Dalang Kondo Buwana


BAGONG NJAMBAL (28)

BETARA KALA masih menebar teror. Pagebluk merajalela. Rakyat terus ditakut-takuti. Dihantui kekalutan. Panik. Tidak bisa membedakan mana yang haq dan bathil. Keadaan negeri kian mencekam. 

Welgeduwelbeh sebagai pemimpin negeri malah acuh tak acuh. Bahkan para cecunguknya dibiarkan saling membuat onar. Mengadu domba rakyat, mengadu domba antar pemuka agama, mengadu domba para ksatria.

‘Negara tidak boleh kalah melawan rakyat’. Ya, rakyat dimusuhi. Ditendang. Dipukul. Dihabisi. Dibunuh. Tidak peduli salah atau benar. Asalkan stabilitas negeri terjaga.

Welgeduwelbeh mulai menerapkan sistem pemerintahan otoriter. Kebijakan yang diambil mencla mencle. Rakyat bingung, aparat juga bingung.  

Welgeduwelbeh telah berdamai dengan Betara Kala. Artinya, ia juga berdamai dengan pagebluk. Wabah tersebut dijadikan senjata untuk melawan rakyat. Aturan pagebluk. Rakyat yang membangkang bakal disingkirkan.  

Sementara belum terlihat tanda-tanda Bagong dan macan jelmaan Prabu Mandura menemukan jejak para Pandawa. Keduanya masih menyisir ke seluruh negeri mencari keberadaan Pandawa.

Di sisi lain, Kresna dan Semar mencari cara untuk melawan Betara Kala.

“Sinuwun Dwarawati sudah tahu siapa Prabu Gendro Swara Pati,” Semar membuka percakapan.

“Iya Kakang Semar. Ia jelmaan Betara Kala. Tidak ada ksatria yang mampu mengalahkannya. Para lancur Pandawa dibuat tidak berkutik. Betara Kala membuat kekuatan Welgeduwelbeh makin tidak terkendali. Ia semakin berani berbuat tidak semena-mena terhadap rakyat,” kata Prabu Dwarawati.

“Benar, Ndoro. Kekuatan Betara Kala dengan wujud Prabu Gendro Swara Pati sangat ngidap-ngidapi. Welgeduwelbeh merasa mendapat dukungan dari ratu pemakan daging manusia. Karena merasa berada di atas angin, Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya bebas melakukan apa saja. Mereka bebas korupsi, bebas menggarong uang rakyat. Kerajaan-kerajaan kecil di bawah kendali Lojitengara diinjak-injak. Welgeduwelbeh kemudian mengangkat ratu baru sesuai kehendaknya,” balas Semar.

Semar melanjutkan, negeri Lojitengara selama dua periode kepemimpinan Welgeduwelbeh yang ada hanya keonaran demi keonaran. Prabu Welgeduwelbeh yang notabene berasal dari rakyat jelata, diakui Semar, tidak pandai memimpin negeri. Kahanan jagat geger, jagat peteng.

Menurut Semar, pagebluk tidak ada sangkutpaut dengan akhir jaman. Pagebluk berasal dari manusia itu sendiri yang kiblatnya dimiringkan oleh Betara Kala.

“Pagebluk saka pokal gawene manungsa. Manusia sudah dikasih papan sing apik, papan sing jembar, yaitu bumi, tapi manusia mudah melupakan. Adanya penyakit jangan dikira berasal dari sing gawe jagat. Ini semua dari manusia. Welgeduwelbeh ratu kucluk. Ia tidak bisa memimpin negeri. Yang mengendalikan negeri justru cecunguk-cecunguknya yang sama sekali tidak memiliki rasa kamanungsan. Bengis dan kejam pada rakyat. Ratu bodoh dibodohi ya Welgeduwelbeh,” tutur Semar.

Prabu Dwarawati lantas memotong kata-kata Semar. Pembicaraan beralih ke sosok Welgeduwelbeh. Keduanya sebenarnya sudah tahu sosok Welgeduwelbeh yang memimpin Lojitengara.

“Kakang, bukankah kita sudah sama-sama tahu kalau Welgeduwelbeh itu wujud aslinya Petruk. Apakah Kakang Semar tidak bisa langsung ngomong ke Petruk untuk menyudahi semua ini,” potong Prabu Dwarawati.

“Tidak semudah itu, Ndoro. Setiap kejadian pasti ada lakonnya. Para dewata sudah menggariskan Petruk menjadi Welgeduwelbeh. Dengan menguasai Jamus Kalimasada, Petruk sebenarnya sedang diuji. Seluruh negeri juga diuji. Sekarang kita bisa melihat bagaimana negeri ini dipimpin oleh rakyat jelata yang bodoh. Welgeduwelbeh hanya rakyat jelata. Dia mencuri Jamus Kalimasada untuk digunakan memimpin negeri. Karena ratunya bodoh dan konyol, yang dipimpin pun jadi bodoh dan konyol. Ratunya boneka, rakyatnya juga boneka,” ujar Semar.

“Lantas bagaimana bisa menghadapi Welgeduwelbeh, Kakang?” Tanya Prabu Dwarawati.

Blegegek ugek ugek sadulito, kita sudah mempercayakan itu pada Bagong. Seorang ratu yang berasal dari rakyat jelata hanya bisa dilengserkan keprabon oleh rakyat jelata. Dan, Bagong adalah wujud dari rakyat jelata. Bagong memang tidak tahu Welgeduwelbeh adalah wujud saudaranya. Tapi saat perang nanti, dia pasti bisa mengenali.  Lagipula Welgeduwelbeh pernah berperang melawan Bagong dan Gareng. Buktinya Bagong tidak diapa-apakan oleh Welgeduwelbeh. Bahkan Welgeduwelbeh memilih untuk menghindar. Selama memimpin Lojitengara, Welgeduwelbeh memang dikenal ratu yang tidak gentar melawan siapapun. Tapi melawan saudara-saudaranya, dia pasti akan mikir berulang kali,” kata Semar.

“Begitu ya kakang. Pemikiranku juga sama dengan Kakang Semar. Cuma sampai kapan kita akan bisa menyudahi semua kekisruhan ini?”

“Garis dewata sudah ditentukan. Pasti akan ada ujungnya, Ndoro. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah menghadapi Batara Kala. Sekarang ini kekuatan Betara Kala telah mengakibatkan rakyat menjadi korban. Ia menyebar pagebluk di mana-mana. Yang panik dan takut pasti akan langsung dilahap. DIjadikan tumbal. Betara Kala tidak bisa begitu saja diberangus. Namun kekuatannya bisa diredam dan singkirkan,” urai Semar.

“Bagaimana caranya, Kakang?” Prabu Dwarawati penasaran.

“Yang bisa melawan adalah Dalang Kondo Buwana,” celetuk Semar.

“Siapa Dalang Kondo Buwana, Kakang?” Prabu Dwarawati bertanya.

Semar tidak menjelaskan siapa Dalang Kondo Buwana. Namun mata Semar langsung menatap tajam Prabu Dwarawati.

“Saat ini saya tidak ngomong sama Dwarawati. Saya juga tidak ngomong sama Kresna. Melainkan sama titis Sang Hyang Betara Wisnu,” tandasnya.

Semar kemudian berkata lirih pada Kresna. Dia mengingatkan cerita berabad-abad lamanya saat digelar wayang Purwa. Saat itu yang menjadi dalangnya adalah Kondo Buwana.  

Saat itu Dalang Kondo Buwana sedang memainkan wayangnya. Tiba-tiba Betara Kala turun ke Marcapada dan manjing di panggung Dalang Kondo Buwana yang tengah memainkan wayang kulit. Kedatangan Betara Kala kala itu sedang mencari sukerta.

Tahu Betara Kala masuk ke pagelaran wayang yang sedang berlangsung, Dalang Kondo Buwana langsung mengusir Kala yang tidak lain anak Betara Guru tersebut.

Ki Dalang mengurungkan niat Betara Kala untuk memangsa anak-anak sukerta, dan oleh Dalang Bondo Buwana, Betara Kala disuruh menempati hutan Gondomayit.

“Sekarang sinuwun sudah ingat kan Dalang Kondo Buwana. Dia adalah titis Wisnu. Itu artinya sinuwun Dwarawati yang bisa mengusir Betara Kala,” kata Semar mengingatkan Kresna.

“Iya, Kakang. Aku ingat sekarang,” lanjutnya.

Kresna lantas merambah dirgantara meninggalkan Semar. Dari kejauhan titis Dewa Wisnu tersebut melihat Prabu Gendro Swara Pati berkacak pinggang usai mengalahkan anak-anak Pandawa. Maka, turunlah Kresna menemui Prabu Gendro Swara Pati.

Kocap kacarita, Prabu Dwarawati langsung menyuruh Prabu Gendro Swara Pati mengubah wujud aslinya.

“Prabu Gendro Swara Pati ayo tunjukkan wujud aslimu!”

“Wujudku Prabu Gendro Swara Pati,” sahutnya.

Ojo ngaku gawan ngawur. Wujud aslimu Betara Kala. Wujudmu Joromoyo Buto abdinya Betari Durga. Ayo berubah!” Seru Kresna.

Hanya dalam sekejab wujud Prabu Gendro Swara Pati menghilang, kemudian muncul sosok raksasa dengan wajah menyeramkan.

“Kresna, jangan ganggu aku. Aku mau makan dagingnya orang-orang sukerta. Pandawa sudah tak pakunjaran. Pandawa bakal tak jangka,” kata Kala dengan suara besar yang menggelar.

“Kala, aku bukan Kresna, aku juga bukan Dwarawati. Tapi lihatlah dengan permono jati (mata batin). Yang wujud di sini adalah Betara Wisnu. Kala, kamu pasti ingat dengan Dalang Kondo Buwana. Kamu pernah tak tolong saat dikejar-kejar orang. Kamu meminta perlindungan sama Dalang Kondo Buwana. Aku adalah Dalang Kondo Buwana. Ayo pergi. Jangan buat onar lagi di Marcapada,” ancam Kresna.

“Aku luwe. Aku harus makan anak sukerta. Pandawa adalah tumbalku,” balas Kala.

“Ayo balik. Jangan ganggu Pandawa. Jangan menyebar angkara murka di jagat. Selagi ada Betara Wisnu, jangan berani-beraninya kamu mubal-mubal nafsu angkaramu. Kalau tidak balik akan kubacakan caraka balik. Apa berani kowe menangkap senandungku. Kowe bakal mati kobong,” perintah Kresna.

Betara Kala tetap ngeyel. Namun begitu Kresna mulai merapal caraka balik, tiba-tiba Betara Kala merasakan tubuhnya seperti terbakar.

“Haduh, panas…panas…mati aku. Kyai dalang, hentikan…hentikan…” pinta Betara Kala.   

Kresna pun menghentikan rapalannya. Betara Kala langsung bersimpuh di hadapan Kresna. Meminta ampun dan berjanji tidak akan berbuat onar lagi.

“Ayo balik, jangan ganggu Ngamarta. Bawa balik anakbuahmu. Sing pecak dituntun, sing lempoh digendong,” perintah Kresna.

“Ampun Kyai Dalang, ampun Kyai Dalang, nyuwun pamit Kyai Dalang,” rintih Betara Kala seketika itu meninggalkan Kresna.

Tidak terima Betara Kala dikalahkan Kresna, Betari Durga, sang ibu turun ke bumi. Tujuannya hendak melawan Kresna. Namun buru-buru dihadang Semar.

“Ayo Durga, balik. Jangan ganggu ketentraman manusia. Ayo anakbuahmu dijak balik. Sing pecak dituntun, sing lempoh digendong. Kalau berani ganggu manusia, jangan tanya dosa-dosamu. Musuhmu aku. Tak bacakan qulhu balik, kobong kowe,” tantang Semar.

“Ampun…ampun…Kyai Semar. Nyuwun pamit,” sahut Durga.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim