Pelem Pertonggojiwo- Jambu Diponirmolo

SEPERTI yang Bagong bilang bahwa dia akan naik ke kahyangan untuk bertemu para dewa, benar-benar diwujudkan. Tidak sekedar janji manis.

Untuk mencapai Suralaya tidak mudah. Bagong harus naik gunung Himalaya, gunung tertinggi di dunia.

Sesampai di Suralaya, Bagong langsung duduk di depan ngarsa Betara Guru dan dewa-dewa lain. Ada Betara Narada, Betara Indra, dan Betara Yamadipati.

Tidak ada uluk salam dari Bagong. Suasana Hening. Sedikit mencekam.

"Kok ada manusia ke kahyangan, ada tumindak apa gerangan?” Tanya Betara Guru ke Bagong.

Bagong tidak menjawab. Hanya diam.

Betara Narada langsung menjawab, "Ehh, ini bukannya Bagong, cah gemblong, cah edan dari Karang Kadembel, anaknya Semar.”

"Iya toh, Kang!” Balas Betara Guru heran, Kok dia bisa sampai ke sini.”

"Gong, Gong,” panggil Betara Narada.

Tidak juga mendapat jawaban. Rupanya Bagong tertidur.

"Eh, ladalah, ternyata lagi tidur. Bagoooong!” Panggil Betara Narada dengan nada tinggi.

"Eit, sapa kamu. Ini dimana. Ganggu orang tidur saja,” jawab Bagong dengan emosi.

"Hei Gong, yang sopan. Ini kahyangan. Jangan macam-macam,” Betara Indra mengingatkan.

"Oh sudah nyampai kahyangan toh,” balas Bagong.

"Kowe bisa sampai di sini gimana ceritanya?” Tanya Betara Narada.

"Kowe sopo ndas ceret (kepala teko)?”

"Lho, bocah ini berani sama dewa. Semua yang ada di sini adalah dewa. Aku Betara Narada, dewa pembawa pesan. Ini Betara Indra. Yang ini Betara Yamadipati, dewa pencabut nyawa. Kowe mau dicabut nyawa datang ke sini?”

"Wow dewa pencabut nyawa, keren. Cabut wae nyawanya Prabu Welgeduwelbeh, berani ndak hayo?” Tantang Bagong.

"Sing sopan yo Gong, di sini kahyangan,” balas Narada.

"Ampun pukulun ceret,” sahut Bagong.

"Oh dengkulmu melocot, iki dewa lho. Jangan dibuat main-main.”

"Eh, pukulun Narada, kok misuh. Masa dewa misuh. Ampun beribu ampun. Maaf lahir batin. Lha kalau yang itu namanya siapa, pukulun?” Bagong menunjuk ke Betara Guru.

"Aku Betara Guru, Bagong. Dewa para dewa. Ada gerangan apa Bagong kemari?” Sahut Betara Guru.

"Oh rajanya para dewa. Ampun pukulun. Sembah sujud saya haturkan pada pukulun. Pertama saya capek pukulun, naik gunung ke sana kemari untuk ke Surabaya.”

"Eh, Gong sing jelas cangkummu. Ini Suralaya, bukan Surabaya!” Gertak Narada.

"Ampun, salah lagi pukulun.”

"Yo wis mau matur apa sama dewa?”

Bagong kemudian menjelaskan kedatangannya untuk meminta pelem pertonggojiwo dan jambu diponirmolo.

Permintaan Bagong ini memang sangat berat. Tapi dia harus mendapatkannya, karena semua itu demi kebahagiaan rakyatnya. Bagong ingin membangun Desa Karang Sembung.

"Hmm, Bagong. Apa kamu tahu apa itu pelem pertonggojiwo dan jambu diponirmolo?” Tanya Betara Guru.

"Tahu pukulun. Itu dhaharane (makanan) dewa dan unjukane (minuman) tirto amerto,” jawab Bagong.

"Kamu tahu darimana Bagong kalau itu makanan para dewa?”

"Ya dari bapakku Semar. Gimana pukulun, apa mau memberikan makanan itu?”

"Mau dibuat apa, Bagong?”

"Untuk rakyatku, pukulun. Sejak Prabu Welgeduwelbeh mewisuda dirinya, semua raja negara jadi bawahannya setelah ditaklukkannya, termasuk Hastina. Yang belum hanya Pandawa, Dwarawati, dan Mandura. Semula ketiga raja negara tersebut tidak mau hadir, tetapi setelah Pandawa dan Mandura dikalahkan akhirnya Raja Dwarawati (Prabu Kresna) menyerahkan hal ini kepada Semar,” cerita Bagong.

Bagong kembali menjelaskan, sejak dipimpin Welgeduwelbeh, suasana negeri menjadi kacau. Semua kebijakan yang diambil hanya sesuai seleranya sendiri.

"Cecunguk-cecunguk Welgeduwelbeh makin kurang ajar. Rajanya juga kurang ajar, terlebih pada rakyat. Raja baru yang katanya dari rakyat jelata, yang katanya peduli wong cilik, yang katanya mau memberi kesejahteraan, yang katanya meningkatkan taraf hidup orang banyak, yang katanya mau meningkatkan pendidikan, yang katanya mau memberi jaminan kesehatan, yang katanya akan memberantas korupsi sampai akar-akarnya, yang katanya mau bikin jalan tol laut, yang katanya tidak impor lagi alias swasembada pangan, mbelgedhes kabeh, pukulun,” terang Bagong.  

Bagong merasa kasihan dengan rakyat. Selalu ditindas. Selalu diperas keringatnya untuk menyerahkan upeti. Raja dan cecunguknya menaikkan upeti dengan tinggi.

Kalau tidak bayar, rakyat dipentungi, dicambuk, ditombak, dipedang, dan dipanah.

Rakyat yang tidak bayar, tidak bisa mengurus surat-surat ijin mengendarai kuda. Tidak bisa utang. Pokoknya, semua urusan harus melalui kerajaan.

"Di situ mulai terlihat korupsinya, nepotismenya, dan kolusinya. Buktinya, sekarang cecunguk Welgeduwelbeh mengangkat Burisrawa jadi bos. Padahal Burisrawa ini sejelek-jeleknya manusia. Penista agama. Tabiatnya sangat buruk. Sukanya memerangi wong cilik. Orang-orang penggede menjadi tuannya,” curhat Bagong.

"Terus urusannya dengan dewa apa?”

"Rakyatku sedang menderita, pukulun. Aku mau memberi mereka ketenangan lahir batin, memberi kedamaian, memberi kebahagiaan dan ketenteraman. Dan itu bisa didapat dari pelem pertonggojiwo dan jambu diponirmolo untuk sesembahan,” lanjut Bagong.

"Syaratnya berat Bagong kalau mau mendapatkan pelem pertonggojiwo dan jambu diponirmolo,” timpa Betara Guru.  

"Apapun syaratnya akan aku laksanakan, pukulun. Aku hanya ingin rakyatku bahagia. Sebab penderitaan rakyat adalah penderitaanku juga, suara rakyat adalah suara Tuhan. Aku tidak boleh abai,” tandas Bagong serius.

Betara Guru mendekati Bagong. Lalu, berkata lirih.

"Bagong, semua manusia di dunia sudah menyembahku. Tapi masih ada satu manusia yang belum menyembahku. Jika dia mau menyembahku, maka pelem pertonggojiwo dan jambu diponirmolo akan kuserahkan padamu,” kata Betara Guru.

"Eh, ladalah, siapa manusia kurang ajar itu pukulun, biar nanti dia kuhajar kalau tidak mau menyembah dewa,” teriak Bagong.

"Semar.”

Mendengar nama itu, Bagong langsung lesu sekaligus marah. Tidak disangka nama yang disebut Betara Guru adalah bapaknya.

"Jadi, bagaimana Bagong. Apa kamu mau membujuk bapakmu untuk menyembahku?” Tanya sang dewa.

"Ora sudi!” Sahut Bagong lantang.  

"Pukulun dewa apa menyuruh bapakku menyembahmu. Ismaya (Semar) adalah kakangmu. Mana bisa kakang nyembah adiknya. Sejuta kali, aku tidak terima kalau bapak menyembah Betara Guru,” teriak Bagong dengan emosi tingkat dewa.

Suara guntur api guntur angin di kahyangan mulai terdengar menggelegar. Pertanda Betara Guru murka. Tampaknya, Betara Guru juga emosi mendengar penolakan dari Bagong.

"Ladalah, itu suara apa pukulun Narada?” Tanya Bagong.

"Itu suara guntur api guntur angin Betara Guru yang mau ditimpakan ke kamu Bagong.”

"Oh begitu watak dewa. Kalau dewa bisa murka, maka Bagong juga bisa ngamuk. Pukulun tidak cocok jadi dewa. Saat rakyat sedih, dewa tidak ada yang turun ke bumi. Saat ada orang yang punya derajat dan pangkat sedih, seperti pejabat, ksatria, pandhito, semua dewa pada clurut turun. Kalau yang sedih wong cilik, wong mlarat, wong kere, dewa tidak muncul. Paling batinmu berucap biarkan rakyat modar (hancur). Dewa model apa itu. Pukulun hari ini lereno (berhenti) jadi dewa, tak pecat jadi dewa,” teriak Bagong.  

Duarrr!

Seketika itu guntur api guntur angin turun ke Bagong dan meledak. Kekuatannya seperti nuklir, sangat dahsyat. Segala isi kahyangan hancur. Yang tertinggal hanya asap putih yang berangsur-angsur memudar.

Dalam keadaan itu Bagong tetap berdiri tegar. Tidak secuil pun tubuhnya tergores. Betara Guru heran. Juga semua dewa di Suralaya.

"Kakang, kenapa guntur api guntur angin tidak mempan pada Bagong?” Tanya Betara Guru pada Betara Narada.

"Eh, adiku, kekuatanmu tidak mempan sama Bagong karena yang dikatakannya adalah benar. Dia adalah sejujur-jujurnya orang. Dia tidak bisa begitu saja kau musnahkan dengan guntur api guntur angin,” jawab Narada.

"Pukulun Narada, Pukulun Narada, tadi itu apa. Kok ada kembang api di kahyangan,” panggil Bagong.

"Eh, Bagong, itu tadi kekuatan guntur api guntur angin Betara Guru mau menghancurkanmu dengan lebur Bagong. Tapi kamu tidak mempan, karena kamu orang jujur,” kata Narada.

"Ok, untung aku kuat, untung aku digdaya. Betara Guru, utang loro (sakit) nyaur loro, utang pati (mati) nyaur pati. Geguyon dadi tangisan,” mata Bagong mendonong, menantang Betara Guru.

Ketika Bagong hendak melayangkan serangan, Betara Guru, Betara Indra, dan Dewo Yamadipati kocar kacir meninggalkan kahyangan. Yang tertinggal hanya Betara Narada.

Suasana kembali tenang. Bagong memanggil Betara Narada.

"Pukulun Narada. Kedatanganku ke mayapada hanya ingin melaporkan kerusakan yang diperbuat Welgeduwelbeh. Tapi tampaknya para dewa tidak peduli dengan keluh kesah wong cilik seperti aku. Sekarang aku harus bagaimana, pukulun?” Tanya Bagong sesenggukan.   

"Turun ke marcapada, Gong. Temui Semar. Dia tahu apa yang harus dilakukan,” perintah Narada.

"Sendiko dawuh, pukulun!”

Noviyanto Aji

Wartawan