Nasib Pemilih Pindahan dalam Pemilu 2024

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

PENYEDERHANAAN satu surat suara untuk lima kategori Pemilu berimplikasi pada penggunaan hak pilih kumulatif pemilih pindahan tanpa mempertimbangkan aspek domisili. 

KPU menawarkan desain penyederhanaan surat suara dari penggunaan lima jenis surat suara menjadi satu jenis surat suara pada

pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.

Pertimbangan utama penyederhanaan surat suara selain menghemat anggaran adalah keselamatan penyelenggara Pemilu di TPS yang terforsir pada saat melakukan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi.

Penyederhanaan surat suara merupakan langkah awal KPU melaksanakan Pemilu efektif selain mempersingkat waktu kampanye selama empat bulan dengan penyelesaian sengketa selama 12 hari.

DPR, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP sementara menyepakati pelaksanaan pemungutan suara Pemilu Serentak 2024 pada 21 Februari 2024. Meski belum final menjadi penetapan, penentuan hari pemungutan suara menjadi panduan penyusunan program-program penyelenggara Pemilu.

Penyelenggara bertekad selain melakukan pemungutan suara serentak, juga berupaya mendorong tahapan pelantikan dilakukan secara serentak.  

Pemilu 2024 merupakan pesta demokrasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara konstitusional. Keserentakan pelaksanaan Pemilu eksekutif dan legislatif tersebut merupakan upaya mewujudkan sistem presidensial efektif yang diamanatkan undang-undang.

Selanjutnya, hasil Pemilu 2024 menentukan kepesertaan pemilihan kepala daerah yang rencananya

dilaksanakan pada 27 November 2024.

Implikasi Penyederhanaan Surat Suara

Pada Pemilu 2019 pemungutan suara dilaksanakan dengan cara mencoblos lima surat suara meliputi surat suara untuk Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Calon Anggota DPR, Calon Anggota DPD, Calon Anggota DPRD Provinsi dan Calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Pemilih yang telah memenuhi persyaratan dapat menggunakan haknya sesuai kategori pemilih yang ditentukan undang undang.

UU 7/2017 Tentang Pemilu mengatur tiga kategori pemilih antara lain pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), pemilih dalam daftar pemilih tambahan (DPTb), dan pemilih di luar daftar pemilih tetap dan tambahan (DPK).

Pemilih DPT merupakan pemilih yang menggunakan hak pilihnya sesuai dengan domisili yang tertera di KTP, pemilih DPTb merupakan pemilih yang dalam keadaan tertentu dapat menggunakan haknya di luar domisili, dan pemilih DPK adalah pemilih yang menggunakan haknya sesuai domisili namun tak masuk dalam DPT dan DPTb.

Pemilih DPK mencoblos surat suara di TPS dengan menunjukkan identitas domisilinya, satu jam sebelum TPS ditutup.

Jumlah pemilih DPT dan DPTb di setiap TPS bergantung pada proses pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU. Pemutakhiran data dimulai pada saat Kementerian Dalam Negeri menyerahkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) kepada KPU untuk selanjutnya diproses menjadi Daftar Pemilih Sementara (DPS).

Pada tahap ini KPU mendapatkan masukan dari masyarakat untuk melakukan perbaikan data pemilih sebelum DPS ditetapkan menjadi DPT.

Selain menetapkan jumlah Pemilih DPT, KPU dapat melengkapi DPT dengan jumlah Pemilih DPTb paling lama tujuh hari sebelum pemungutan suara.

Dengan demikian KPU telah mendapatkan jumlah Pemilih DPT dan Pemilih DPTb yang selanjutnya

ditetapkan melalui keputusan KPU sebagai dasar pencetakan surat suara.

Jumlah surat suara yang dicetak sesuai ketentuan Pasal 344 UU 7/2017 adalah sama dengan jumlah Pemilih DPT dengan dua persen dari jumlah Pemilih DPT sebagai cadangan.   

Logikanya, jumlah surat suara yang dicetak tentu sama dengan jumlah surat suara yang didistribusikan ke TPS, karena jumlah Pemilih DPT dan Pemilih DPTb telah dimutakhirkan dengan basis pemilih di TPS.

Pemilih DPT dan Pemilih DPK menggunakan haknya di TPS sesuai domisili, sementara Pemilih DPTb menggunakan haknya di luar domisili dalam keadaan tertentu yang diatur undang-undang.

Keadaan tertentu yang dimaksud antara lain sedang menjalankan tugas di tempat lain pada hari pemungutan suara, menjalani rawat inap di RS atau puskesmas dan keluarga yang mendampingi dan penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial/rehabilitasi.

Selain itu, mereka yang menjalani rehabilitasi narkoba, menjadi tahanan atau sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan, tugas belajar/menempuh pendidikan menengah atau tinggi, pindah domisili, tertimpa bencana alam, dan/atau bekerja di luar domisilinya.

Pada Pemilu 2019 pemilih DPTb atau pemilih pindahan diperkenankan menggunakan haknya untuk satu

kategori Pemilu di TPS sesuai kualifikasi perpindahan domisilinya.

Misalnya, pemilih pindahan hanya dapat memilih calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya (Dapil), memilih calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi.

Pemilih pindahan juga memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden apabila pindah memilih ke provinsi lain atau ke suatu negara, memilih calon anggota DPRD Provinsi apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di Dapilnya, dan memilih calon anggota DPRD Kabupaten/Kota apabila pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan di Dapilnya.

Penggunaan hak pilih oleh pemilih pindahan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU 7/2017 dengan pola penggunaan hak pilih secara alternatif berdasarkan penyelenggaraan Pemilu eksekutif dan legislatif yang tertuang dalam lima jenis surat suara.

Rencana penyederhanaan surat suara dari lima jenis surat suara menjadi satu jenis surat suara tentu akan berimplikasi pada pola penggunaan surat suara oleh pemilih pindahan.

Satu jenis surat suara di dalamnya terdapat lima kategori Pemilu, sehingga apabila disimulasikan penggunaan surat suara oleh pemilih pindahan pola penggunaannya bersifat kumulatif.

Pemilih pindahan dapat mencoblos lima kategori Pemilu dalam satu surat suara, tanpa mempertimbangkan kualifikasi perpindahan domisilinya. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada pemilih di TPS luar negeri apabila hanya mencoblos satu surat suara untuk lima kategori Pemilu.

Seharusnya, pemilih di luar negeri hanya dapat menggunakan haknya untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta memilih Caleg DPR Dapil DKI Jakarta. Melalui penyederhanaan satu surat suara pemilih luar negeri berkesempatan mencoblos secara kumulatif lima kategori Pemilu.

Apabila pemilih pindahan atau pemilih DPTb dapat menggunakan haknya secara kumulatif karena penyederhanaan lima surat suara menjadi satu surat suara, lantas apa bedanya dengan pemilih DPT dan DPK?

Penyederhanaan satu surat suara untuk lima kategori Pemilu berimplikasi pada pemilih pindahan yang menggunakan hak pilih secara kumulatif tanpa mempertimbangkan aspek domisili.

Padahal selama ini sumber kecurangan dan pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada salah

satunya pada variabel pemilih pindahan dengan modus mobilisasi pemilih.

Kerumitan Pemutakhiran Data Pemilih

Tumpang tindih data kependudukan selama ini dituding menjadi akar masalah pemutakhiran data pemilih pada pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Data kependudukan menjadi sangat vital menentukan konstitusionalitas penggunaan hak politik warga negara.

Pilkada Serentak 2020 di Kabupaten Nabire misalnya, Mahkamah Konstitusi memutus dan memerintahkan KPU Nabire untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh wilayah kabupaten lantaran jumlah Pemilih DPT dan DPTb yang ditetapkan penyelenggara melebihi jumlah penduduk di sana.

Data pemilih pindahan selama ini pemutakhirannya tak bersamaan dengan penetapan pemilih DPT. Pencetakan surat suara berdasarkan jumlah DPT yang ditetapkan KPU, dengan ketentuan penambahan pemilih tambahan dilakukan paling lama tujuh hari sebelum pemungutan suara.

Waktu tujuh hari tersebut merupakan amar putusan MK No. 20/PUU-XVII/2019 yang membatalkan ketentuan waktu melengkapi pemilih tambahan pada Pasal 210 ayat (1) yang mengatur paling lama 30 hari.

Pencetakan surat suara tentu tak bisa dilakukan mendadak, tujuh hari menjelang pemungutan suara. Pun, perusahaan pencetak surat suara tak diperbolehkan mencetak surat suara melebihi penetapan KPU.

Di sisi lain, pemilih pindahan juga memerlukan kepastian hukum dapat menggunakan hak pilihnya di TPS di luar domisili.

Pada Pemilu 2019 KPU memberikan jalan keluar terhadap masalah ketersediaan surat suara di TPS melalui ketentuan Pasal 21 ayat (2) PKPU No. 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas PKPU 3/2019 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilu.

Ketentuan Pasal 21 ayat (2) tersebut mengatur bahwa lima jenis surat suara di TPS dipergunakan oleh Pemilih DPT, DPTb dan DPK sepanjang masih tersedia surat suaranya. Pada frasa “sepanjang masih tersedia surat suaranya” menunjukkan ketidakpastian jumlah pemilih dan ketersediaan surat suara.

Pemilih tetap berisiko kehilangan kesempatan menggunakan hak pilihnya di TPS. Kiranya cukup jelas penyebab kasus pemilih DPT, DPTb ataupun DPK yang tak dapat menggunakan haknya akibat kurangnya surat suara di TPS pada pelaksanaan Pemilu 2019.

Apabila menghubungkan penyederhanaan surat suara dan kerumitan pemutakhiran data yang berakibat pada potensi hilangnya penggunaan hak pilih warga negara, nampak adanya upaya KPU untuk memutus mata rantai permasalahan administrasi kependudukan.

KPU mencoba melihat permasalahan data kependudukan dan data pemilih di luar dikotomi penggunaan hak pilih dalam dimensi domisili-non domisili. Berapapun jumlah pemilih pindahan dan dimanapun keberadaannya, penggunaan hak pilih tetap sama dengan pemilih DPT atau DPK, sama-sama mencoblos satu surat suara untuk lima kategori Pemilu.

Dalam tahap pemutakhiran data pemilih nalar nondikotomis ini sangat membantu untuk menentukan atau memastikan keberadaan pemilih pada saat penelitian dan pencocokan data pemilih di lapangan. Perpindahan penduduk merupakan salah satu peristiwa diantara peristiwa kependudukan lainnya seperti kelahiran, kematian, perkawinan, pensiun dari TNI/Polri/ASN, berusia 17 tahun dan sebagainya.

Setelah mengatasi masalah penggunaan hak pilih akibat perpindahan penduduk untuk menyempurnakan daftar pemilih tetap, KPU dihadapkan pada masalah perilaku pemilih dan pepenyelenggara Pemilu di TPS yang beradaptasi dengan penggunaan satu jenis surat suara.

Misalnya soal pengertian surat suara rusak, salah coblos, surat surat suara sah dan tidak sah penting untuk dilakukan simulasi terkait efektifitas pemungutan suara di TPS. Bahkan dalam ketentuan Pasal 372 ayat (2) UU 7/2017 penyelenggara belum mengantisipasi lebih dari satu pemilih menggunakan lebih dari satu surat suara sebagai obyek pelaksanaan pemungutan suara ulang.

Pemilih yang sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali atau lebih di TPS mendapatkan sanksi pidana penjara paling lama 18 bulan dan denda paling banyak delapan belas juta rupiah.

Konstruksi hukum UU 7/2017 mengenai pemilih menggunakan lebih dari satu surat suara dikategorikan sebagai tindak pidana, bukan pelanggaran administrasi.

Hal ini sangat berbeda dengan konstruksi hukum UU 10/2016 Tentang Pilkada yang mengatur penggunaan surat suara lebih dari satu oleh pemilih sebagai pelanggaran administratif, sekaligus obyek pemungutan suara ulang.    

Melalui penyederhanaan surat suara menjadi satu surat suara untuk lima kategori Pemilu akan mempermudah persiapan pengadaan surat suara, memastikan setiap warga negara dimanapun keberadaannya dapat menggunakan hak pilih secara konstitusional.

Pemilih pindahan merupakan bagian data pemilih yang menyempurnakan daftar pemilih tetap dalam pelaksanaan Pemilu.

Melepaskan aspek kewilayahan yang mengikat penggunaan hak pilih pemilih pindahan, memastikan penggunaan hak pilih dalam satu surat suara secara kumulatif merupakan terobosan dalam memberikan pelayanan hak politik warga negara.

Gagasan penyederhanaan surat suara juga pernah diusulkan oleh masayarakat sipil dalam Naskah Akademik Draf RUU Kitab Hukum Pemilu, Agustus 2015. Prof. Ramlan Surbakti menggawangi penyusunan Naskah Akademik menawarkan gagasan menarik mengenai penyederhanaan surat suara menggunakan model daftar partai, party list system.

Penggunaan surat suara akan jauh lebih efektif apabila di dalamnya hanya memuat tanda gambar dan nomor partai politik, sementara daftar nama calon anggota legislatif ditempel di papan pengumuman.

Namun muncul pertanyaan, bagaimana cara pemilih memiliki cukup waktu untuk mengenal baik nama-nama calon anggota legislatif sebelum pemungutan suara?

Model daftar partai menawarkan solusi bagi partai politik untuk mengadakan pemilihan pendahuluan di internal partai politik. Pemilihan pendahulunan ini mirip dengan tahap sosialisasi calon anggota legislatif sebelum masa kampanye, dimana seorang Caleg diharapkan mampu mendapatkan popularitas yang cukup di Dapilnya.   

Penyelenggara Pemilu dapat mengakomodir model pemilihan pendahuluan tersebut dalam tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bahkan Penyelenggara dapat turut mengawasi pelaksanaan pemilihan pendahuluan, menghindari ketidakpercayaan publik terhadap hasil konvensi internal partai politik.

Tentu tahap sosialisasi Caleg pra kampanye ini akan berkonsekuensi memperpanjang masa kerja badan adhock penyelenggara Pemilu, terutama Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Menggabungkan desain penyederhanaan satu surat suara dengan model daftar partai menjadi solusi penyelenggaraan Pemilu pada aspek formal sekaligus substantif.

Meringkas lima kategori Pemilu ke dalam satu kertas surat suara yang di dalamnya memuat tanda gambar dan nomor partai politik akan memudahkan pemilih, bahkan pemilih pemula untuk menggunakan hak pilihnya di TPS.

Seorang pemilih yang datang ke TPS telah mengenal dengan baik Caleg dan partai politik yang akan dicoblos karena sebelumnya partai politik telah menyosialisasikan Calegnya dengan pengawasan penyelenggara Pemilu.

Penulis adalah Advokat, tinggal di Jakarta