Jabatan Presiden Tiga Periode Berbahaya dan Munculkan Oligarki Kekuasaan

Presiden Jokowi/Net
Presiden Jokowi/Net

Wacana penambahan masa jabatan Presiden tiga periode merupakan wacana berbahaya dan patut untuk ditolak. 


Wacana ini berkembang seiiring usulan beberapa pihak dengan argumen melanjutkan pembangunan yang sudah dirintis oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Argumentasi lain, untuk mencegah polarisasi yang ada di masyarakat seperti Pilpres 2019 lalu. 

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Network Society Indonesia (NSI) Umar H. Hutagalung mengatakan bahwa usulan tersebut berbahaya dan akan membuat demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. 

"Sebab pada prinsipnya ketentuan masa jabatan seorang presiden hanya dua periode dengan maksud untuk menjaga sirkulasi kekuasaan tetap berjalan," kata Umar dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (23/3). 

Lebih lanjut dijelaskan Umar, merujuk pada teori Juan Jose Linz, seorang sosiologis Spanyol, pembatasan masa jabatan merupakan benteng untuk melawan Presiden diktator dan konsolidasi otoriter yang berbahaya.

"Jadi adanya wacana penambahan masa jabatan ini hanya akan menimbulkan oligarki kekuasaan," lanjut Umar. 

Berdasarkan hasil penelitian Bill Gelfeld (2018), Akademisi Universitas Pancasila menguraikan fakta bahwa jabatan 3 periode alih-alih membawa kemajuan, penambahan masa jabatan justru akan memunculkan penyimpangan. 

Beberapa negara itu antara lain, enam negara pecahan Soviet, yakni Kazakstan, Uzbekistan, Azerbaijan, Turkmenistan, Rusia, dan Tajikistan. 

Salah satu imbas yang dirasakan, dijelaskan Umar, Pendapatan Domestik Bruto per kapita menurun dua tahun setelah masa jabatan presiden diperpanjang. 

Kemudian dari aspek hak demokrasi politik juga mengalami kemunduran sehingga berakibat pada kemacetan regenerasi kepemimpinan nasional. 

Dia menyangsikan apakah memang ini yang diinginkan Presiden Jokowi atau hanya untuk kepentingan sesaat orang-orang atau kelompok-kelompok yang ada di sekitarnya.