Kriwikan Dadi Grojogan, Geguyon Dadi Tangisan

Bagong dan Gareng/Net
Bagong dan Gareng/Net

BAGONG NJAMBAL (30)

PARA Pandawa telah terbebas dari belenggu Betara Kala. Wujud Prabu Mandura juga sudah kembali seperti sediakala. Namun Pandawa masih harus dihadapkan masalah pelik. Tatanan praja Ngamarta rusak. Selain pagebluk, seluruh negeri mengalami gonjang ganjing politik.

Di bawah kepemimpinan Welgeduwelbeh, Kurawa melancarkan serangan bertubi-tubi pada Pandawa.

Ketiadaan Pandawa yang dipakunjaran oleh Betara Kala dimanfaatkan Kurawa untuk melakukan tipu daya, fitnah keji, intrik politik, hingga pembunuhan.

Rencana jahat disusun Kurawa untuk menjatuhkan Pandawa. Salah satunya menjadikan pagebluk sebagai alat untuk membungkam rakyat jelata.

Bagong bercerita, sejak Pandawa hilang dari praja Ngamarta, kondisi negeri makin tidak menentu. Welgeduwelbeh dan Kurawa telah melakukan banyak kekisruhan. Berbagai fitnah dan tipu daya dilancarkan untuk mencelakakan Pandawa.

“Keyakinan rakyat diusik. Dibatasi. Dikangkangi. Dilemahkan. Saat tidak ada pertahanan lagi, mereka pun dihancurkan berkeping-keping. Atas nama pagebluk, Welgeduwelbeh dan Kurawa menindas kaum lemah. Rakyat dilarang berdagang di malam hari. Yang melanggar dimasukkan penjara.”

“Anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan layak. Kesehatan manusia dipermainkan. Orang sakit ‘dipageblukan’. Orang mati ‘dipageblukan’. Terus dimakamkan tidak wajar. Orang kemudian takut berobat. Sebab adat istiadat sudah dilanggar dan dirusak. Sementara dana bantuan sosial diselewengkan ramai-ramai. Sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban dana pagebluk. Ujug-ujug, negara memiliki utang segunung,” cerita Bagong pada Pandawa.

Jagad dewo batara yo jagad moho woso,” Prabu Darmakusuma mengelus dada, “Kok seperti itu kahanan jagad, Bagong?” Tanyanya.

“Ini akibat rakyat kecil jadi ratu, Ndoro. Kriwikan dadi grojogan, geguyon dadi tangisan. Di tangan Welgeduwelbeh masalah sepele dijadikan rumit. Kahanan jagad geger sebab ratunya tidak bisa memimpin rakyat. Ratunya mabuk kekuasaan. Dosa-dosa Welgeduwelbeh sangat besar,” celetuk Bagong.  

Akibat kelakuan Welgeduwelbeh, penghuni kahyangan marah. Alam pun murka. Sang Hyang Moho Woso menurunkan bencana dari segala penjuru. Gempa bumi, gunung meletus, samudra kocak (sunami), angin ribut, banjir, tanah longsor. Alam mulai tidak bersahabat. Kondisinya seperti politik yang kacau balau.

“Bumi gonjang ganjing, langit kerlap kerlip. Alam menjadi murka. Semua gara-gara Welgeduwelbeh yang dimabuk kekuasaan. Kekayaan negara dikeruk. Dijual ke asing. Utang menumpuk. Uang rakyat dibuat bancakan. Tatanan pemerintahan dibuat jak-jakan. Aturan diubah seenak udele. Fitnah, tipu daya, intrik, ancaman, hingga pembunuhan terjadi di mana-mana. Rakyat bimbang, takut dan panik,” kata Bagong.

Bapak Semar pernah mengingatkan, ketika negara dipimpin seorang ratu yang mabuk kekuasaan, alam akan menunjukkan murkanya. Saat itulah bencana melanda di mana-mana. Lindu makaping-kaping, bumi goncang, gunung mbeleduk, samudra kocak, larang sandang larang pangan. Yang di langit jatuh ke lautan. Yang di darat digoyang gempa, yang di laut disapu angin ribut hingga tsunami. Yang di sungai diluapkan airnya. Yang di gunung disemburkan isinya. Yang di bukit dilongsorkan tanahnya. Ndoro, keadaan negeri sekarang morat-marit,” tandas Bagong.

 “Terus apa yang dilakukan kakangku Jliteng, Bagong?” Giliran Yodipati bertanya ke Bagong.

“Ampun sinuwun, Nata Dwarawati tidak bisa berbuat banyak. Sama seperti Semar, Nata Dwarawati hanya pamomong. Meski keduanya titis dewa namun tidak mudah mengalahkan Welgeduwelbeh. Ratu kentir itu sakti kalintang jayane perang. Justru dengan kekuatan Pandawa jagad ini bisa terang benderang,” jawab Bagong.

“Begitu ya Bagong,” sahut Prabu Darmakusuma.

Bagong manggut-manggut.

Tiba-tiba Prabu Mandura memotong pembicaraan.

“Adikku Darmakusuma, jangan percaya yang dikatakan Bagong. Aku dengar sendiri dari kakang Semar dan Kresna kalau yang bisa mengalahkan Welgeduwelbeh adalah Bagong. Bukan siapa-siapa. Bukan ksatria Ngamarta, bukan ksatria Dwarawati, bukan juga dari Mandura. Tapi Punakawan Bagong,” sebut Prabu Mandura.

Bajigur, Ndoro Mandura jangan seru-seru kalau bicara!’ Seru Bagong.

“Lho lak bener toh Bagong yang didawuhkan Semar dan Kresna,” sahut Prabu Mandura.

Dasar keporo nyoto, apa yang diucapkan sinuwun Mandura tidak salah. Cuma hamba tidak tahu cara melawan Welgeduwelbeh,” ucap Bagong.

Prabu Darmakusuma lantas memerintahkan Bagong pergi ke kerajaan Lojitengara. Sementara Pandawa dan Prabu Mandura kembali ke Ngamarta.

“Bagong, kalau itu sudah menjadi dawuh Prabu Dwarawati dan kakang Semar, maka harus segera dilaksanakan. Sekarang aku perintahkan Bagong pergi ke Lojitengara,” perintah Prabu Darmakusuma.

Tanpa berani membantah, Bagong lantas pergi meninggalkan para Pandawa.

“Hamba berangkat sekarang, sinuwun. Wedhus kabeh,” Bagong mengapurancang dan pergi sembari mengumpat dalam hati.

Mereka pun berpisah. Begong melanjutkan perjalanan menuju kerajaan Lojitengara. Kendati demikian, Bagong sulit melangkah. Kakinya terasa berat. Itu karena dia punya tugas berat, yakni memulihkan kahanan negeri. Satu-satunya cara adalah dengan mengalahkan Welgeduwelbeh.  

Bagong masih bertanya-tanya bagaimana cara melawan Welgeduwelbeh. Dia tidak punya daya kekuatan. Meski Bagong diciptakan dari ayang-ayang (bayang-bayang) Semar, namun dia tidak sehebat bapaknya. Jangankan Bagong, Semar dan Kresna saja tidak mampu melawan Welgeduwelbeh. Para ksatria yang kuat juga kalah, apalagi Bagong hanya jongos. lBahkan para dewa di kahyangan tida berkutik menghadapi Welgeduwelbeh. Ratu kentir itu tidak tertandingi.

Dalam kebimbangan, Bagong teringat Gareng. Dia ingin mengajak kakaknya ikut bertarung. Sebab, Bagong dan Gareng pernah sekali bertarung melawan Welgeduwelbeh. Keduanya bahkan berhasil membuat Welgeduwelbeh lari pontang-panting.

“Apa sebaiknya aku mengajak kakang Gareng. Si tekle itu sebenarnya suka perang,” gerutu Bagong.

Sejenak Bagong manteg aji. Mata terpejam. Kedua tangan diletakkan di pundak. Mulutnya komat kamit. Batinnya memanggil Gareng. Dan, Cliiiing!  

Mendadak Gareng muncul di hadapannya sambil memegang piring nasi dalam kondisi ndoprok.

Celingukan Gareng, dan yang dilihatnya Bagong.

“Bagong munyuuuukkk, kenapa kamu panggil aku. Ga ngerti aku sedang mbadhok ya!” Gareng marah dan menunjukkan piring nasinya.

“Reng, aku dapat tugas dari Prabu Darmakusuma untuk menghadapi Welgeduwelbeh. Bantu aku yo, Reng!” Pinta Bagong.

Ora sudi!” Seru Gareng jengkel.

“Kowe kan kakangku. Kalau aku mati bagaimana?”

“Mati urusanmu, urip urusanmu,” jawab Gareng sekenanya.

“Petruk kemana toh, Reng. Kok ta panggil ga jawab?” Tanya Bagong.

“Paling lagi sama Prantawati. Lagi ehem-ehem,” sahut Gareng.

“Reng, ayo toh bantu aku. Apa mau tak wadulkan ke Semar,” rengek Bagong.  

Karepmu,” Gareng membelakangi Bagong dan hendak melangkah pergi.

“Oh gitu ya, Reng. Sama saudara gak mau bantu. Ini kriwikan dadi grojogan, geguyon dadi tangisan lho. Wis mulai sekarang kita bukan saudara lagi!” Ancam Bagong sesenggukan.

Melihat Bagong menangis, Gareng tak kuasa. Kemudian berkata, “Gong, kowe itu adikku yang paling kusayangi. Aku cuma guyon. Kalau sampai ada yang menyakiti Bagong, aku yang tidak terima. Rawe-rawe rantas, malang-malang tak putung,” kata Gareng tegas.

Jawaban Gareng membuat hati Bagong sumringah.  

“Hei, Ratu Welgeduwelbeh, kowe ojo mlayu. Rakyat jelata sudah kamu plokoto. Kahanan jagad geger karena ulahmu. Tak katutno duso-dusomu. Siapkan dirimu menghadapi Gareng dan Bagong, ksatria Ngamarta,” tantang Gareng.

Mendengar hal itu, Bagong tak kuasa menahan tawa. Mulutnya ditutup rapat-rapat agar tidak terlihat tawanya. Sehingga hanya gerak pundak yang bergerak naik turun terkekeh-kekeh.  

Lapo ngguyu, Gong!”

“Gak pantes, Reng. Wong kicer, deglok, kok nantang perang,” sebut Bagong.

“Asuuuu!”

Penulis adalah wartawan Kantor Berita RMOLJatim