Menyibak Data Menuai Tawa Politisasi Bansos PKH Sumenep

Ilustrasi PKH/Ist
Ilustrasi PKH/Ist

BEBERAPA hari terakhir, setidaknya ada beberapa media online yang memberitakan secara terus menerus perihal tudingan bahwa Korkab PKH Kabupaten Sumenep, Madura melakukan politisasi Bansos.

Bila dicermati pemberitaan di beberapa media online tersebut penulis merasa terpanggil untuk melakukan klarifikasi dan merespon secara obyektif, rasional dan berimbang. Ada beberapa catatan kecil yang sangat urgen untuk ditanggapi.

Pertama, perihal labelisasi. Pada tulisan di media itu dikatakan bahwa labelisasi rumah KPM PKH di beberapa kecamatan di Kabupaten Sumenep adalah dari Kemensos RI. Pemberitaan ini perlu diluruskan bahwa program labelisasi itu murni program dari Pemkab Sumenep yang pelaksananya adalah Dinas Sosial P3A pada tahun anggaran 2023.

Labelisasi ini bertujuan agar para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang merasa tidak layak menerima bansos (mampu secara sosial ekonomi) dengan sendirinya akan tergugah untuk segera mengundurkan diri dengan cara membuat surat pernyataan.

Jika ditilik dari tujuan ini, labelisasi merupakan satu strategi dan ikhtiar Pemkab Sumenep dalam mengetuk kesadaran KPM untuk mengundurkan diri terutama bagi yang sosial ekonominya menengah ke atas alias mampu tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Tapi sekali lagi, program labelisasi ini bukan program Kemensos RI sebagaimana pemberitaan di media online diatas. 

Pada pemberitaan di media online itu juga disinggung dengan nada tanya, kenapa SDM PKH tidak terlibat dalam program ini? Jawaban atas pertanyaan ini tentu perlu uraian lebih lanjut bahwa Dinas Sosial P3A dan PKH di Kabupaten Sumenep adalah dua institusi yang berbeda.

Maka, sebagai sebuah institusi, misalnya PKH memiliki pandangan yang berbeda perihal program labelisasi, tentu itu sesuatu yang absah, karena masing-masing pihak memiliki analisa dan kajian dengan perspektifnya masing-masing.

Pada aspek regulasi misalnya, Korkab PKH sampai saat ini masih belum menemukan regulasi yang menjadi landasan yuridis pada tataran implementasi. Dalam pandangan korkab, program labelisasi rumah KPM PKH dapat mencederai nilai-nilai humanistik dan mengabaikan aspek moralitas sekaligus, dan itu sangat fundamental terutama bagi KPM PKH yang benar-benar tidak mampu.

Bisa dibayangkan ketika rumah-rumah KPM PKH yang notabene kurang beruntung secara ekonomi harus juga dipampangkan dengan label "Masyarakat Miskin". Sungguh ini sebagai gerakan melumpuhkan akal sehat dan akan menjadi ironi baru untuk sekedar memotret strata kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Sumenep.

Demoralisasi ini akan menjadi tontonan yang menyakitkan di satu sisi plus mengabaikan nilai-nilai kemanusian pada sisi yang lain. Inilah sesungguhnya kenapa SDM PKH belum terpanggil untuk terlibat dalam program labelisasi itu. 

Bukankah program labelisasi ini akan membuat KPM tersebut secara psikologis semakin tertindih? Nilai-nilai ini tentu tidak bisa dikesampingkan. Sebagai sebuah ilustrasi bila kemiskinan itu dipertontonkan secara kasat mata ke publik, lantas bagaimana perasaan mereka? ibarat sebuah pepatah "Sudah terjatuh masih tertimpa tangga."

Kedua, alasan yang menyebutkan bahwa SDM PKH "tidak terlibat dalam program labelisasi patut dicurigai dan jadi pertanyaan besar" adalah fakta bahwa secara kasat mata tidak paham alur dan mekanisme pelaksanaan program. Pelibatan SDM PKH dalam program labelisasi yang notabene program Pemkab Sumenep secara eksplisit bukan menjadi suatu keharusan organik yang melekat.

Ketidakterlibatan SDM PKH dalam program labelisasi justru semangat independensi etiknya dapat terjaga. Betapun disadari jika SDM PKH terlibat pasti akan memunculkan kecurigaan atau bahkan kecemburuan baru. Alih-alih SDM PKH dituduh tebang pilih, tidak obyektif, tidak netral dan lain-lain. 

Bila ekspektasi dari kegiatan ini adalah graduasi, Kemensos RI telah menyiapkan kanal khusus yaitu pemutakhiran data melalui SIKS_NG. Pertanyaan yang cukup sederhana kenapa tidak memaksimalkan aplikasi ini jika targetnya adalah graduasi?

Dalam kaitan ini penulis selalu berbaik sangka bahwa itu adalah pilihan strategis Dinas Sosial P3A dan itu menjadi kewenangannya. Selain itu, Kemensos RI juga memberikan alternatif lain melalui kanal umum yaitu melalui aplikasi cek bansos yang didalamnya ada menu usul sanggah, dan itu bisa diakses oleh masyarakat luas.

Dalam kaitan ini, yang penting untuk diketahui bahwa SDM PKH secara kelembagaan sama sekali tidak punya kewenangan untuk melakukan graduasi secara sepihak tanpa ada persetujuan dari pemerintah kabupaten.

Tugas SDM PKH adalah melakukan updating data sosial ekonomi KPM PKH secara periodik, jika misalnya ditemukan KPM PKH yang secara sosial ekonomi sudah masuk kategori mampu sebagaimana temuan media online di Kecamatan Dasuk Desa Beringin, maka dalam kaitan ini SDM PKH sudah melakukan tugasnya yaitu melakukan updating data melalui aplikasi SIKS_NG dengan cara 'men-tidak-layakkan" sebagai penerima bansos dan diusulkan kepada pemkab.

Persoalannya kenapa KPM bersangkutan hingga kini masih terdaftar sebagai penerima bansos PKH? Ini lagi-lagi berkaitan dengan respon pemkab dalam menindaklanjuti data yang diusulkan SDM PKH, jika pemerintah kabupaten sigap merespon usulan itu dengan melakukan approval (persetujuan) pada aplikasi SIKS_NG, maka temuan media online tersebut tidak akan terjadi.

Selebihnya yang mesti dipahami juga bahwa pergerakan data di masing-masing wilayah tentu sangat dinamis, karena itu butuh dukungan semua pihak agar bantuan sosial dapat terpantau secara serius dan tepat sasaran, bukan dengan cara-cara agitatif dan melakukan tuduhan tanpa dasar.

Ketiga, narasi pada media online yang sangat menggelitik adalah minimnya korkab dalam mengevaluasi terkait kinerja pendamping dan Administrator Pangkalan Data (APD). Penting disampaikan bahwa APD sudah tidak lagi dipakai sejak Menteri Sosial dijabat Tri Rismaharini.

Sebagai seorang pewarta profesional seharusnya memiliki bekal informasi yang memadai sehingga berita yang dirilis tidak memunculkan kesan ambigu. Apalagi pemberitaan ini ada kaitannya dengan isu-isu publik yang harus disajikan secara faktual dan up to date.

Keempat, pada kalimat terkahir menyinggung persoalan verifikasi dan validasi data dengan kalimat "lakukanlah verifikasi dan validasi data sebaik mungkin". Lagi-lagi ini semakin memperparah asumsi bahwa bahwa media ini kurang memahami regulasi tentang tugas pokok dan fungsi SDM PKH.

Setidaknya pedoman yang berkaitan dengan verval data tentang penanganan fakir miskin dan orang tidak mampu dapat dilihat pada Permensos Nomor 28 Tahun 2017 atau Permensos Nomor 03 Tahun 2021 tentang verval data sebagai rujukan regulasinya.

Jika persoalan dimaksud dialamatkan kepada institusi PKH, maka ini bagian dari pengingkaran terhadap regulasi dan tentu akan menjadi absurd. Karena pada regulasi itu pemerintah kabupaten diberikan keleluasaan dan kewenangan untuk melakukan verval data secara konprehensif.

Dari uraian ini, dengan mudah disimpulkan bahwa konstruksi berfikir yang dibangun oleh media online tersebut sangat tendensius dan lebih pada penggiringan opini yang justru mereduksi kerangka dasar berfikir ilmiah.

Pesan yang ingin disampaikan bahwa SDM PKH adalah pelaksana dari semua kebijakan Kemensos RI untuk melaksanakan tugas secara profesional melalui tugas-tugas khusus yang melekat dan bukan menyasar semua program yang justru menjadi kewenangan institusi lain.

Maka keterlibatan SDM PKH dalam mengawal program PKH tentu bagian yang tak bisa dipisahkan. Bila dikatakan bahwa hampir di semua kecamatan ditemukan penerima bansos yang tidak layak, harusnya dikonfirmasi sesuai mekanisme perundang-perundangan yang berlaku, setidaknya melalui audiensi kepada pihak-pihak terkait dengan membawa bukti-bukti yang riil dan data yang bisa dipertanggung jawabkan secara akademik.

Dari sanggahan diatas tentu pembaca dan masyarakat Sumenep secara umum dapat menilai bahwa media online tersebut lebih pada propaganda dan cenderung agitatif. Jika pun terpaksa memberikan penilaian itu bagian dari analis lokal yang kelasnya masih amatiran.

Lagi-lagi program labelisasi itu dianggarkan tahun 2023 dan harusnya sudah tuntas, tapi faktanya hingga 2024 baru program ini masih semrawut dan jadi persoalan. Yang mesti dievaluasi adalah pengguna anggaran, bukan malah menyasar pada institusi lain yang pada tataran implementasi sama sekali tidak terlibat.

Sebagai konsekuensi dari dari ini semua, Korkab PKH Sumenep punya tawaran yang sifatnya solutif dengan mengajak media online diatas untuk diskusi publik melalui media yang dapat disaksikan dan didengarkan masyarakat luas seperti RRI atau media elektronik lainnya seperti Televisi Swasta agar persoalan ini clear dan tidak menjadi konsumsi informasi yang liar.

Sebagai kata penutup, mari bersama memberikan edukasi yang mencerahkan, bukan dengan menggiring opini secara sporadis tanpa kajian yang mendalam, apalagi lebih bersifat tudingan secara sepihak dengan kesimpulan bahwa Korkab PKH telah mengangkangi dan mengintervensi keberadaan bansos PKH di Kabupaten Sumenep. Hemat penulis ini adalah konstruksi berpikir yang justru menyesatkan publik.