Bagong Jadi Ratu

Bagong menjadi ratu/Repro
Bagong menjadi ratu/Repro

BAGONG NJAMBAL (34)

GARENG meringis kesakitan setelah perutnya ditendang Kartomarmo. Bagong tidak kalah sakitnya. Tubuhnya diangkat ke angkasa dan dilemparkan ke tanah.

Ilmu kanuragan kedua Punakawan tidak sebanding dengan Kartomarmo. Dalam bertarung, Punakawan kadang memiliki ilmu tinggi. Tapi kadang juga ilmunya hilang dengan sendiri. Mungkin ilmunya muncul menyesuaikan perasaan pemiliknya. Seperti saat melawan Kartomarmo. Kedua Punakawan dibuat babak belur.

Setelah bangkit, Bagong dan Gareng berusaha menyerang balik. Namun usahanya sia-sia. Pukulan maupun tendangan bertubi-tubi berhasil ditangkis musuh.

Bagong membatin, melawan Kartomarmo saja kuwalahan, apalagi melawan Prabu Welgeduwelbeh.

Saat lengah, Kartomarmo kembali mengangkat tubuh Bagong. Diangkat setinggi-tingginya ke angkasa. Lalu dilemparkan tubuh itu jauh ke bumi.

Tubuhnya melesat dengan kencang. Bagong memejamkan mata. Tahu dirinya sudah tidak berkutik. Ajal kian dekat. Tiba-tiba tubuhnya berhenti. Terus melayang-layang. Tidak jatuh ke bumi.

Sebuah kekuatan telah menangkapnya. Bagong membuka matanya. Ia merasakan tubuhnya menjadi ringan. Melayang. Lalu turun perlahan. Bagong menoleh. Ada Sencaki. Rupanya dia yang menangkap Bagong saat tubuhnya mau menghujam ke tanah.

“Ndoro Sencaki!” sapa Bagong sembari mengapurancang.

“Bagong,” sambut Sencaki.

“Kok Ndoro Sencaki bisa kemari?” Tanya Bagong.

“Bagong, aku tidak terima kowe dijotosi Kartomarmo. Bagaimana juga aku pernah digendong Bagong pas kecil. Kalau ada orang yang berani menghajar Punakawan, musuhnya Sencaki,” katanya.

“Lha ini baru gayeng. Reng, kita punya jago,” sahut Bagong pada Gareng yang masih meringis kesakitan di sampingnya.

“Bagong, kowe tak bantu lawan Kartomarmo. Tapi jangan bilang ke Prabu Dwarawati. Aku nanti dimarahi. Soalnya ini bukan urusanku,” jawab Sencaki.

“Lho, kenapa sampeyan takut. Sampeyan sudah bener membela saya, wong cilik, wong ringkih, wong bodo. Kalau sampeyan membela wong cilik, itu karena dalam jiwa Ndoro Sencaki ada rasa kamanungsan. Tidak usah takut dengan Prabu Kresna,” kata Bagong.

“Iya Bagong. Kalau begitu aku tak berangkat!”   

Sereeeet, semangat berperang Sencaki makin meningkat mendengar kata-kata Bagong. Selain dikenal sebagai senopati Dwarawati pilih tanding, dasarnya Sencaki memang paling doyan berperang terutama membela orang-orang tertindas.

Sencaki melesat secepat kilat meninggalkan Bagong dan Gareng. Tak berapa lama ia sudah berdiri di medan laga. Berhadap-hadapan dengan Kartomarmo.

Dari kejauhan Bagong dan Gareng melihat keduanya tampak bercakap-cakap sebentar. Lalu…bress pemilik gada wesi kuning itu langsung menghajar Kartomarmo tanpa ampun.  

Pertempuran keduanya sangat heboh. Sencaki berkali-kali mengelak dari pukulan Kartomarmo. Ia tidak berusaha menyerang. Justru Sencaki ingin bermain-main dengan Kartomarmo.

Bahkan Sencaki terkadang mempersilahkan Kartomarmo untuk memukul dirinya. Tidak mempan. Pukulan Kartomarmo tidak membuat Sencaki goyah. Malahan, Sencaki semakin bersemangat.

“Ayo, keluarkan semua kemampuanmu Kartomarmo!” Tantang Sencaki.

Merasa direndahkan, emosi Kartomarto meluap-luap. Hanya saja kemampuannya tetap tidak sebanding dengan Sencaki.

Sencaki dengan keahlian berperang mumpuni, akan sukar dikalahkan Kartomarmo. Berkali-kali murid Begawan Durna itu melayangkan pukulan ke Sencaki, justru berhasil diredam.

Sebaliknya, saat Kartomarmo menyerang, Sencaki mendaratkan sebuah pukulan telak yang tak mampu ditangkis. Lalu, serangan demi serangan dilancarkan ke Kartomarmo. Komandan telik sandi itu gelagapan.

Kartomarmo berusaha menghindar, usahanya sia-sia. Mulai wajah, dada, perut, hingga semua bagian tubuhnya terkena serangan Sencaki. Dan seperti perlakuan dia ke Bagong, Kartomarmo diangkat Sencaki ke angkasa kemudian dihempaskan melesat ke bumi. Bruukkk!

Tubuh tidak berdaya itu ambruk. Tampak wajahnya meringis kesakitan. Kartomarmo kini mendapat balasan setimpal. Dia memang jago perang tapi lawannya hanya rakyat kecil tertindas.  

Selama ini Kartomarmo bertugas di Ngastina seorang Juru Panitisastra, atau semacam juru tulis kerjaan. Akan tetapi dia memiliki kekuasaan besar. Apalagi setelah Ngastina berada di bawah kekuasaan Lojitengara. Kartomarmo diberi kepercayaan penuh menjadi komandan telik sandi.

Tugasnya, selain memata-matai, juga membuat fitnah di mana-mana. Siapapun yang berani melawan Prabu Welgeduwelbeh, maka urusannya dengan Kartomarmo. Dia bersedia menjadi tameng bagi Prabu Welgeduwelbeh selama hal itu menguntungkannya.

Bagong dan Gareng mendekati Sencaki yang sedang berdiri di depan musuhnya. Melihat Kartomarmo tidak berdaya, Bagong seperti ingin membalas perlakuannya padanya.  Namun Sencaki melarang.

“Bagong tidak boleh membunuh Kartomarmo. Dia sudah tidak berdaya,” pesan Sencaki.

Meski Bagong sebenarnya sangat dendam Kartomarmo, dia akhirnya manut perintah Sencaki.

Bagong melihat Kartomarmo telah banyak berbuat tidak baik pada rakyat. Sebagai komandan telik sandi, Kartomarmo seharusnya dapat melindungi negeri dari bahaya negeri seberang. Sebaliknya, dia malah membiarkan negeri sendiri diacak-acak orang-orang dari seberang.

Orang-orang seperti Kartomarmo ini yang membuat negeri hancur. Rakyat dimusuhi. Rakyat digebuki. Rakyat dipentungi, dicambuk, ditombak, dipedang, dan dipanah. Padahal semua persenjataan itu dibiayai dari pajak rakyat. Tega.

Para pandito (pemuka agama) yang menentang penguasa dijeblokan pakunjaran. Sebaliknya pejabat kerajaan yang korupsi malah diberi keringanan hukuman. Pejabat negeri termasuk Welgeduwelbeh yang menggelar keramaian di tengah pagebluk malah bebas. Sedangkan pandito yang menggelar keramaian dan benar-benar melawan pagebluk justru dihantam.  

Pagebluk dijadikan penguasa untuk memperalat rakyat demi kepentingan politis, ekonomi hingga sosial dan keagamaan.

Atas nama pagebluk, lawan-lawan politik dimusnahkan. Pagebluk digunakan untuk memilih pesakitan dan penghukuman. Saat rakyat sibuk dengan pagebluk, dana negara dikorupsi habis-habisan.

“Ini salah satu biang keroknya,” Bagong menunjuk ke Kartomarmo yang tidak berdaya.

***

Di saat mereka sedang menikmati kemenangan, dari belakang Sencaki ditepuk pundaknya oleh seseorang.

“Sencaki,” sapanya yang tak lain Prabu Dwarawati.

“Sinuwun,” Sencaki menoleh dan mengapurancang diikuti Bagong dan Gareng.

“Siapa yang menyuruhmu berperang? Atas perintah siapa kamu menghajar Kartomarmo?” Tanya Prabu Dwarawati.

“Ampun sinuwun, saya diperintah Bagong,” jawab Sencaki sambil menengok ke arah Bagong.

“Bagong, ayo maju!” Seru Prabu Dwarawati.

Bagong maju. Dia melapor. Bahwa dirinya tidak menyuruh Sencaki melawan Kartomarmo. Melainkan semua itu atas inisiatif Sencaki yang ingin membela wong cilik.

“Jadi, apa salah jika Raden Sencaki memiliki rasa welas pada saya. Apa salah Raden Sencaki eman dengan nyawa saya saat dihajar Kartomarmo,” bela Bagong.

“Ya tidak salah. Tapi ini bukan urusan Sencaki. Bagong kan sudah tak utus untuk melawan Welgeduwelbeh. Berarti itu sudah tugasmu. Tidak boleh melibatkan orang lain.”

“Sinuwun Dwarawati tidak adil. Masa Bagong yang ringkih dan tidak punya kekuatan bisa melawan sekumpulan prajurit Welgeduwelbeh. Belum sampai bertemumu ratunya sudah habis duluan,” protes Bagong.

“Ya itu urusanmu. Yang jelas, satu-satunya orang yang bisa melawan Welgeduwelbeh cuma Bagong. Wis jangan lama-lama di sini, segera temui Welgeduwelbeh,” perintah Prabu Dwarawati.

Bagong dan Gareng mengapurancang sembari bersungut-sungut pergi. Sepeninggal Punakawan, Sencaki menyampaikan keinginan untuk ikut mengawal Bagong. Dia merasa tidak enak membiarkan kedua Punakawan pergi melawan prajurit-prajurit Welgeduwelbeh. Namun keinginannya ditolak Prabu Ndarawati.

“Ampun sinuwun, ijinkan saya mengawal Bagong dan Gareng. Kasihan mereka jika melawan Welgeduwelbeh seorang diri.”

“Tidak boleh.”

“Kenapa tidak boleh. Salahnya di mana?” Sencaki tetap ngotot.

“Sencaki, kowe tidak tahu siapa Welgeduwelbeh. Semua ksatria tidak akan mampu melawannya. Meskipun ksatria Ngamarta digabung, tetap tidak akan mampu melawan Welgeduwelbeh. Aku juga tidak sanggup melawan.”

“Kenapa sinuwun bilang begitu?” Sencaki penasaran.

“Welgeduwelbeh itu memegang pusaka Jamus Kalimasada yang oncat (hilang) dari tangan Pandawa. Pusaka itu telah menyatu dalam raga Welgeduwelbeh. Sehingga siapapun tidak akan mampu melawannya. Bahkan para dewa pun tidak akan sanggup melawan Welgeduwelbeh. “

“Kalau ksatria dan dewata tidak mampu melawan, lantas mengapa sinuwun malah mengutus Bagong dan Gareng. Bukankah kemampuan mereka pas-pasan?”

Jagat dewa batara yo iku jagat moho woso. Sencaki, kowe tahu tidak Welgeduwelbeh itu siapa?”

“Ampun sinuwun, saya tidak tahu.”

“Welgeduwelbeh adalah jelmaan Petruk Kanthong Bolong. Sebejat-bejatnya Petruk menjadi ratu, dia tidak akan berani melukai saudaranya. Itulah mengapa aku mengutus Bagong dan Gareng,” tandas Prabu Dwarawati.

“Oh jadi begitu. Saya baru tahu sinuwun. Tapi bagaimana jika yang dihadapi Bagong justru prajurit-prajurit Welgeduwelbeh. Bukankah itu tidak seimbang!” Seru Sencaki.

“Itu urusan Bagong dan Gareng. Semua sudah diatur dewa. Wis, ayo balik!”

Kresna kemudian merambah angkasa diikuti Sencaki. Sementara Bagong dan Gareng masih bersungut-sungut. Melihat Kresna dan Sencaki pergi, Bagong merasa jengkel.

“Dasar ratu tidak bertanggungjawab,” umpatnya.

Bagong menatap Gareng. Berharap ada secercah harapan di sana. “Terus bagaimana, Reng?”

Yo emboh, Gong. Kita tetap pada rencana. Menghabisi Welgeduwelbeh.”

“Caranya bagaimana. Melawan Kartomarmo saja kuwalahan, apalagi melawan kesaktian Welgeduwelbeh.”

Di tengah kekalutan, tiba-tiba terdengar suara dari langit.

Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe,” suara itu sangat khas. Tidak ada dewa lain yang menggunakan suara itu kecuali Betara Narada.

Bagong dan Gareng langsung duduk di hadapan Narada dan mengapurancang.

“Ampun, Pukulun. Ada gerangan apa Pukulun turun ke marcapada?” Tanya Bagong.

Yo sak karep Ulun (sebutan dewa kata ganti saya). Ulun mau lihat-lihat marcapada. Apa tidak boleh,” balas Narada seenaknya.  

“Udusss, dewa ditanya kok jawabannya begitu. Dasar ceret,” Bagong menimpali tak kalah serunya.

“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe, lambemu Gong ojo celometan,” balas Narada naik pitam.

Waru gembol…waru gembol…sumo rante…sumo rante…howelo…howelo…!” Seru Bagong.

“Bagong asu. Malah niru gaya Begawan Durna. Tambah celometan!”

“Sampeyan dulu yang celometan, Pukulun. Sudah tahu kita sedang bingung melawan Welgeduwelbeh, Pukulun malah jawabnya seenaknya.”

Yo wis Bagong. Pangapuromu sing gede,” Narada meminta maaf. Kemudian dia menjelaskan tujuannya turun ke bumi untuk membantu Bagong.

“Membantu bagaimana, Pukulun?”

“Ulun mau bantu kito (sebutan dewa kata ganti orang kedua) melawan Welgeduwelbeh,” kata Narada.

“Ampun Pukulun, apa benar itu. Bagaimana caranya, apa Pukulun mau perang melawan Welgeduwelbeh,” Bagong memastikan.

“Oh tidak perang Bagong. Ulun mau jadikan kito ratu agar bisa ketemu dengan Welgeduwelbeh,” jawabnya.

“Ladalah, tambah gayeng ini Reng. Kita mau didandani jadi ratu,” Bagong melirik ke Gareng.

“Ampun Pukulun, kita mau jadi ratu apa?” Giliran Gareng bertanya.

“Kito berdua jadi ratu berjupuk Prabu Pathokol Baworsari dan Prabu Pandu Pragolamanik,” ucap Narada.[bersambung]

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim