Rezim Welgeduwelbeh


BAGONG NJAMBAL (29)

KRESNA berhasil mengusir Betara Kala. Semar juga berhasil mengusir Betari Durga. Seharusnya pagebluk sudah tidak ada. Namun keruwetan negeri masih ada.

Rupanya isu pagebluk tetap dipakai rezim Welgeduwelbeh untuk melawan musuh-musuh politiknya. Sementara keberadaan Pandawa hingga kini belum jelas. Tanpa Pandawa, kerajaan-kerajaan seperti Dwarawati, Mandura, Pancala, Pringgodani, tidak berkutik.

Meski Dwarawati memiliki Basudewa Kresna yang sakti, tetap tidak akan mampu melawan Welgeduwelbeh. Hanya Ratu Ngamarta yang bisa melawan Ratu Lojitengara sebab mereka bisa menyatukan seluruh kerajaan.

Dengan hilangnya Pandawa, kekuatan Welgeduwelbeh justru makin tidak terbendung, dan terkesan ngawur.

Welgeduwelbeh menganut politik pecah belah. Musuh-musuhnya diiming-imingi jabatan. Semua dirangkul. Diberi omben-omben ala suwargaloka. Mereka menjadi singa dalam kandang. Beringas tapi tidak berkutik. Sebaliknya, yang menolak akan digebuk. Dibubarkan. Dihabisi.

Welgeduwelbeh memang ratu pekok, ratu kentir. Saat panik, cecunguk-cecunguknya disuruh menggebuk siapa saja yang tidak tunduk pada raja. Yang melawan bakal dicap kelompok intoleran dan radikal. Politik identitas dipakai rezim Welgeduwelbeh untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Padahal secara logika, cecunguk-cecunguk Welgeduwelbeh banyak yang melakukan perbuatan keji. Rakyat diadu domba. Rakyat dibunuh tanpa dasar apapun. Menindas wong cilik semaunya. Menaikkan pajak setinggi-tingginya dari rakyat yang kemudian digunakan untuk menutup-nutupi kejahatan korupsinya. Akibatnya, ekonomi negeri hancur. Utang menumpuk. Sementara kejahatan korupsi malah dilindungi.

Belum lagi, kelompok pendukung Welgeduwelbeh selama ini terang-terangan ingin mengubah prinsip-prinsip pancaprasedya menjadi triprasedya hingga ekaprasedya. Semua alat negara dikerahkan untuk mendukung hal itu.

Semua keruwetan ini dirasa oleh Bagong saat mengembara bersama macan jelmaan Prabu Mandura mencari keberadaan Pandawa yang disekap oleh Betara Kala.  

Selama pengembaraan, Bagong banyak bertemu rakyat jelata. Mereka mengeluhkan tindakan tidak berperikemanusiaan prajurit-prajurit Welgeduwelbeh. Isu pagebluk dipakai sebagai teror untuk menakut-nakuti rakyat.

Batin Bagong menjerit. Ingin segera membinasakan Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya. Kendati Prabu Dwarawati telah menugaskan Bagong menumpas Welgeduwelbeh, namun tanpa kekuatan dewata, Bagong bukanlah siapa-siapa. Bagong hanya rakyat kecil. Tidak sebanding dengan kekuatan Welgeduwelbeh.

Hingga akhirnya Bagong dan macan jelmaan Prabu Mandura berhenti di tengah hutan. Keduanya kelelahan sehabis berjalan cukup lama.

Bagong mengawali percakapan, “Can, macan, sekarang kita mau ke mana lagi. Sudah lama kita berjalan tapi tidak juga menemukan Pandawa,” keluh Bagong.

Panusmaning jajalanat sukertaning bawana iblis, Bagong aku ini Ratu Mandura, bukan macan,” ujar Prabu Mandura.

“Ratu tapi wujud macan,” Bagong cengengesan.

Wis embuh, sak karepmu,” Prabu Mandura pasrah.

Bagong menumpahkan keluh kesahnya.

“Ampun sinuwun, sampai kapan kita akan mencari Pandawa. Kita juga tidak tahu di mana Pandawa disekap Batara Kala. Kalau begini terus, keadaan negeri akan makin ruwet. Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya akan semakin tidak terkendali,” ucap Bagong.

Hal itu diiyakan oleh Prabu Mandura. Menurutnya, Pandawa tetap harus ditemukan. Sebab Pandawa adalah harapan manusia.

“Hanya Pandawa yang dapat mengubah kondisi negeri. Saat ini negeri dalam kondisi gelap gulita. Kepemimpinan Welgeduwelbeh telah membuat rakyat menderita lahir batin. Yang bisa mencerahkan hanya Pandawa. Rakyat bisa kembali hidup rukun, tentram dan manunggal jika Pandawa ditemukan. Dan, aku juga bisa berubah wujud seperti manusia lagi,” timpal Prabu Mandura.

“Bagaimana jika kita tidak menemukan Pandawa?” Tanya Bagong.

“Keadaan akan terus seperti ini. Rezim Welgeduwelbeh akan terus menjadi titi kolo mongso tiada akhir,” jawab Prabu Mandura.

“Iya sinuwun. Sekarang ini saya melihat cecunguk-cecunguk Welgeduwelbeh mulai ndombani ke sana kemari. Mereka yang diberi jabatan dan punya purbowasesa seakan mau memamerkan kekuasaan. Berlagak menjadi ratu. Bikin aturan sendiri. Bunuh sana bunuh sini. Musuh-musuhnya dihancurkan tanpa melalui proses pengadilan. Mereka tidak tahu bahwa jabatan yang diembannya tidak ada yang abadi. Mereka berani melakukan itu karena punya ratu yang pekok dan kentir,” tegas Bagong.

“Batin mereka ketul, Bagong. Saat memperoleh jabatan, dzat kang murwaning dzat dilupakan,” imbuh Prabu Mandura.  

“Benar sinuwun. Kodrating sang mohoning woso, sang mohoning tunggal telah dilupakan demi purbowasesa. Manusia memang selama ini kedunungan ino, salah, lali, apes, dan mati. Tapi yang dilakukan Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya sudah di luar batas kewajaran. Apalagi kalau saya melihat Begawan Durna, mbelenek sekali!” Seru Bagong.

“Durna kenapa, Bagong?” Tanya Prabu Mandura.

“Apa yang terjadi di negeri ini tidak lepas dari peran Durna. Kalau Sengkuni suka mengadu domba, Durna justru cangkeme mencla mencle. Dua-duanya sama-sama bikin geger kahanan negeri. Durna sok pintar, sok negarawan, sok religius, sok suci, tapi kelakuannya bejat.”

“Bejat bagaimana?”

“Yang korupsi dilindungi. Yang membunuh dilindungi. Yang pelacur menghina agamawan dilindungi. Yang kelompok menghina kelompok lain dilindungi asal pro rezim. Yang memupuk utang dilindungi. Yang menggunakan dana rakyat untuk mengejar jabatan politik dilindungi. Yang anak pejabat disanjung-sanjung dan dilindungi meski salah. Justru yang benar dan berjuang demi rakyat disalahkan. Dicari-cari pasal kesalahannya dan kemudian dipakunjara. Yang kelompok anti rezim Welgeduwelbeh dibubarkan karena dicap radikal dan intoleran. Benar-benar bejat Durna. Saking bejatnya, coba sinuwun perhatikan, Durna tidak bisa mengucap kata ‘menyengsarakan’. Itu karena dia sudah terlalu banyak menyengsarakan rakyat. Sebab hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Sehingga lidahnya dikutuk dewata tidak bisa mengucap kata ‘sengsara’. Semoga matinya Durna ngenes,” doa Bagong.

“Durna nanti takdirnya akan mati dengan tragis di tangan Pandawa saat perang Baratayudha,” sahut Prabu Mandura.

“Sinuwun tahu darimana?”

“Kresna yang cerita!” Serunya.  

“Terus Welgeduwelbeh matinya bagaimana, sinuwun?” Tanya Bagong.

“Kata Kresna, Welgeduwelbeh bisa lengser keprabon jika berhadapan dengan Bagong,” jawab Prabu Mandura.

Jagat dewa batara, kok Bagong lagi sinuwun. Saya kan tidak punya kesaktian. Pasti Prabu Dwarawati salah,” tangkis Bagong.

“Semar juga bilang begitu!”

“Weleh Semar edan kok digugu!”

“Gong, Kresna dan bapakmu itu titis dewa. Mereka tidak asal ucap. Kalau Welgeduwelbeh mati di tanganmu ya pasti. Lagipula kowe kan perwujudan wong cilik. Welgeduwelbeh tidak akan sanggup melawan wong cilik,” timpal Prabu Mandura.

Saat Bagong dan macan jelmaan Prabu Mandura tengah berbincang, tanpa sadar mereka melihat sebuah pohon besar. Manca jelmaan Prabu Mandura merasakan ada kekuatan tidak wajar di pohon tersebut.

“Gong, coba kamu pegang batang pohon itu!” Perintah Prabu Mandura.

Saat Bagong mendekat, tiba-tiba tubuhnya terpelanting hebat.

“Hmm, pohon ini tidak wajar, Gong.”

“Ampun sinuwun, apa pohon ini ada demitnya!”

“Bukan demit. Tapi suatu kekuatan tidak kasat mata menutup-nutupinya. Aku yakin ini tempat Betara Kala menyekap Pandawa. Manusia biasa tidak akan mampu menghancurkan kekuatan ini. Benar kata Kakang Semar, penjara ini harus dihancurkan oleh kekuatan macan,” tutur macan jelmaan Prabu Mandura.

“Kalau begitu tunggu apa lagi, sinuwun,” Bagong buru-buru mengingatkan Prabu Mandura.

Tanpa menunggu lama, macan jelmaan Prabu Mandura langsung mengerang dengan hebat. Dengan cakar-cakarnya yang tajam, macan jelmaan Prabu Mandura langsung merobek-robek kekuatan tidak kasat mata tersebut.

Tidak butuh lama, kekuatan itu langsung pudar. Walhasil, pohon besar itu seketika hilang dari pandangan mata. Dari situ muncul para Pandawa. Sementara macan tadi mengerang-ngerang usai berhasil menunjukkan kesaktiannya.

Ratu Darmakusuma yang pertama menyapa diikuti para Pandawa lainnya.

“Salam macan. Salam Bagong. Terima kasih telah membebaskan kami dari belenggu Betara Kala,” sapa Ratu Darmakusuma.

“Salam juga Pandawa akhirnya kalian bisa bebas,” macan menjawab.

Para Pandawa dibuat kaget ada macan bisa berbicara layaknya manusia.

“Siapa gerangan macan ini?” Tanya Permadi, tak lain Arjuna.

“Aku jelmaan Prabu Mandura. Aku dikutuk Prabu Gendro Swara Pati jelmaan Betara Kala menjadi macan. Tapi oleh Kakang Semar wujudku akan kembali seperti sediakala jika berhasil membebaskan para Pandawa,” kata Prabu Mandura.

Setelah berkata demikian, tiba-tiba wujud macan mengeluarkan asap tebal dan menghilang. Kemudian berganti wujud menjadi sosok manusia tak lain Prabu Mandura.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim