Pemerintah dinilai gagal mengelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Karenanya, pemerintah dianggap telah melanggar hak asasi manusia.
- PVRI: Indonesia Alami Regresi Demokrasi Serius yang Mirip seperti Orde Baru
- Jika Harapkan Dukungan PDIP dan Jokowi, Ganjar jadi Pengangguran Politik
- Jelang Pilwali Surabaya, Politisi Golkar Ingatkan ASN Jangan Berpolitik
Menurut Kholid, jika ada orang yang sedang sakit, harus segera ditangani secepat mungkin tanpa harus bertanya apakah dia memiliki asuransi atau tidak.
"Orang sakit enggak bisa diperiksa gara-gara tidak ada asuransi. Ini melanggar hak asasi manusia. Terlihat pemerintah membuat policy ini asal-asalan, tidak melihat dampak sistemiknya," lanjutnya dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.
"Dengan naiknya iuran BPJS akan semakin banyak yang menunggak. Potensi penunggakan semakin tinggi," ujar Kholid menambahkan.
Selain Khalid, diskusi menghadirkan narasumber ekonom INDEF Enny Sri Hartati dan analis kesehatan masyarakat TIDI Hermawan Saputra.
Mengatasi defisit puluhan triliunan, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen pada 1 Januari 2020. Kelas 3 menjadi Rp 42.000 dari Rp 25.500; Kelas 2 menjadi Rp 110.000 dari Rp 51.000; Kelas 1 menjadi Rp 160.000 dari Rp 80.000.
Selain kenaikan untuk peserta mandiri, diatur juga kenaikan untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI). Iuran PBI menjadi Rp 42.000 naik dari Rp 23.000. Kenaikan iuran yang berasal dari anggaran pemerintah ini akan berlaku surut pada 1 Agustus 2019.[aji]
- Jokowi Temui Keluarga Korban Nanggala 402 di Jatim
- Total Kasus Aktif Covid-19 Hari Ini Turun 362 Orang, Pasien Sembuh di Bawah Seribu
- Pemekaran Dapil Pemilu 2024, Tiga Rancangan KPU Banyuwangi akan Diuji Publik