Burisrawa Sundhul Langit

SEPENINGGAL Bagong dari Lojitengara, para cecunguk Welgeduwelbeh bikin ontran-ontran lagi.

Tidak main-main, kehebohan yang dibuat cecunguk-cecunguk Welgeduwelbeh hingga sundhul ngawiyat (menggapai langit).

Sampai-sampai para dewa tidak habis mengerti dengan jalan pikiran Prabu Welgeduwelbeh dan cecunguknya.

Diketahui cecunguk Welgeduwelbeh urusan korporasi, telah membuat kesepakatan dengan Sengkuni. Mereka hendak mengangkat Burisrawa menjadi bos preman.

Pertanyaannya mengapa harus Burisrawa? Apakah di alam marcapada ini sudah tidak ada manusia yang layak?

Welgeduwelbeh seperti kurang masalah.

Mengangkat Burisrawa adalah bagian dari ‘utang budi’ Welgeduwelbeh. Tidak mungkin tidak. Atau, jangan-jangan Burisrawa dipilih demi kepentingan politik semata, demi kepentingan bisnis semata, demi kepentingan bagi-bagi kekuasaan.

Bagong yang belum tiba di rumah dan mendengar kabar tersebut, langsung balik ke Lojitengara untuk membuat perhitungan dengan Welgeduwelbeh.

Namun, di tengah jalan dia bertemu Gareng. Buru-buru niat Bagong dicegah Gareng.

"Gong, darimana dan mau balik kemana?”

"Mau ke Lojitengara, Reng. Mau nendang dapurane Welgeduwelbeh.”

"Weleh sik toh Gong, duduk dulu di sini. Mbok yo aku dikasih cerita dulu,” kata Gareng.

"Kowe kan ngerti Reng, siapa itu Burisrawa. Kerjanya bikin onar. Wonge angkuh. Pendendam. Semua orang ditakut-takuti. Wong cilik dipisuhi, wong sugih dipuji,” seru Bagong.

"Ya itu kelakuan Burisrawa. Terus apa hubungan Burisrawa dan Welgeduwelbeh?” Tanya Gareng.

"Ya jelas ada hubungannya. Welgeduwelbeh punya utang budi sama Burisrawa. Karena itu dia diangkat untuk memimpin kacung-kacung negara,” balas Bagong.

"Kalau seperti ini kahanane, Gong. Bahaya negara ini. Burisrawa ini sejelek-jeleknya orang. Kehadirannya dapat merusak semua tatanan. Sampai-sampai namanya menjadi pralambang. Kalau kamu ingin punya anak gagah, ganteng, dan perkasa, sebutlah nama Raden Janaka. Sebaliknya kalau kamu ketemu orang punya tabiat buruk, maka umpatlah dengan sebutan Burisrawa,” timpal Gareng.

"Elek-elek dapuranmu yo pinter, Kang!”

"Lambemu, Gong!”

"Lha memang begitu Burisrawa. Gayanya itu yang tidak aku sukai. Mirip preman. Suka mengintimidasi kaum minoritas. Burisrawa tidak mempunyai rasa kebersamaan dengan pihak lain, merasa diri paling benar. Dia bisa menggerakkan massa untuk menghancurkan kelompok yang tidak disukainya, apalagi kelompok yang suka mengkritiknya,” lanjut Bagong.

"Iya Gong. Burisrawa ini punya koneksi dengan beberapa pejabat puncak. Dia punya lobi-lobi kuat. Dan para penguasa akan selalu mendiamkan kelakuannya. Dia sangat gila harta dan jabatan. Kalau ada orang lain punya jabatan, selalu ingin direbut dengan cara-cara preman,” tambah Gareng.

Suara Bagong dan Gareng hanya mewakili suara hati dan nurani wong cilik, yang menolak Burisrawa duduk sebagai bos preman di korporasi.

"Kang, menurut sampeyan, kita ini ghibah ga?” tiba-tiba Bagong berujar.

Kenapa kamu berpikiran seperti itu?”

"Aku takut dosa Reng, kalau membicarakan aib orang tanpa bukti. Betara Guru iso nesu iki, Reng!” Tandas Bagong.

"Lha Manikmaya turun ke bumi apa mau genjrot bathukmu?”

"Ya mungkin saja. Namanya juga dewa.”

"Wadulno Semar ae.”

"Ladalah, Semar lagi. Semar lagi ngorok!”

"Hussst!”

"Terus bagaimana dengan Burisrawa?”

"Katanya takut ghibah, kok masih diungkit!”

"Ya biar. Wis terlanjur kecemplung. Lagian Burisrawa ini statusnya selalu bikin goro-goro. Prestasinya ga jelas. Mau jadi pejabat apa, pejabat sontoloyo!” Seru Bagong emosi.

"Membicarakan aib orang dengan mengadu tindak kezaliman berbeda dengan ghibah, Gong. Apalagi yang kita bicarakan ini penguasa yang zalim. Penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Penguasa yang tidak mau disalahkan,” jawab Gareng.

"Walah, ilmumu tambah sip wae. Belajar dari Burisrawa ya?”

"Cocotmu, Gong. Mbok serius kalau ngomong!”

"Yo serius ini. Asli serius ini. Bahkan dua-rius.”

Bagong diam. Menunjukkan muka serius. Matanya menatap Gareng. Tiba-tiba dia menunduk, dan terlelap dalam tidur.

"Gong…Gong…oala diajak serius malah tidur,” Gareng menyundul kepala Bagong hingga dia terjengkal.

"Eh, sopo kowe. Wani gelut ngelawan aku!”

"Aku Gareng, kakangmu.”

"Sampeyan toh, Reng. Sori beribu sori. Maaf lahir batin keturon. Sampai dimana kita tadi?” Jawab Bagong sekenanya.

"Burisrawa.”

"Terus apa langkah kita?”

"Perbuatan mungkar harus dilawan. Burisrawa adalah lambang kedzaliman. Lambang keangkaramurkaan.”

"Piye carane, Kang!”

"Mengetuk hati Welgeduwelbeh. Mengingatkan Welgeduwelbeh bahwa pilihannya keliru.”

"Welgeduwelbeh kok diketuk hatinya. Dia itu cocoknya dilempari telek baru bisa sadar. Bukan kita yang menyadarkan Welgeduwelbeh, tapi para dewa. Ini juga tugas dewa. Jangan karena yang mengeluh wong punya derajat saja, dewa mau turun. Wong cilik, wong kere seperti kita kalau mengeluh, dewa juga harus tahu. Kita naik suralaya saja, wadul dewa. Biar Welgeduwelbeh digenjret sama guntur api dan angin api kahyangan,” tegas Bagong.

Noviyanto Aji
Wartawan