Telik Sandi

Bagong dan Kartomarmo/Repro
Bagong dan Kartomarmo/Repro

BAGONG NJAMBAL (33)

DICERITAKAN sebelumnya, Bagong dan Gareng bertemu Durmagati, komandan telik sandi dari Kurawa. Kedua Punakawan berhasil mengelabui hingga Durmagati tidak sadarkan diri.

Kali ini ceritanya beda lagi. Bagong dan Gareng, karena kelelahan memikirkan cara mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh, tanpa sadar tertidur di wilayah Lojitengara.

Keduanya tidak sadar bahwa sejak pertama masuk Lojitengara, sudah diawasi oleh para telik sandi.

Kali ini telik sandi yang mengawasi bukan ecek-ecek lagi. Bukan sekelas Durmagati. Bagong dan Gareng langsung diawasi komandan tertinggi telik sandi. Yakni Kartomarmo. Dia masih saudara dengan Durmagati.

Namun Kartomarmo tidak sekentir Durmagati. Dia tidak mudah dibodohi. Justru Kartomarmo yang memerintahkan seluruh telik sandi di Lojitengara untuk memerangi musuh-musuh Welgeduwelbeh.

Kartomarmo dikenal licik. Paling lihai mengadu domba. Sepak terjangnya mirip Sengkuni. Tidak takut melawan musuh. Juga, jago berkelahi.

Sejak Bagong dan Gareng masuk wilayah Lojitengara, Kartomarmo sudah menyebar anak buahnya untuk memantau pergerakan keduanya. Bahkan saat mereka bertemu Durmagati, Kartomarmo sengaja membiarkan. Karena dia tahu jika saudaranya itu orang kentir yang kerjanya hanya tumbak cucukan.

Saat melihat Bagong dan Gareng tengah tertidur pulas, Kartomarmo lantas membangunkan.

“Bagong, Gareng,” panggil Kartomarmo membangunkan Punakawan dengan menyepak kakinya.

Bagong dan Gareng terkejut. Tidak sadar di depannya sudah berdiri musuh. Bagong mengambil ancang-ancang siap tempur. Demikian Gareng.

“Kartomarmo, Gong,” bisik Gareng ke Bagong.

Wis eruh, Reng. Mataku gak kicer. Kita hadapi bersama!” Seru Bagong.

Bagong sebenarnya sudah paham sepak terjang Kartomarmo. Dia termasuk prawiro digdaya dari Ngastina. Saat Kurawa maju perang, Kartomarmo selalu menjadi andalan. Dia tidak mudah dikalahkan. Tidak mudah dikelabui seperti para Kurawa lainnya. Saat perang Baratayudha berakhir, Kartomarmo diramalkan menjadi orang terakhir yang masih hidup.

Dan kini, Kartomarmo berada di kubu Lojitengara karena diperintah Duryudana untuk mengawal Welgeduwelbeh. Sebab kerajaan Ngastina sendiri sudah tunduk pada Welgeduwelbeh.

“Ndoro Kartomarmo,” sapa Bagong.

“Iya Bagong. Sekarang kowe dalam pengawasanku,” jawabnya.

“Setelah diawasi terus mau apa?” Bagong seperti mau mengajak perang.

Kowe masuk wilayah Lojitengara tanpa ijin. Sudah berani mengelabui Durmagati hingga tak sadarkan diri. Kowe harus dikerencong. Dibondo. Dipakunjaran,” jelas Kartomarmo.

“Sama juga dengan saya, Ndoro. Jika saya tidak bertemu Welgeduwelbeh dan membuatnya keprabon, saya akan dimarahi Prabu Dwarawati dan Prabu Darmakusuma. Sebab saya dan Gareng telah diberi mandat untuk melawan Welgeduwelbeh apapun caranya. Saya siap bela pati,” tegas Bagong.

Posisi keduanya sudah sama-sama mengambil ancang-ancang untuk berperang. Namun, Bagong sebenarnya ragu dapat mengalahkan Kartomarmo. Untuk melawan Ratu Kentir seperti Welgeduwelbeh, mungkin Bagong masih mampu. Apalagi Prabu Dwarawati sudah dawuh, bahwa yang bisa mengalahkan Welgeduwelbeh hanyalah ksatria Punakawan dari Praja Ngamarta. Artinya, selain Punakawan, tidak ada ksatria lain yang mampu melawan Welgeduwelbeh. Ini membuat Bagong dan Gareng pede maju ke medan tempur.

Sayangnya, untuk menghadapi Welgeduwelbeh tidak mudah. Bagong harus melewati banyak rintangan. Termasuk kali ini harus berhadapan dengan Kartomarmo yang memiliki ilmu perang digdaya.

“Bagong, Gareng, ayo muleh,” ancam Kartomarmo.

Bagong tidak keder dengan ancaman. “Tidak, Ndoro!”

“Urusan Ngastina dan Ngamarta tidak ada urusannya dengan urusan dalam negeri Lojitengara. Konflik antara Ngastina dan Ngamarta bukan urusan kita,” tandas Kartomarmo.

Bajigur,” Bagong mengumpat, “Urusan Lojitengara juga menjadi urusan Ngamarta dan Ngastina, dan sebaliknya. Ndoro ini komandan telik sandi tapi tidak paham urusan politik luar negeri. Konflik Ngamarta dan Ngastina telah diramalkan banyak orang. Nanti akan terjadi perang besar. Perang suci. Perang Baratayudha. Dalam perang ini keangkaramurkaan akan sirna dan muncul watak utama (kebaikan),” ujar Bagong.  

Dalam Baratayudha, lanjut Bagong, orang-orang tidak berbicara lagi soal kerukunan dan ketentraman. Melainkan menunjukkan siapa yang salah dan siapa yang benar.

Sing ala bakal sirna, sing becik bakal ketitik. Di Baratayudha itu orang yang hutang bakal bayar. Di situ tanda-tanda sumpahnya para ksatria, para pandhita, dan para raja, akan terlihat. Sumpah mana yang selama ini hanya mengobral janji atau benar-benar diwujudkan, akan terlihat,” terang Bagong.

“Edan, Bagong, kowe kok dadi pinter. Siapa yang mengajari?” Gareng bertanya.

“Bapak (Semar),” sahutnya singkat.

Bagong meneruskan. Jika Kartomarmo tidak peduli dengan Ngamarta dan Ngastina, berarti sama saja memupuk keangkaramurkaan.

“Saat ini yang terjadi di Lojitengara, keburukan terus dipelihara berulang-ulang. Masa sekelas ratu ngomong babi panggang di hadapan rakyat yang diharamkan makan babi. Itu tidak benar, Mo,” ucap Bagong.

“Mo, siapa?” Tanya Kartomarmo.

“Namamu kan Kartomarmo. Masa dipanggil Mo ndak mau,” njambal Bagong.  

“Yang sopan, Gong. Aku masih junjunganmu.”

“Sampeyan junjunganku. Cuma tidak patut digugu dan ditiru. Negeri Lojitengara berulangkali membuat geger gara-gara orang seperti sampeyan. Hasut sana, hasut sini. Urusan Ngamarta dan Ngastina tidak ada urusannya dengan Lojitengara. Sampeyan seorang negarawan, prawira digdaya, keturunan ratu Ngastina, komandan telik sandi, tapi peringainya jauh dari itu. Bisanya mengadu domba. Konflik yang terjadi antara Ngamarta dan Ngastina bukan soal agama. Ini soal kemanusiaan. Soal kebaikan melawan keburukan!” Seru Bagong.

“Maksudmu yang buruk Ngastina?” Kartomarmo bertanya balik.

“Ratu Ngastina tidak punya hak atas tahtanya. Yang menjadi hak adalah para Pandawa dari Ratu Pandu. Ratu Ngastina yang sekarang ini hanya dipinjami tahta dari bapaknya. Kelak tahta itu harus dikembalikan ke pemilik aslinya. Para Kurawa tidak punya hak atas wilayah. Yang terjadi, Ngastina merasa memiliki kekuasaan dan ingin menang sendiri. Setiap wilayah dicaplok untuk memperluas jajahanannya. Itu serakah,” ujar Bagong.

Kata-kata Bagong membuat emosi Kartomarmo meluap-luap.

“Jadi kowe menuduh Kakang Duryudana ratu abal-abal!” Kartomarmo berbicara dengan nada tinggi.

“Lho kok sampeyan nesu. Katanya Ngamarta dan Ngastina bukan urusan Lojitengara,” Bagong membalikkan omongan.

“Tapi…tapi…ini…kan…anu…” Kartomarmo mulai bingung.

Omongannya soal ‘Ngamarta dan Ngastina bukan urusan Lojitengara’ berhasil dipatahkan Bagong. Sekarang Kartomarmo dalam posisi dilematis. Antara dia tidak peduli urusan Ngastina dan hanya membela kepentingan Lojitengara, sementara di sisi lain Ratu Ngastina, Prabu Duryudana yang notabene kakaknya sendiri dijelek-jelekkan Bagong.

Bukan Bagong namanya jika tidak pandai memutarbalikkan kata-kata. Anak Semar yang satu ini memang ndugal kewarisan.

“Bagong sudah berani kurang ajar pada Ratu Ngastina,” tegas Kartomarmo.

Dasar keporo nyoto. Kenyataannya begitu. Sampeyan bilang tidak ada urusannya Lojitengara dengan kedua negara. Nyatanya semua saling berkaitan satu sama lain. Urusan kebaikan dan keburukan di alam mayapada adalah urusan semua orang. Konflik yang terjadi antara Ngamarta dan Ngastina tidak bisa dibeda-bedakan atau dipisah-pisah. Ini urusan bersama. Urusan kemanusiaan. Urusan rakyat juga.”

“Sebagai komandan telik sandi, tugas sampeyan membuat rakyat aman. Membuat negara tentram. Ini kok malah sebaliknya. Negara mobal mabul, mobat mabut. Antar rakyat diadu domba. Sampeyan ajak rakyat untuk inkonstitusional. Sudah jelas Ngastina kejam terhadap Ngamarta, membunuh, menyiksa, membumihanguskan, sudah jelas Lojitengara berbuat tidak adil pada rakyat, kok masih dibela.  Kahanan jagad geger. Sampeyan telah membuyarkan tatanan di kerajaan. Watak baik diciprati watak buruk,” tutur Bagong.

“Gong, inkonstitusional itu badhokan apa?” Tiba-tiba Gareng membuyarkan suasana.  

“Itu istilah sego tiwul, Reng. Aku sering dengar Prabu Darmakusuma ngomong inkonstitusional sambil makan sego tiwul,” jawab Bagong sekenanya.

Gareng manggut-manggut.

“Jadi, Kartomarmo mengajak orang makan sego tiwul yo, Gong!” Gareng memastikan.

Wis tidak usah banyak guneman tanpo guno. Ayo gelut wae,” tantang Kartomarmo.

“Ayo, siapa takut. Reng, siap-siap lho yo!” Bagong mengepalkan tangan mengambil posisi kuda-kuda.

“Siapa yang mau gelut. Aku cuma jadi penonton saja. Kan kowe yang diajak perang,” balas Gareng.

Bagong membalikkan badan. Memandang Gareng dengan geram. Mengepalkan tangan ke atas. Ancang-ancang menonjok Gareng.

“Kamu tahu ini, Reng. Kalau tanganku sudah dikepal seperti ini, wajahmu bisa jadi perkedel. Kowe ini tak ajak ke Lojitengara untuk melawan Welgeduwelbeh. Dan sekarang musuh sudah ada di depan kita. Mau tidak mau harus kita lawan,” ucap Bagong.

“Aku cuma guyon, Gong. Aku pegang kaki Kartomarmo yo Gong. Kowe pukul kepalanya,” Gareng memberi aba-aba.

Namun aba-aba belum dijalankan, sebuah tendangan mendadak menghujam perut Gareng. Tendangan Kartomarmo membuat Gareng terpelanting. Bagong yang kaget berusaha memukul balik, namun berhasil ditangkis. Tubuhnya diangkat Kartomarmo ke angkasa, dan dilemparkan ke tanah. Brukk!

Kedua Punakawan meringis kesakitan.

Penulis adalah wartawan Kantor Berita RMOLJatim