Tukang Masak dan Rahasianya (2)

Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA
Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA

MUS menjadi pembantu rumah tangga di Tjan Cuk tahun 1940. Ada empat orang yang bertugas di rumah itu. Dua orang bertugas membersihkan rumah, dua lagi memasak. Mus dan Bik Inah memperoleh bagian memasak.

Awalnya ia buta soal masakan. Sebagai gadis desa yang baru keluar dari peraduannya di Gresik, wajarlah jika pengetahuannya soal masakan sangat minim. Namun pengetahuan itu lambat laun terbangun dengan ketabahan Bik Inah yang bersedia untuk mengajarinya.

Dari yang awalnya sekedar bantu-bantu mengupas bumbu dan mengulek, Mus muda akhirnya menjadi mandiri dan berhasil menjadi tukang masak handal. Ia bukan cuma pandai memasak makanan Jawa, tapi juga China dan Eropa.

Sebaliknya pertentangan batin kembali dihadapkan padanya. Melihat ulah Belanda-Belanda itu, hati Mus bergolak dengan hebat. Akibat pertentangan batin yang dialaminya bertahun-tahun di rumah Tjan Cuk, kemudian memunculkan sebuah pengajaran padanya bahwa untuk menghargai diri sendiri, ia harus bisa menghargai bangsanya. Menjadi pejuang bukan cita-citanya, namun untuk merontokkan semua penjajah kolonial di negeri ini sudah masuk dalam agenda hidupnya.

Dalam sehari Mus bisa memasak hampir 50 piring dimana setiap piring terdapat 5-10 menu. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Bersama Bik Inah, Mus bekerja dari pagi, siang dan malam. Padahal saat itu mereka hanya menerima gaji sebesar 5 sen. Sebuah pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Sementara hasil yang didapat tidak sepadan. Keduanya sempat kuwalahan. Tanpa mengadu pada majikannya, Tjan Cuk memahami ketidakberdayaan kedua pembantunya itu. Berkali-kali Tjan Cuk berpesan kepada Mus dan Bik Inah.

“Kalian yang sabar. Saya tahu tugas kalian berat. Tapi saya sangat berharap bantuan kalian. Kalau ada apa-apa panggil saja saya. Dan seandainya ada pekerjaan kalian yang kurang, saya berjanji tidak akan menegur kalian. Saya janji akan selalu menjaga perasaan kalian.”

“Iya, Tuan!” Bik Inah manggut-manggut.

“Mus, bagaimana dengan kamu?” Tanya Tjan Cuk menepuk pundaknya.

“Tidak apa-apa Tuan. Saya ikhlas mbantu Tuan!” Sahut Mus.

“Terima kasih ya. Kalau kalian kuwalahan memasak, kalian minta bantuan Ijah dan Warti. Bilang saya yang menyuruh kalian.”

Injeh, Tuan.” Sahut Mus dan Bik Inah bersama-sama.

Keduanya kembali ke dapur. Akan tetapi tamu-tamu Tjan Cuk tak kunjung berkurang. Setiap hari tamu-tamu itu bisa mencapai 50 orang. Bahkan pernah ada yang sampai 100 orang. Kalau sudah begini pekerjaan tidak bisa dilakukan berdua. Terpaksa Bik Inah meminta bantuan Ijah dan Warti yang job descripsi-nya hanya sebagai pembersih ruangan dan mencuci pakaian. Dengan mereka berempat, pekerjaan sebenarnya bisa diselesaikan dengan cepat, hanya saja kemampuan mereka tetap terbatas. Semakin banyak tamu semakin berat pula tugas yang Mus emban.

“Cecunguk-cecunguk (sebutan Belanda) itu datang tiap hari. Tugas kami semakin berat. Aku kasihan dengan Bik Inah. Ia sudah tua. Tidak seharusnya bekerja terlalu berat. Pernah sampai Bik Inah pingsan karena kelelahan. Akhirnya tugas aku selesaikan sendiri, bertiga dengan Ijah dan Warti. Aku bahkan pernah memasak dalam satu panci besar untuk cecunguk-cecunguk itu. Enak mereka tinggal makan, sedang kami kesusahan tiap harinya.”

Beruntung Tjan Cuk sangat pengertian. Melihat rumahnya kerap dijadikan persinggahan, ia lantas mengadakan pengumuman yang berisi: tidak menerima tamu di hari minggu.

Setelah beberapa tahun memasak tanpa berhenti, kontan hal ini memberi angin baru bagi Mus dan teman-temannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Mus. Dalam waktu senggangnya, ia meminta ijin pada majikannya untuk diijinkan keluar.

Tjan Cuk tidak melarang, malahan ia menyarankan semua pembantunya berlibur. Ada yang memilih pulang kampung, ada yang menghabiskan waktu bersama suami dan anak-anaknya. Bagi yang lajang mereka memilih berpacaran keliling kota. Namun Mus lebih suka memanfaatkan waktu liburan itu untuk bergaul dengan orang-orang warungan yang tak jauh dari rumahnya.

Kebetulan tak jauh dari rumah majikannya di Jalan Kebalen terdapat warung yang menyediakan panganan kesukaan Mus, yakni bubur kacang ijo.

Mus menyantap kacang ijo kegemarannya dengan lahap. Dari situ dan karena kebiasaannya setiap minggu menyantap bubur kacang ijo, Mus berhasil membuka perkenalan dengan orang-orang muda yang belakangan diketahui anggota kelompok atau geng para pencoleng.

Awalnya Mus segan memberitahu keberadaan tentara-tentara Belanda yang kerap nongkrong di rumah majikannya.

Tau ah, pokoknya di sana tuh setiap hari banyak orang Belanda yang datang,” tolak Mus ogah-ogahan.

“Ayolah, jangan pelit gitu Mus. Nggak ada salahnya bagi-bagi informasi kepada teman sebangsa sendiri. Toh, ini juga untuk kebaikan kita semua. Kasih tahu saja sekali ini,” desak salah satu pemuda bernama Moenasan, pimpinan geng.

Moenasan seorang pemuda yang garang, tetapi memiliki hati yang syahdu, pecinta dan lembut. Kelembutannya akan hilang manakala ia berpapasan dengan Belanda. Yang muncul justru kebencian berapi-api. Bukan hanya benci, bahkan pemuda itu rela membunuh mereka tanpa dibayar sepeser pun.

Memang, bila dilihat sekilas fisik Moenasan tidaklah kentara layaknya jagoan. Perawakannya kecil, tubuhnya kerempeng, seandainya dipukul sekali pun dia pasti akan tersungkur ke tanah. Cuma semangat juang pemuda yang satu ini patut diacungi jempol. Semangatnya melebihi 100 orang. Maka, layaklah jika dia ditunjuk sebagai pimpinan gerombolan pencoleng.

“Iya, Mbak Mus. Gimana kalau kita traktir kacang ijo,” anak buah Moenasan yang lain merangsek mengikuti kata-kata bosnya.

Alah, kalian cuma mikir diri sendiri. Setelah kalian rampok mereka, hasilnya cuma kalian bagi sendiri. Bagaimana dengan nasib orang-orang pribumi. Aku tahu kalian tidak mungkin melakukannya demi mereka!”

Eit, jangan salah sangka Mus, kita melakukan ini untuk bangsa. Untuk membantu rakyat-rakyat jelata. Hasil rampokan selalu kami bagi untuk mereka yang membutuhkan. Benar kan teman?” Kata Moenasan meminta dukungan teman-temannya.

“Iya, Mus!” Seluruh orang serempak menyiyakan kata-kata bosnya.

“Kita lihat saja nanti. Aku kan tidak bisa percaya begitu saja dengan kalian!”

“Terus apa yang musti kami buktikan agar kamu mau percaya?” Tanya Moenasan.

“Bukti tidak bisa dengan kata-kata tapi perbuatan.” Sahut Mus.

“Baik, kalau itu maumu. Tunggu saja kabar kami. Nanti akan kita buktikan!”

Setelah itu geng para pencoleng itu meloncat dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Mus yang tengah menikmati bubur kacang ijonya. Tak lama pemilik warung bernama Mbah Wito mendekati Mus dan membisikinya dengan lirih:

“Cah ayu, kamu jangan remehkan mereka. Mereka sangat serius jika sudah berbicara soal Belanda. Tekad mereka sudah bulat. Bersedia mati demi negerinya,” bisik Mbah Wito.

“Iya sih Mbah, aku percaya saja dengan mereka. Lagipula aku sudah muak dengan sikap Belanda itu di rumah. Mereka semakin kurang ajar!” Seru Mus dengan raut muka suram.

“Nah, itu kan sudah ketemu. Kalian semua sebenarnya memiliki jiwa yang sama. Kalian sama-sama masih muda. Sama-sama memiliki kepentingan untuk negeri ini. Pesan Mbah, sebaiknya jangan sia-siakan waktu yang kamu miliki demi bangsa ini.” Nasehat Mbah Wito.

Injeh, Mbah, Mus tahu kok soal itu.”

Setelah membayar bubur kacang ijo, Mus kembali ke rumah majikannya. Kini, hari-harinya dilalui tidak seperti biasa. Selama sepekan pikirannya dipenuhi gambaran pemberontakan.

Ia teringat kata-kata teman seperjuangannya di warung, bahwa untuk membantu rakyat, seseorang tidak lantas harus turun ke medan laga. Banyak hal-hal yang bisa dilakukan demi perjuangan ini, salah satunya adalah memberikan informasi yang dibutuhkan para pejuang-pejuang kemerdekaan di sana, kendati sifat dasar mereka adalah pencoleng dan perampok. Tetapi tetap tujuan mereka satu, yakni berjuang di samping rakyat. Toh, hasilnya nanti juga tidak akan dimakan sendiri melainkan untuk rakyat.

Mus seketika teringat cerita jaman Majapahit. Nenek moyangnya pernah bercerita, dahulu kala ada seorang anak Bupati Tuban yang gemar melakukan perbuatan tidak selayaknya. Dikisahkan pada waktu itu keadaan negeri sedang timpang akibat ulah pejabat-pejabat negeri yang rakus dan korup.

Rakyat menderita kelaparan. Panen gagal. Perang saudara melanda negeri. Sementara orang-orang yang duduk di kursi atas kerjanya hanya bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terpuruk.

Melihat hal ini hati Raden Sahid yang masih suci dan murni itu tergerak. Dia pun bergerak sendiri melakukan pencurian dan perampokan terhadap tuan-tuan tanah dan saudagar kaya. Hasilnya, tentu saja dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Karena sepak terjangnya itu, dia mendapat julukan Berandal Lokajaya atau kemudian hari dikenal Sunan Kalijaga.

Cerita ini lalu menjadi sebuah penceritaan yang terkenang di hati Mus. Bahwa demi membela rakyat, apapun bisa dilakukan sekalipun itu harus merampok dan membunuh. Apalagi ini musuhnya sudah jelas: Belanda.

“Tidak semua orang rakus, itu kata hatiku yang berbicara. Moenasan dan teman-temannya tidak mungkin begitu. Aku yakin, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam mereka adalah orang-orang yang berani. Kemampuannya merampok adalah sebuah bekal untuk membantu bangsanya yang selama ini tertindas. Aku semakin yakin bahwa keputusan yang kuambil tepat. Aku percaya pada mereka.” [Bersambung]

Diambil dari kumpulan Cerpen Seribu Perempuan karya Noviyanto Aji

ikuti terus update berita rmoljatim di google news