Nak, Ibu Sedang Melacur! (12)

Cover by Denny NJA
Cover by Denny NJA

Terpaksa Ngelonte

Tepat bulan November, Rika dan Edy menikah. Sayang, kebahagiaan mereka tak dibarengi keadaan ekonomi yang baik.

Sejak pisah dengan Gofur, usahanya jadi macet. Tak ada subsidi. Usaha jual beli kain gulung tikar. Bangkrut. Padahal ia baru saja melahirkan. Sayang, anak Rika yang pertama meninggal.

Tak berapa lama, kira-kira 4 bulan, ia hamil lagi. Seorang anak perempuan. Diberi nama Wahyuni. Namun, akibat kondisi ekonomi yang tak stabil, Rika terpaksa menitipkan Wahyuni ke rumah adiknya.

Ia tak sanggup merawatnya. Edy menganggur. Juga Rika. Dan, ia berharap, kelak jika keadaan sudah membaik, ia akan mengambil Wahyuni.

Mimpi tinggal mimpi. Kenginan untuk merawat Wahyuni tak kunjung ada. Tak terasa, pernikahannya dengan Edy memasuki tahun kelima. Sementara, kondisi ekonomi mereka makin parah. Tak ada perubahan. Hingga Rika ketemu tetangga kontrakan. Perempuan. Usianya lebih tua darinya. Namanya Yu Wiwin. Dia adalah pelacur di Stasiun Gubeng.

Rika tidak tahu, awalnya. Suaminya seorang tukang becak. Kendati demikian, mereka akur-akur saja.

Ia iri melihat mereka. Apalagi, setiap berangkat kerja, Wiwin selalu diantar suaminya. Saat itu timbul keinginan untuk mengetahui pekerjaan Wiwin.

Rika memberanikan bertanya. Ia ingin dia mau mengajaknya kerja. Berkali-kali Wiwin bilang jangan.

“Aku kerja menerima tamu,” katanya.

"Ah, kalau kerja begitu, aku bisa. Aku yakinkan Yu Wiwin bahwa aku bisa melakukannya dengan baik. Malam itu aku ke Stasiun Gubeng. Mbak Wiwin diantar suaminya. Becak berhenti di samping stasiun yang remang-remang."

Keduanya turun. Wiwin mengajak Rika masuk. Orang menyebut tempat itu: Bong. Singkatan dari gerbong.

Rika disuruh duduk. Wiwin bergabung dengan teman-teman wanitanya.

Dilihat di sekitarnya, banyak pria-pria berseliweran. Rika bingung: tempat apa ini?

Tak lama, seorang laki-laki datang. Dia menyapa. Lalu, dia bilang: “Ngamar yuk!”

“Ngamar?”

Rika bingung lagi. Makin bingung dia saat ditanya: “Minta berapa?”

Tiba-tiba dia memberi tanda orang bersetubuh. Duh, Gusti!

Rupanya, Wiwin mengajak Rika ke Bong untuk menjadi pelacur. Ini yang dia maksud menerima tamu. Melacur.

Ia tak tahu apa yang dilakukannya. Dunia serasa kiamat. Tak pernah dibayangkan, bahwa dirinya akan berada di tempat seperti ini.

Rika menangis. Wiwin khawatir dengan keadaannya. Dia menghampiri. Dia minta maaf karena tak mengatakan sebelumnya. Rika memaafkan.

Malam itu, Rika memutuskan untuk pulang ke rumah. Semalam suntuk Rika tak bisa tidur. Memikirkan kejadian yang baru dialaminya.

“Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan. Haruskah hidupku berakhir di tempat seperti itu? Haruskah aku mencari rejeki dari tempat seperti itu? Aku berdoa. Aku menangis. Aku menyesal. Aku berharap mendapat pilihan yang tepat.”

Perut Rika benar-benar lapar. Inilah yang tiap hari terjadi padanya dan sang suami. Mereka selalu kelaparan.

Rika tak punya pilihan. Ia pun melacur. Dan, Edy tak tahu apa yang dilakukannya. Dia hanya tahu istrinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah orang kaya.

Uang hasil melacur kemudian dipakainya untuk biaya hidup; makan dan bayar kontrakan. Hingga akhirnya, seorang tetangga memberitahu Edy.

Untuk membuktikan kebenaran, Edy datang ke Bong. Dia memergoki Rika keluar dari bilik dengan seorang laki-laki. Edy marah besar. Rika dihina habis-habisan.

Tapi, Rika cuma bisa mengatakan:

“Mas, kamu boleh saja marah. Kamu juga boleh bunuh aku. Tapi jangan di sini. Kita ngomong di rumah saja. Aku malu sama teman-teman.”

Dia mengerti. Sesampai di rumah, seluruh peralatan dapur dibantingnya. Mereka bertengkar hebat.

“Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya. Apa kurangnya aku?” Bentak sang suami.

Rika cuma bisa bilang: ’’Kita butuh makan? Kamu kerja apa? Kamu nganggur. Kamu nggak mau cari pekerjaan. Kalau aku tidak begini, besok atau lusa atau lusanya lagi, kita pasti kelaparan. Sebenarnya aku tidak mau begini. Keadaan yang memaksaku begini.”

Setelah itu Edy pergi. Tanpa pamit. Tanpa memberi kabar.

Dia raib begitu saja seolah ditelan bumi. Sejak itu Rika tak lagi bertemu dengannya. Ia sadar dengan pilihan Edy. Ia tak menyalahkannya. Dia melakukan ini karena malu. Malu melihat istrinya menjadi pelacur, malu melihat keadaan sekitarnya, malu karena tak mampu membahagiakan istrinya.

Setahun dia pergi. Tak ada kabar darinya. Mungkin dia pulang ke kampung halaman, Bojonegoro. Tetap menjadi pengangguran!

***

Dan, inilah kehidupan baru Rika.

Rika melacur…Rika pelacur…Rika nglonte…

Jujur, ia sama sekali tak menikmatinya. Ia melakukan itu agar dapat bertahan hidup.

Rika pernah pindah dari stasiun Gubeng ke sebuah tempat pelacuran. Nah, di sinilah ia bertemu Fatkur. Lelaki muda yang menjadi suami kelimanya.

Fatkur adalah pelanggan tetapnya. Dia bekerja sebagai sopir taksi. Setiap malam Fatkur datang. Sekedar melepas penat.

Dari situ, mereka jadian. Mereka menikah secara sah. Kali ini lain. Pernikahannya hanya dihadiri modin dan saksi. Tidak mewah.

Status Rika sebenarnya belum cerai dengan suami keempat.

Dari Fatkur inilah kemudian lahir anak ketiga. Dialah Irfan.

“Setahun sejak kelahiran Irfan, lagi-lagi aku berpisah. Masalahnya sepele. Suamiku tidak puas denganku. Katanya, makin hari usiaku makin tua saja. Bosan.”

Sementara, usia suaminya yang kelima masih muda. Tentunya, dia ingin mencari yang lebih segar. Rika memaklumi.

Seperti Edy, Fatkur pergi begitu saja. Dia meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang ayah. Semua itu bukan masalah bagi Rika. Toh, ia masih memiliki anak-anak yang amat dicintainya.

“Aku memang layak untuk ditinggalkan. Sebagai pelacur tua, yang sebentar lagi renta, aku tak banyak berharap. Aku cuma berdoa, Tuhan akan memberi kebahagiaan buat anak-anakku. Tak lupa, semoga keselamatan tercurahkan untuk mantan-mantan suamiku.”

Rika yakin kelak Tuhan akan memberinya jalan terang; jalan yang diridhoi.

“Nah, anakku Irfan, beginilah kisah perjalanan hidup ibu. Berat. Keras. Dan Melelahkan. Ah, nasib pelacur. Mengerikan? Aku selalu bilang sama anakku: Jadi pelacur itu, nggak ada enaknya sama sekali. Hidup penuh pengorbanan. Kalau kamu berani menghadapi hidup ini, kamu akan menjadi manusia yang tangguh. Ibu berdoa, semoga kamu mendapatkan yang terbaik. Dan sekarang, tidurlah anakku yang manis. Tidur! Tidur! Tidur! Sebab hari masih panjang. Jangan bangun sebelum ayam jantan berkokok. Ibu akan bekerja lagi. Banyak tamu yang sudah menunggu. Jangan ganggu ibu ya!”[tamat]

Penulis adalah wartawan RMOLJatim