Pathokol Baworsari dan Pandu Pragolamanik

Prabu Pathokol Baworsari, Welgeduwelbeh dan Pandu Pragolamanik/Repro
Prabu Pathokol Baworsari, Welgeduwelbeh dan Pandu Pragolamanik/Repro

BAGONG NJAMBAL (35)

NARADA menyulap Bagong dan Gareng menjadi ratu. Dalam sekejab dandanan kedua Punakawan berubah. Dandanan Bagong dan Gareng bak ratu. Tidak kalah dengan ratu dari Ngamarta maupun Ngastina. Keduanya mengenakan mahkota berlapis emas. Pun penampilannya nyaris sulit dikenali.

“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe. Bagong Gareng sekarang sudah jadi ratu. Kito segera temui Welgeduwelbeh,” kata Batara Narada.

“Lho, sudah toh. Kok nggak terasa,” Bagong menggerayangi tubuhnya. Pakaiannya berubah. Tangannya menggerayangi kepala, ada mahkota di sana.

Betapa girangnya Bagong. Hal sama juga dirasakan Gareng.

Keduanya lantas berjingkrak dan menari. “Ee ya e ... ya e .... ya e .... ya e ..... !"

Pemandangan itu membuat Narada naik pitam. Bagong dan Gareng langsung ditegur.

“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe. Punakawan edan. Hei, kito ini ratu. Jangan lagi berprilaku sebagai Punakawan,” tegur Narada.

Bagong dan Gareng langsung berhenti. Terdiam. Lalu mengapurancang.

“Ampun pukulun. Saya salah,” jawab Bagong.

“Iya, kami salah,” ditimpali Gareng.  

Bagong lantas menanyakan prihal status ratu yang disandangnya.

Narada menjawab dengan santai, “Bagong menjadi ratu berjuluk Prabu Pathokol Baworsari dari kerajaan Giri Kadasar. Gareng menjadi ratu berjuluk Pandu Pragolamanik dari kerajaan Paranggumiwayang,” jawab Narada.

“Keren Reng, kita jadi ratu,” balas Bagong.

“Hussstt, Bagong jangan lagi panggil nama Gareng. Panggil Prabu Pandu Pragolamanik. Gareng juga panggil Bagong dengan nama Prabu Pathokol Baworsari. Ingat itu!” Narada menegur lagi.

“Ampun pukulun. Saya salah lagi!” Seru Bagong.

“Siap pukulun!” Gareng ikutan membalas.  

Yo wis, ulun pamit balik ke kahyangan.” Kata Narada.

Namun sebelum terbang, Prabu Pathokol Baworsari buru-buru menarik selendang Narada. Hal itu membuat Narada kaget.

“Bagong edan. Selendang dewa ditarik-tarik,” umpat Narada.

“Nama saya Prabu Pathokol Baworsari, pukulun!”

Yo wis, sak karep kito. Terus kito mau apa?” Tanya Narada.

“Ampun pukulun, sebelum terbang, saya mau tanya. Biasanya tugas ratu itu apa saja?” Tanya Prabu Pathokol Baworsari penasaran.

Sak karep kito. Ratu itu bebas,” Narada menjawab singkat lantas terbang merambah langit. Sosoknya hilang ditelan awan.  

“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe. Nggeleleng kita, Reng. Jadi ratu sekarang.”

“Bagong asu. Itu omongan Batara Narada.”

“Jadi ratu kan bebas. Mau ngomong apa saja tidak ada yang melarang.”

Dengan penampilan sebagai seorang ratu, kedua Punakawan tampil sangat percaya diri. Mereka lantas melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Lojitengara.

Sepanjang perjalanan, banyak rakyat Lojitengara yang memperhatikan kedua ratu tersebut. Anehnya, rakyat bukannya menghaturkan sembah tapi malah tersipu melihat keduanya. Mungkin karena penampilan ratu itu sangat lucu, sehingga membuat orang yang melihatnya tertawa.

“Itu ratu kok cebol. Hidungnya besar. Matanya mendonong mau copot. Satunya cekot dan deglog,” bisik-bisik mereka.

Namun mereka tidak berani tegur sapa. Namun Prabu Pathokol Baworsari dan Pandu Pragolamanik tidak mempedulikan orang-orang.

Keduanya kini sudah jadi ratu. Tidak perlu lagi menengok ke rakyat. Justru rakyat yang harus menyembah ke ratu. Rakyat yang harus melayani ratu.

Sepanjang perjalanan ke Lojitengara, kedua ratu tidak mengalami hambatan. Bahkan para telik sandi yang bertugas menghadang Bagong dan Gareng nyaris tidak ada. Barangkali para telik sandi itu tidak mengenali Bagong dan Gareng yang sudah berubah menjadi ratu.

Setiba di pintu gerbang kerajaan, Pathokol Baworsari dan Pandu Pragolamanik disambut salam oleh prajurit Welgeduwelbeh.

“Bilang pada ratumu. Prabu Pathokol Baworsari dari kerajaan Giri Kadasar dan Prabu Pandu Pragolamanik dari kerajaan Paranggumiwayang mau bertemu,” perintah Pathokol Baworsari.

Para prajurit Lojitengara saling menatap satu sama lain. Mereka sedikit heran dengan kedatangan ratu tanpa diiiringi prajurit.

“Malah diam. Cepat sana temui ratumu.”

Prajurit-prajurit itu tersadar dari lamunan setelah Prabu Pandu Pragolamanik memerintahkan mereka.

Tidak lama berselang, kedua ratu diijinkan masuk menemui Welgeduwelbeh. Kedatangan mereka disambut ratu Lojitengara.

Karena sama-sama ratu, Pathokol Baworsari dan Pandu Pragolamanik tidak bersopan santun. Tidak menyembah. Kesannya seenaknya.

“Jadi begini megahnya kerajaan Prabu Welgeduwelbeh,” Pathokol Baworsari membuka obrolan dengan melihat sekeliling.

“Ya beginilah kerajaanku. Semua ini adalah milikku. Prabu Pathokol Baworsari dan Prabu Pandu Pragolamanik bisa melihatnya sendiri,” pamer Welgeduwelbeh.

“Berapa duit negara yang kalian korupsi?” Pathokol Baworsari bertanya tanda sungkan. Maklum sama-sama ratu.

“Jaman sekarang kok ngomong korupsi. Itu omongan wong cilik. Pokoknya ada duit negara kita pakai. Mau pakai dana bantuan sosial. Dana pagebluk. Dana ibadah. Dana utang dari negeri seberang. Pokoknya bebas. Kita ratu. Mau duit itu dibagi-bagi juga bebas. Semua tempat-tempat strategis sudah kita kuasai. Aku sudah menempatkan orang-orangku di sana. Jadi komisaris.”

Selagi mendengarkan Welgeduwelbeh, Pathokol Baworsari dan Pandu Pragolamanik mengambil tempat duduk.

“Apa itu komisaris? Orang mana itu komisaris?” Pandu Pragolamanik bertanya.

“Jabatan paling tinggi. Mereka pelayan setiaku. Ada yang dari prajurit, guru, begawan, pandhito hingga tahanan dan pelaku kejahatan. Mereka setiap bulan harus setor upeti ke kerajaan. Mau mereka korupsi, terserah. Pokoknya harus ada upeti.”

Eh, keren juga jabatan komisaris ini. Besok kerajaanku mau ta bikin aturan seperti itu,” timpal Pahtokol Baworsari.

Pathokol Baworsari balik bertanya. “Lalu sikap rakyat selama ini bagaimana?”

“Yang namanya rakyat harus tunduk perintah ratu. Ratu tidak boleh salah. Rakyat yang salah. Karena itu pagebluk ini jadi momentum untuk meredam suara rakyat yang kritis.”

“Memangnya ada apa dengan pagebluk?” Tanya Pathokol Baworsari.

“Ya kita harus pintar-pintar bikin aturan selama pagebluk. Jangan sampai rakyat jadi kritis. Selama masa pagebluk kita sudah bikin aturan mulai pembatasan sosial hingga pembatasan kegiatan masyarakat secara darurat. Mereka dilarang berdekatan satu sama lain. Dilarang berkumpul. Dilarang beribadah,” jawab Welgeduwelbeh.

“Mereka bisa mati kelaparan. Kenapa tidak dibuat karantina sekalian?” Tanya Pandu Pragolamanik.  

“Itu urusan mereka mati kelaparan. Hanya yang kuat bertahan. Pokoknya kita harus mengendalikan pagebluk. Kalau dibuat aturan karantina, berarti kerajaan harus menyumbang ke rakyat. Itu aturan kentir. Harusnya rakyat yang menyumbang ke kerajaan.”

“Siapa yang bertugas mengendalikan pagebluk?”

“Ratu Ngastina. Prabu Duryudana. Dia ratu sekaligus pelayan setiaku. Sebagian Kurawa jadi telik sandi. Tugas mereka memantau orang-orang yang suka mengkritik pemerintah. Kurawa dibantu Begawan Durna dan Patih Sengkuni. Jika ada orang berusaha membahayakan kerajaan, ya tugas mereka menyingkirkan. Termasuk para pandhito harus dimasukkan penjara. Ngastina sekarang sudah di bawah perintahku.”

“Biasanya rakyat bertanya sampai kapan pagebluk ini akan berakhir?” Tanya Pathokol Baworsari.

“Terserah mau berakhir cepat atau lama, aku tidak peduli. Mau rakyat diobati atau dibiarkan mati, terserah. Itu urusan rakyat. Pokoknya semua prajurit-prajuritku telah kusebar untuk mengendalikan rakyat. Pokoknya semua harus terkendali demi keutuhan kerajaan. Kerajaan tidak boleh tunduk pada rakyat.”

Mendengar cerita-cerita Welgeduwelbeh, hati Pathokol Baworsari mendidih. Ratu Lojitengara itu benar-benar bengis. Penampilannya saja yang tampak dari luar kalem, tapi sejatinya ia termasuk ratu kejam. Ratu yang tidak peduli terhadap nasib rakyat.

Pagebluk dijadikan alasan untuk memecah belah rakyat. Rakyat dilarang berkumpul. Dilarang keluar malam. Dilarang beribadah. Dilarang bekerja. Dilarang berjualan. Rakyat dibiarkan mati karena pagebluk.

Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya membiarkan rakyat mati kelaparan, membiarkan rakyat mati karena pagebluk. Welgeduwelbeh tidak peduli ribuan rakyatnya mati gara-gara pagebluk. Yang bisa dia bilang hanya: sabar. Sedangkan Duryudana tidak kalah sengitnya. Untuk meredam kegaduhan, dia bilang bahwa pagebluk sudah terkendali.

Rakyat ditindas di negeri sendiri, sementara orang-orang dari seberang dibiarkan masuk membawa pagebluk.

“Konyol. Ratu kentir. Ratu koclok kabeh,” batin Pathokol Baworsari menjerit.   

Mata Pathokol Baworsari yang seperti telur ceplok mulai mendonong, menunjukkan kegeraman. Ingin ia menghajar Welgeduwelbeh. Namun buru-buru niatnya diurungkan, sebab Pathokol Baworsari sadar bahwa dirinya adalah ratu yang sedang menyamar.

“Jadi, apa tujuan kalian datang ke Lojitengara?” Welgeduwelbeh bertanya balik.

“Kita mau menaklukkan Ngamarta dan Dwarawati.”

Eh, apa benar itu?”

“Kenapa Prabu Welgeduwelbeh bertanya begitu. Apa ratu Lojitengara tidak bisa kedua kerajaan itu?” Sahut Pathokol Baworsari.

“Kedua kerajaan itu sama-sama kuat. Aku sudah berupaya menaklukkannya. Semua ksatria Ngamarta dan Dwarawati sudah kukalahkan. Mereka bukan tandinganku,” kata Welgeduwelbeh dengan sombongnya.

"Kok sampai sekarang mereka belum takluk. Apa karena ada Kresna?”

Ah, Kresna itu ratu yang tidak pernah bertempur. Aku tidak takut. Cuma aku selalu diganggu sama Punakawan brengsek itu.”

“Bagong, Gareng, Petruk!” Pathokol Baworsari menebak.

Welgeduwelbeh diam.

“Punakawan bukan apa-apa. Masa dengan Punakawan saja takut,” Pandu Pragolamanik berusaha menyelami jalan pikiran Welgeduwelbeh.

“Ada Semar. Titis dewa,” Welgeduwelbeh tampak mengalihkan perhatian. Dia tidak mau sebagai ratu Lojitengara diketahui kelemahannya saat melawan Bagong dan Gareng. Mengingat kedua Punakawan itu adalah saudaranya. Welgeduwelbeh bukan takut, tapi tidak berani menyakiti kedua saudaranya.

“Oh, Semar si bokong semok,” jawab Pathokol Baworsari.

Mereka pun tertawa bersama. [bersambung]

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim