Tukang Masak dan Rahasianya (3)

Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA
Buku kumpulan Cerpen Seribu Perempuan/Cover by Denny NJA

SEJAK bertemu para pencoleng kepercayaan Mus berkibar bak dongeng di negeri kacau balau. Mus percaya dengan memberikan informasi secukupnya, ia bisa membantu perjuangan teman-temannya. Moenasan, dimana kau saat ini? Ini Mus, siap membantumu kapan saja? Bersiaplah kau.

Sepanjang malam Mus meladeni puluhan orang-orang Belanda. Capek. Lelah. Ngantuk. Semua tak digubris. Hingga di penghujung malam Mus melihat seorang tentara Belanda muda masih tertinggal di rumah. Sendiri. Tidak ada teman.

“Sepertinya dia sedang mabuk berat!” Mus menduga.

“Kalau dia tidak mabuk tidak mungkin cara berjalannya sempoyongan begitu. Dia pasti mabuk. Cara bicaranya juga ngawur,” perempuan muda itu mencoba untuk melihat dari dekat.

Benar juga, seorang tentara muda baru pulang dari tempat plesir. Setelah kekenyangan makan di rumah Tjan Cuk, dia sekarang malah mabuk-mabukan. Sementara si pemilik rumah sudah pergi tidur.

“Dasar babi!” Cetus Mus dari balik pintu.

Sikap yang ditunjukkan serdadu muda itu semakin membuat hati Mus teriris-iris. Bagaimana tidak, dengan wine di tangan yang ditengadahkan ke atas, serdadu itu mulai mencaci maki orang-orang pribumi.

Hootverdome. Kalian orang-orang pribumi, cuih…brengsek semua!” Teriaknya lantang, “ayo maju sini kalau kalian berani macam-macam dengan saya. Akan saya tembak kepala kalian dengan moncong senjata ini.” Dia mengacungkan senjatanya ke langit-langit rumah. Berteriak pada bayangannya sendiri.

Mus yang mengintip dari kejauhan cuma membatin. “Awas kau, cecunguk! Rasakan pembalasanku!”

Mus merasa malam ini adalah malam yang tepat untuk memulai perjuangannya. Semua orang sudah tidur lelap. Bik Inah, karena kecapekan ia sudah hengkang dari dapur dua jam yang lalu. Ijah dan Warti dipastikan terlelap dalam mimpi-mimpi indahnya. Seharian ini mereka banyak membantu Mus dan Bik Inah memasak di dapur. Pasti kini kasur dan bantal yang empuk membuat mereka terpedaya. Sementara Tjan Cuk dan keluarga, mereka sudah masuk kamar bila waktu telah menunjukkan pukul sepuluh. Itu kebiasaan sejak dulu. Setelah masuk kamar, mereka takkan keluar hingga esok.

Kini yang tertinggal hanya Mus dan serdadu Belanda. Malam kian berpendar menuju peraduannya, meninggalkan suasana keheningan layaknya dongeng-dongeng sebelum tidur. Rumah besar itu bagai gudang kosong tak berpenghuni. Sunyi dan senyap. Namun mata-mata sayu itu terus menunjukkan kesigapannya. Ia sepertinya tak ingin berlama-lama.

Barangkali ia menimbang apakah dirinya layak dipertaruhkan malam ini? Apakah dirinya layaknya menyandang sebagai orang yang berjuang di jalan kebenaran? Yah, kebenaran sebentar bakal menerangi jalannya. Mus memutar otak. Berpikir sejernih-jernihnya. Menggapai sesuatu yang sebelumnya jauh untuk mendekati. Sebuah kekuatan. Ia perlu itu. Dan ia sendiri mulai merasakannya.

Siapa saja yang sekarang ini duduk di bangku warung kacang ijo? Mus bertanya-tanya. Adakah seseorang di sana malam ini?

“Moenasan, dan kau anak-anak buah yang setia, apakah malam ini kalian berada di sana, sedang menanti kesanggupanku membantumu. Ini sudah tiba saatnya!” Mus berbicara sendiri seperti orang gila.

Ada atau tiada, malam ini sebenarnya menjadi malam yang tepat untuk melancarkan aksinya. Tanpa menunggu lama-lama, Mus melompat menuju halaman. Ia mengendap-ngendap. Tubuh kecilnya seperti pelindung yang membuatnya tidak kelihatan. Tanpa sepengetahuan penjaga pagar yang kala itu sedang tertidur karena terlalu kekenyangan, Mus akhirnya berhasil menyelinap keluar.

Dari kejauhan perempuan itu melihat seorang lelaki tua tengah duduk di kursi kayu panjang yang diperuntukkan untuk lima orang. Di bangku panjang itu Mus pernah duduk menikmati bubur kacang ijo. Dan lelaki tua itu tak lain Mbah Wito.

Ah, ternyata warung itu masih buka. Mus mempercepat langkahnya.

“Moenasan? Moenasan?” Degup jantung Mus memburu dengan kencang. Ia tolah-toleh seperti orang kebingungan. Emosi Mus tak terkontrol. Nada bicaranya menggelegar bak ombak yang kemudian meninggalkan desiran air di pantai. Nada bicaranya semakin lama kian membingungkan lawan bicara. Kedua tangannya nampak gemeteran. Maklum, ini perjuangan pertamanya.

“Tenang, tenang Cah Ayu. Ada apa, sini duduk dulu ceritakan sama Mbah?”

“Aku nggak bisa lama-lama Mbah, sebab aku harus buru-buru kembali ke rumah sebelum penjaga bangun!”

“Baiklah, ada apa?” Mbah Wito memegangi tangan Mus, mencoba menenangkan gadis muda itu.

“Malam ini di rumah tertinggal satu serdadu Belanda. Kelihatannya dia sedang mabuk berat. Aku yakin tidak lama setelah ini dia akan keluar dan kembali ke Hoobiro-nya (sebutan markas besar polisi)!”

Hoobiro…malam ini…kamu yakin Cah Ayu?” Mbah Wito memastikan.

Mus mengangguk tanpa bersuara. Tingkahnya seperti orang gila, antara ketakutan dan keberanian campur aduk. Ia kebingungan setengah mati. Sebentar-sebentar menoleh ke belakang, takut penjaga rumah terbangun dan mencarinya.

“Sudah ya mbah aku pulang dulu. Sampaikan saja ke Moenasan!” Sebelum pamitan Mus sempat menguncang-guncang tangan Mbah Wito.

“Baiklah nanti aku sampaikan ke teman-teman. Kamu hati-hati ya!” Pesan Mbah Wito.

Mus pergi dan menghilang di kegelapan malam. Perempuan itu mempercepat langkahnya. Seandainya malam itu ada seseorang yang melihatnya, bisa kacau semuanya. Mus sendiri tidak tahu apakah yang dilakukannya sudah tepat atau malah sebaliknya menjadi bumerang bagi dirinya. Kini, ia hanya bisa berdoa semoga sekembalinya ke rumah sang penjaga belum bangun.

“Malam itu aku benar-benar ketakutan setengah mati. Tubuhku menggigil ketakutan. Sepanjang perjalanan pulang, jantungku tiada henti-hentinya berdebar. Namun demikian, aku berharap apa yang kulakukan ini tidak sia-sia. Aku berdoa semoga pesanku kepada Mbah Wito bisa sampai ke teman-teman. Dan Alhamdulillah, setiba di rumah, penjaga masih terlelap. Aku pun menyelinap masuk. Ah, syukurlah! Hhhh, pusing kepalaku. Kulihat sebuah bangku yang kosong, segera aku merebahkan tubuh sejenak untuk mengatur nafas yang ngos-ngosan. Aku seperti dikejar-kejar orang dan hendak dibunuh. Perasaanku kacau, antara kenyataan dan mimpi. Di bangku kosong itu aku melamun sendiri, memikirkan kira-kira apa yang sedang dan hendak dilakukan Moenasan dan teman-temannya. Ah, malam ini benar-benar hari yang melelahkan. Rupanya semua kelelahan telah menghimpitku dalam-dalam. Tanpa menghiraukan serdadu Belanda yang tertinggal, aku lantas memutuskan pergi ke kamar dan tidur!” [Bersambung]

Diambil dari kumpulan Cerpen Seribu Perempuan karya Noviyanto Aji