juga apa.


Ternyata apa yang pernah dilontarkan Mahfud jadi kenyataan, Romy ditangkap karena dugaan makelaran jabatan di jajaran departemen agama.

Tak perlu dimungkiri lagi. Tak perlu debat lagi. Kita harus legawa mengakui, korupsi Indonesia berada pada stadium empat. KPK sudah menyegel kantor menteri agama karena ada indikasi keterlibatan sang menteri. Kalau ini terjadi, kita hanya bisa istighfar.

Prabowo Subianto pernah mengatakan bahwa korupsi di Indonesia berada pada stadium empat. Memang ini pernyataan politis, tetapi bukan tanpa dasar.

Prabowo bukan orang pertama mengungkapnya. Buya Syafii Maarif jauh-jauh hari sering memakai istilah korupsi stadium empat. Ketika dikonfirmasi mengenai hal itu Maarif tanpa ragu berkata, "Korupsi Indonesia memang berada pada stadium empat".

Romy tidak akan menjadi yang terakhir. Masih akan berjatuhan korban cokokan KPK, baik dari kalangan eksekutif dari berbagai tingkatan, maupun dari kalangan anggota dewan dari daerah sampai pusat. Mereka bisa berasal dari partai manapun, yang pro atau yang anti-pemerintah.

Sebelumnya KPK mencokok tiga kepala daerah; Rendra Kresna bupati Malang, Setiyono Walikota Pasuruan, dan bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Ada benang merah disitu. Mereka beremigrasi ke partai pendukung pemerintah untuk mendapatkan "political sanctuary", perlindungan politik, karena kemungkinan mereka punya problem hukum.

Dalam kasus para kepala daerah itu bisa dilihat bahwa mereka mencari perlindungan politik dengan menyeberang ke parpol tertentu yang dianggap bisa memberi perlindungan hukum.

Romy sendiri merasa punya benteng yang kokoh karena kedekatannya dengan kekuasaan.

Jelas sudah bahwa perlindungan itu tidak ada. Buktinya mereka masih tetap dicokok KPK juga. Jadi, sia-sialah kepala daerah yang pindah partai karena mengharap perlindungan politik. Ibarat masuk sarang laba-laba mereka terperangkap dan dimangsa. Romy juga terperangkap di sarang laba-laba.

Kita harua berani mengakui bahwa mentalitas bangsa kita sedang bobrok. Otokritik ini tidak ada hubungan dengan soal nasionalisme. Hanya mereka yang berkuping tipis saja yang tidak siap mendengar otokritik dan kemudian menuduh pengritik sebagai tidak nasionalis.

Mahathir Muhammad menulis otokritik "The Malay Dilemma" (1970) mengritik bangsa Melayu yang disebutnya lembek dan malas, serta tidak suka bersaing. Sebelas tahun berselang Mahathir menjadi perdana menteri dan ia mengeluarkan kebijakan affirmative action untuk membantu bumiputra Melayu bersaing dengan non-bumiputra. Mahathir juga tegas terhadap korupsi karena dia tahu bangsa Melayu yang lembek cenderung suka suap menyuap.

Budayawan dan wartawan Mochtar Lubis menulis "Manusia Indonesia; Sebuah Pertanggungjawaban" (1977) mengritik bangsa Indonesia yang disebutnya munafik, tak bertanggung jawab, suka cari kambing hitam, dan feodal. Di dalam sifat-sifat itu korupsi tumbuh subur.

Lee Kuan Yew menulis memoir empat volume "From the Third to First" (2000) membelejeti sikap warga Singapura yang jorok dan suka suap-menyuap.

Baik Lee maupun Mahathir dikenal tegas, dan bahkan dianggap bertangan besi ketika memerintah. Terbukti, tetangga kita jadi lebih maju dari kita.

Contoh pemberantasan korupsi yang melegenda muncul dari Perdana Menteri Cina Zhu Rongji yang pada 2007 mengatakan, "Siapkan 100 peti mati, 99 untuk koruptor satu untukku kalau aku korupsi".
Ribuan orang dieksekusi termasuk pejabat tinggi.

Di Malaysia, Singapura, dan Cina korupsi sudah berada di stadium empat. Pemimpin yang tegas menjadikan negara itu bersih. Dibutuhkan pemimpin yang tegas untuk memeberantas korupsi. Pemimpin lembek tidak akan bisa melakukannya.

Di negara lain koruptor, pencoleng duit rakyat, dihukum mati atau dipotong tangan. Di Indonesia malah dipotong masa tahanan.[***]

Dhimam Abror Djuraid
Penulis adalah wartawan senior dan caleg DPR RI dari PAN Dapil Jatim 1

ikuti terus update berita rmoljatim di google news