Tantangan pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada anak terkait isu sosial, tetapi juga pada isu kesehatan, utamanya terkait rokok. Anak-anak menjadi kaum yang paling rentan saat ini karena mereka berada di rumah yang berpotensi terpapar asap rokok serta iklan dan promosi rokok di media sosial.
- Calon Jamaah Haji Boleh Bawa Rokok, Maksimal 200 Batang
- WHO Desak Pelarangan Vape dan Rokok di Lingkungan Sekolah
- Dalami TPPU Eks Kepala Kantor Bea Cukai Makassar, KPK Geledah Pabrik Rokok dan Distributor BBM
Sebelum pandemi saja, menurut data Perki (2018) ada sebanyak 40 juta anak di bawah 5 tahun merupakan perokok pasif. Sedangkan berdasar survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, sebanyak 57,8 persen anak Indonesia terpapar asap rokok di rumahnya.
Apalagi di saat pandemi terjadi, potensi anak terpapar rokok akan sangat tinggi. Pihak yang paling banyak memberikan sumbangsih paparan asap rokok terhadap anak di rumah adalah orang tua dari anak itu sendiri. Tidak sedikit orang tua Indonesia merokok di dekat anaknya, bahkan yang berusia balita.
Dampak kesehatan bagi anak-anak yang menjadi perokok pasif sangat besar dimana paparan asap rokok yang terus menerus pada anak berpotensi menghambat hak anak untuk tumbuh dan berkembang optimal. Seseorang yang terpapar asap rokok dari perokok aktif bisa menyebabkan penyakit serius hingga kematian.
Belum lagi, peluang anak untuk membeli rokok menjadi semakin mudah, karena selain harga rokok murah, waktu luang anak di rumah lebih banyak, juga karena pengawasan orang dewasa, (orang tua dan guru) menjadi berkurang.
Selain itu, dampak serius lainnya adalah anak-anak yang di masa pandemi Covid-19 banyak melakukan aktivitas belajar dari rumah, berpotensi terpapar iklan dan promosi rokok yang massif di media sosial.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka jangan berharap jumlah perokok anak akan menurun. Saat ini saja, selama 10 tahun terakhir prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik mencapai 9,1 persen pada 2018 (Data Riset Kesehatan Dasar 2018). Jika tidak ada upaya serius, maka pada 2030 jumlah perokok anak akan mencapai 15,8 juta atau 15,91 persen (proyeksi Bappenas, 2018).
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari mengatakan semua pihak harus berupaya secara optimal agar anak sebagai kelompok rentan tetap mendapatkan perlindungan selama pandemi Covid-19. Sebab anak-anak dan remaja saat ini adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Mereka pula yang akan menikmati bonus demografi di saat Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi pada 2030.
"Tetapi kenyataannya, kondisi mereka sangat rentan selama pandemi karena paparan asap rokok dari orang tua dan orang dewasa lainnya yang merokok di rumah. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan bebas dari asap rokok justru menjadi tempat dimana mereka menghirup berbagai jenis zat berbahaya dari asap rokok," kata Lisda dalam diskusi daring Alinea Forum bertajuk Harapan Baru Penurunan Prevalensi Perokok Anak bersama Menkes Ri Budi Gunadi Sadikin, Kamis (4 /2).
Selain Lisda, beberapa narasumber hadir dalam diskusi tersebut, yakni Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kemenko PMK Nancy Dian Anggraeni, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat-Ditjen Kesmas Imran Agus Nurali, dan Sekjen ISMKMI Periode 2020/2021 Mikail Ramadhan Hermadyan Dewadaru.
Lisda juga menegaskan, kondisi anak sangat rentan karena paparan iklan rokok yang begitu massif di media sosial. Sedangkan di sisi lain regulasi untuk melindungi anak sangat lemah. Sebagaimana penanganan Covid-19 yang memerlukan regulasi dan kebijakan komprehensif, upaya penurunan jumlah perokok anak juga sangat membutuhkan regulasi yang kuat dan tegas.
Indonesia sudah memiliki PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan, namun implementasi PP 109/2012 terbukti gagal melindungi anak dari rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Karena IPS rokok masih dibolehkan serta akses rokok sangat mudah karena murah dan dapat dibeli dimana-mana.
Karena itulah revisi PP 109/2012 menjadi sangat penting untuk melindungi anak Indonesia dari adiksi rokok dan mencapai target penurunan prevalensi perokok anak seperti yang diamanahkan RPJMN 2020-2024.
Proses revisi PP 109/2012 seharusnya dilakukan pada 2018 lalu atau sesuai Keppres No. 9/2018. Tapi faktanya, penyelesaian revisi PP 109/2012 yang menjadi tanggung jawab Kemenkes RI justru terkesan melambat. Tertundanya proses revisi PP 109/2012 selama lebih dari dua tahun menjadikan para pegiat pengendalian tembakau yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) kecewa.
Itu sebabnya, KOMPAK, yang diwakili Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak (YLA); Shoim Sahriyati, S.T, Ketua Yayasan Kepedulian Untuk Anak Surakarta (Yayasan Kakak); OK.
Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia Syahputra Arianda, dan Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait melayangkan Surat Peringatan Somasi kesatu kepada Kemenkes RI pada 12 November 2020 yang isinya mendesak Kemenkes RI melakukan tugasnya menyelesaikan revisi PP109/2012.
Somasi kesatu, yang kemudian disusul dengan somasi kedua, ternyata tidak juga mendapat tanggapan dari Kemenkes. Karena itulah KOMPAK akhirnya melaporkan Menkes dr. Terawan Agus Putranto kepada Ombudsman Republik Indonesia pada 3 Desember 2020.
Melalui kuasa hukumnya, Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) Indonesia, mereka mendaftarkan laporan yang intinya menyebutkan bahwa Menkes dr. Terawan diduga telah melakukan maladministrasi terkait revisi PP No. 109/2012, sehingga KOMPAK mengharapkan Ombudsman RI dapat membantu melakukan investigasi secara mendalam tentang dugaan maladminstrasi Kementerian Kesehatan RI cq Menteri Kesehatan RI terkait proses Revisi PP109/2012 tersebut.
Namun, belum selesai proses penanganan dugaan maladminstrasi Kementerian Kesehatan RI cq Menteri Kesehatan di Ombudsman, pada akhir Desember lalu Presiden Jokowi melakukan pergantian beberapa menteri Kabinet Indonesia Maju, salah satunya Menkes dr. Terawan yang digantikan Budi Gunadi Sadikin.
Terpilihnya Menteri Kesehatan yang baru, Budi Gunadi Sadikin, membawa secercah harapan terkait komitmen pemerintah melindungi kesehatan seluruh masyarakat dalam seluruh aspek, termasuk upaya perlindungan anak dari bahaya rokok dan dari target pemasaran industri rokok.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Calon Jamaah Haji Boleh Bawa Rokok, Maksimal 200 Batang
- Detail Rekonstruksi Pembunuhan 4 Anak
- WHO Desak Pelarangan Vape dan Rokok di Lingkungan Sekolah