Kejanggalan Kasus Firli Bahuri dan Ketakutan Kolektif

Berkas Perkara Firli Bahuri yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Berkas Perkara Firli Bahuri yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

REPUBLIK Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechstaat), bukan negara kekuasaan  (machstaat). Tetapi bila hukum bekerja di bawah Kekuasaan, cilaka. Hukum digunakan sebagai alat penguasa untuk mendapat kekuasaan, mencari kekuasaan, mempertahan kekuasaan dan memperpanjang kekuasaan.

Setiap yang dianggap tidak segaris, musuh, dan berseberangan dengan penguasa akan dihentikan, bahkan harus dihabisi. Berbagai cara dilakukan, mulai yang paling soft yaitu negoisasi, tawar menawar. Jika berhasil maka akan aman dan nyaman.

Jika negoisasi gagal, selanjutnya dilakukan gangguan (disturbed). Seseorang yang tidak kuat menghadapi gangguan akan menyerah dan ikut berikrar setia dan aman dulu dari gangguan, walau bukan dalam barisan.

Bentuk lain dari resiko berseberangan, adalah dihancurkan (destroyed). Seseorang atau kelompok yang gagal diajak bernegosiasi, juga akan dihancurkan.

Bisa jadi, situasi ini yang sedang berlangsung. Jadi sesungguhmya kita semua, bangsa Indonesia, berada  dalam ketakutan, takut gagal, takut kalah, takut kehilangan jabatan dan kekuasaan, takut hilang kesetiaan dan pengikut, serta jenis ketakutan lain sebagainya.

Belakangan, berbagai kalangan mulai mengaitkan tuduhan pemerasan yang dialamatkan kepada Ketua Nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri tidak terlepas dari situasi collective fearness ini.

Firli telah ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/325/XI/RES.3.3./2023/Ditreskrimsus tanggal 22 November 2023 terkait Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi berupa pemerasan atau penerimaan Gratifikasi atau Penerimaan Hadiah atau Janji oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara terkait penanganan permasalahan hukum di Kementerian Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2020 s.d. 2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 e atau Pasal 12 B atau Pasal 11 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 KUHP.

Keterkaitan antara tuduhan yang dialamatkan kepada Firli dan collective fearness ditandai dengan berbagai dugaan kejanggalan yang mengiringi perjalanan kasusnya.

Untuk menguji penetapan dirinya sebagai Tersangka, juga untuk menguji penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan Polda Metro Jaya, Firli Bahuri mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang praperadilan digelar secara marathon dari tangal 11 sampai 19 Desember lalu.

Dalam persidangan, Polda Metro Jaya yang menangani perkara Firli Bahuri mengakui bahwa saksi yang telah diperiksa dalam perkara ini sebanyak 91 saksi. Dalam persidangan, penyidik Polda Metro Jaya mengakui bahwa dari 91 saksi tersebut tidak ada seorangpun yang melihat, mendengar, mengetahui atau mengalami sendiri perkara dimaksud.

Padahal soal saksi dalam satu perkara merupakan hal yang sangat elementer. Sedemikian pentingnya, ada adagium yang mengatakan bahwa satu saksi bukan saksi atau unus testis nullus testis. Di dalam Pasal 184 KUHAP keterangan saksipun ditempatkan pada posisi pertama dari lima alat bukti yang sah.

Ketika penggeledahan dilakukan di kediaman Firli Bahuri di Bekasi, polisi sesungguhnya tidak menemukan bukti apapun. Sementara dalam penggeledahan rumah sewa di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, polisi hanya menyita gembok, kunci, dompet kosong, keyless, dan menyita kertas bertuliskan alamat wifi dan password.

Dalam sidang praperadilan tanggal 13 Desember 2023, Polda Metro Jaya melampirkan surat P21 berkas perkara. Sementara ternyata baru baru pada tanggal 15 Desember berkas perkara benomor BP/213/XII/RES.3.3./2023/Ditreskrimsus, tertanggal 14 Desember 2023, itu dilimpahkan Polda Metro Jaya ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Sejauh ini belum ada respon formal yang disampaikan Kejaksaan DKI Jakarta atas berkas perkara itu.

Tapi mengapa, hari ini (Kamis, 21/12), Firli Bahuri kembali dipanggil untuk dimintai keterangan tambahan berdasarkan Surat Panggilan Tersangka ke 1 Nomor: S.Pgl/4829/XII/RES.3.3./2023/Ditreskrimsus tertanggal 18 Desember 2023.

Padahal, berkas perkara sudah dilimpahkan dari Tim Penyidik Polda Metro Jaya kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, maka wajar saja ada pandangan bahwa kehadiran Firli Bahuri sudah tidak diperlukan lagi baik sebagai Saksi maupun Tersangka. Kecuali memang hal itu adalah permintaan dari Kejaksaan DKI Jakarta sebagai respon atas berkas perkara yang dilimpahkan.

Sebelumnya Firli Bahuri telah diperiksa sebagai Saksi, sebanyak  dua kali, yaitu pada hari Kamis, 26 Oktober 2023, dan Kamis, 16 November 2023.

Sementara pemeriksaan sebagai Tersangka dilakukan pada  Jumat, 1 Desember 2023, dan Rabu, 6 Desember 2023.

Selain itu, ahli-ahli yang diajukan Firli Bahuri dalam pemeriksaan 1 Desember, juga belum diperiksa Penyidik. Sebut saja, Alexander Marwata, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra.

Padahal pemeriksaan ahli yang diminta Firli Bahuri itu merupakan bagian dari hak dirinya yang diatur secara tegas dan jelas pada Pasal 65 KUHAP yang berbunyi, “Tersangka atau Terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.”.