Hegemoni Kekuasaan Dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Jokowi

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf/Ist
Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf/Ist

PADA awal April 2021, kepala daerah DKI Jakarta, Jabar, dan Banten sepakat untuk melakukan PSBB bersamaan untuk mengantisipasi meningkatnya penularan Covid-19 jelang puasa Ramadhan hingga liburan Lebaran.

Alasannya penanganan pandemi berdasarkan kewilayahan administrasi kepemerintahan dinilai tidak akan efektif. Harus melihat wilayah Jabodetabek sebagai satu klaster penularan.

Tetapi kemudian usulan tersebut ditolak pemerintah pusat, yang kemudian memperkenalkan istilah PPKM Mikro. Ini bukti bahwa pemerintah Jokowi lebih mengedepankan superioritas kekuasaan dalam menangani pandemi.

Superioritas kekuasan juga terjadi dalam bentuk hegemoni, yang secara umum dipahami sebagai nilai-nilai kekuasaan yang dipenetrasikan ke dalam nilai-nilai masyarakat.

Misalnya di masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa komorbid atau penyakit bawaan menjadi penyebab kematian pasien Covid-19. Dalam keseharian ketika kita ngobrol dengan teman yang menyampaikan berita ada kawan yang meninggal setelah dirawat atau isoman karena tertular Covid-19 pasti selalu disertai pertanyaan "ada komorbid gak?"

Sikap ini berkembang setelah penjelasan pemerintah di awal-awal datangnya pandemi, yang kemudian diikuti oleh rumah sakit dan media selalu memberikan penjelasan tambahan tentang kematian pasien Covid-19 dengan adanya komorbid.

Dari satu sisi ini, dapat memberikan peringatan dini pada masyarakat bahwa orang yang memiliki komorbid harus ekstra hati-hati jangan sampai tertular, jika tidak ingin sakitnya parah atau bahkan meninggal.

Tetapi makin ke sini terlihat ada tendensi untuk menjadikan faktor komorbid ini menjadi sebab kematian. Misalnya ketika di media sosial membicarakan ada pasien Covid-19 meninggal, buzzer propenguasa akan selalu berkilah kalau pasien meninggal karena punya komorbid.

Seharusnya terhadap pasien komorbid yang tidak tertolong, penyebabnya adalah penularan yang tidak terkendali lagi dan kemudian ditambah lagi kolapsnya penanganan pasien di rumah sakit.

Jadi faktor komorbid ini dipenetrasikan ke dalam pemahaman masyarakat, yang kemudian secara manipulatif menjadikan komorbid sebagai sebab kematian.

Dan sekarang dampaknya meluas bukan hanya menyalahkan faktor komorbid saja. Orang tidak mampu beli obat dan vitamin pun disalahkan. Orang tidak mampu beli masker disalahkan. Orang isoman tidak lapor disalahkan.

Singkatnya, saat ini berkembang anggapan bahwa korban Covid lah yang disalahkan.

Di sisi lain, beban masyarakat bertambah seiring diterapkannya pembatasan mobilitas. Ini sangat mempengaruhi kejiwaan masyarakat, yang mengharapkan tidak ada pembatasan mobilitas dan memandang dirinya tertular Covid sebagai kehendak takdir.

Bentuk hegemoni pemahaman lainnya adalah dengan menjadikan keresahan masyarakat akibat dampak pandemi maupun kebijakan yang telah dilakukan pemerintah sebagai keresahan politik. Keresahan yang berkembang di masyarakat persepsikan menggangu struktur kekuasaan.

Padahal jika keresahan masyarakat ini berkembang menjadi keresahan politik, seharusnya itu menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk mencari solusinya.

Saya melihat hegemoni penguasa atas pemahaman masyarakat terhadap pandemi ini agar tidak muncul pola berpikir yang menyalahkan pemerintah Jokowi atas kekacauan dalam menangani pandemi. Sehingga tidak ada tuntutan konstitusional terhadap pemerintah karena tidak melakukan karantina sejak awal.

Superioritas kekuasaan juga ditunjukkan pemerintah dengan tidak mendengarkan aspirasi para ahli kesehatan untuk memprioritaskan kesehatan, yaitu dengan menekan angka penularan.

Padahal sangat sederhana melihat indikator dari dampak penularan, yaitu kasus aktif yang terus bertambah sehingga menyebabkan pelayanan rumah sakit kolaps, dan angka kematian yang terus bertambah.

Dari indikator ini tidak bisa tidak yang harus dilakukan adalah meningkatkan testing dan tracing untuk mengendalikan penularan bersamaan dengan dilakukan karantina atau lockdown.

Tetapi tampaknya pemerintah Jokowi enggan melakukannya karena penularan ini terjadi di sektor-sektor ekonomi yang berkarakter berkumpulnya orang banyak seperti sector transportasi dan pariwisata, yang mana ini dapat berpengaruh ke sektor-sektor lainnya.

Benar kata pemerintah bahwa karantina total akan menimbulkan kerugian besar pada ekonomi. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa kerugian ekonomi akibat pandemi di tahun 2020 saja mencapai hampir Rp 1.400 triliun. Sedangkan potensi kerugian ekonomi di 2021 dengan skenario tanpa lockdown dapat mencapai hingga Rp 800 triliun.

Tetapi bukan angka kerugian hari ini saja yang harus dipikirkan pemerintah.

Seharusnya sejak awal pandemi pemerintah menggunakan paradigma memperkecil kerugian, baik secara ekonomi maupun jumlah kasus dan korban meninggal.

Dalam manajemen risiko dikenal istilah Risk Reduction (mengurangi risiko), dalam kebencanaan dikenal mitigasi bencana, atau dalam dunia saham dikenal istilah Cut Loss (mencegah kerugian lebih dalam).

Intinya sama, yaitu di saat krisis bagaimana diperlukan tindakan antisipatif atas potensi kerugian yang lebih besar. Pemerintah harus mengkalkulasi untuk mengurangi kerugian dalam kurun waktu tertentu tetapi kemudian dicapai kondisi New Normal, yang sayangnya terlalu dini pernah disebut Jokowi.

Sangat mungkin terjadi, ketika dilakukan lockdown total selama 1 bulan yang membutuhkan biaya sangat besar, katakanlah mencapai Rp 500 triliun untuk anggaran bantalan sosial, insentif nakes, fasilitas pelayanan seperti oksigen, tempat tidur, obat dan vitamin. Tetapi kemudian kerugian ekonominya jauh lebih kecil dari Rp 1.400 triliun sehingga ekonomi nasional dapat segera bangkit.

Bahkan tidak akan sempat terjadi pelayanan rumah sakit kolaps, banyak nakes dan masyarakat selamat jiwanya, target vaksin tercapai dan herd immunity terbentuk.

Apalagi sebelum meledaknya varian Delta saat itu belum banyak wilayah atau daerah yang menunjukkan lonjakan kasus positif. Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kondisi New Normal.

Pemerhati politik dan kebijakan publik dan Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)

ikuti terus update berita rmoljatim di google news