Jokowi dan Etika Politik Berbusana

Kolase foto Jokowi/ RMOL
Kolase foto Jokowi/ RMOL

SUATU hari di bulan Juni. Berseragam loreng militer, lengkap dengan baret dan senjata api, Presiden menerima tamu penting di Istana. Tak ada yang genting, dan ini kejadian di tahun 2015 -- bukan 1970. Ya, saya bicara tentang Pak Jokowi -- bukan Pak Harto. 

Seragam Militer dan Demokrasi

Dua Presiden dengan latar belakang militer pernah memimpin Indonesia. Tapi tak satupun dari mereka --  baik Soeharto yang merebut kekuasaan dengan jalan darah, maupun SBY yang memenangi pemilihan langsung pertama di era reformasi --  yang pernah dengan seragam militer menerima tamu di Istana.

Justru Jokowi, seratus persen sipil, yang melakukannya. Soekarno tak pernah, begitu pula Habibie, Gus Dur dan Megawati. Cuma Pak Jokowi.

Military wannabe? Saya tak akan pergi terlalu jauh ke sana. Tetapi tetap saja, kejadian itu adalah blunder politik yang memalukan.

Pak Jokowi seharusnya tidak sekalipun boleh lupa. Presiden, jabatan publik tertinggi dalam negara demokrasi, adalah jabatan sipil. Itu sebabnya setiap anggota militer yang berniat mengikuti pemilu harus berhenti dari militer.

Presiden secara konstitusional memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang. Tetapi ini bukan berarti Presiden menjadi anggota militer. "Panglima Tertinggi (bagi) militer" adalah warga sipil yang dipilih oleh pemilihan umum yang demokratis untuk memberi perintah kepada pimpinan militer atas nama rakyat.

Maka, kapan saja Jokowi menemui para perwira tinggi TNI-nya, sebetulnya beliau harus selalu berbusana sipil. Justru, untuk menegaskan dan menghormati kedudukannya yang istimewa sebagai warga sipil yang menjadi "panglima tertinggi" bagi militer.

Tapi dasar Pak Jokowi: hari itu beliau malah sebaliknya menemui tamu-tamu sipilnya di istana dengan mengenakan seragam militer. Lengkap dengan baret dan senjata api.

Apropriasi Budaya

Entah berapa kali sudah Jokowi mengenakan pakaian daerah dalam acara kenegaraan. Agaknya, Pak Jokowi mau menegaskan citra politik seorang pemimpin pro-kemajemukan.

Kemarin, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus, beliau memilih mengenakan pakaian Badui. Esoknya pakaian asal Lampung, saat Upacara Bendera memperingati Kemerdekaan Indonesia.

Pilihan berbusana Pak Jokowi kontan mendapat sindiran keras. Jokowi dinilai hanya memakai pakaian adat untuk kepentingannya sendiri, tapi kebijakannya tak memihak masyarakat adat.

Sebenarnya tak ada yang salah dari pilihan berpakaian tersebut, bila merujuk pada beleid yang ditandatanganinya sendiri, yakni Peraturan Presiden No.71 tahun 2018. Lain hal, memang, jika ditilik dari sisi etika politik.

Negara Republik Indonesia sebenarnya adalah cangkang yang semula berupa negara kolonial. Ia direbut, diisi dan digunakan oleh "bangsa Indonesia" untuk

mewujudkan kemerdekaan dan mendapat pengakuan internasional.

Bangsa Indonesia sendiri adalah hasil konstruksi imajinasi dari rakyat jajahan yang datang dari identitas yang beragam dan berbeda. Atau yang disebut oleh Ben Anderson sebagai "komunitas yang dibayangkan" (imagined community).

Mereka, nenek moyang kita, the founding fathers and mothers, sejak tahun 1928 sudah bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Fundamen historis ini memberi tugas abadi pada negara Republik Indonesia untuk selamanya menjamin dan melindungi kemajemukan bangsa dalam prinsip kesetaraan dan kebebasan.

Maka negara Republik Indonesia tidak boleh memiliki preferensi budaya sendiri. Dan ini harus tercermin dalam Perilaku Kepala Negara. Ia tidak boleh menunjukkan preferensi pribadinya terhadap budaya tertentu -- atau apalagi membuat pertunjukan politiknya sendiri dalam acara kenegaraan.

Ia sebaiknya tidak menjadi Lampung atau Badui. Melainkan menjadi seorang abdi negara yang patuh dan teguh. Bukan karena menjadi Badui atau Lampung itu keliru. Melainkan karena sebagai Kepala Negara, ia tak cukup hanya menjadi Badui atau Lampung. Ia harus menjadi epitom dari semua identitas dan kekhasan budaya karena Kepala Negara berkewajiban melindungi semua.

Maka, khususnya saat negara memperingati kemerdekaan Indonesia, setiap Kepala Negara dalam acara kenegaraan sebaiknya mengenakan pakaian nasional yang sebenarnya ditetapkan juga dalam Peraturan Presiden No. 71 tahun 2018. Itu bisa Pakaian Sipil Nasional berupa jas beskap tertutup dan peci; atau boleh juga Pakaian Sipil Lengkap berupa satu setel jas berwarna gelap dengan kemeja putih dan dasi.

Biarlah para undangan yang terhormat saja, terutama anggota DPR dan DPD, yang berpakaian daerah -- sesuai dengan asal daerah pemilihan masing-masing. Dengan begitu, acara peringatan kemerdekaan menjadi  simbolisasi yang bermakna tentang kemajemukan bangsa dan perlindungan negara yang imparsial terhadapnya.

Bagi Pak Jokowi sendiri, mengenakan pakaian nasional seperti ditetapkan dalam beleid di atas, akan menghindarkannya dari tuduhan melakukan apropriasi budaya. Istilah ini dikenal pada 1980-an, dalam diskusi kritik pascakolonial terhadap ekspansionisme Barat.

Belakangan, Jaja Grays dalam The Blurred Line of Cultural Appropriation (2016) mendefinisikannya sebagai perbuatan yang mengacu pada meminjam atau mencuri budaya dari kelompok minoritas untuk digunakan sebagai keuntungan pribadi.

Dalam konteks pakaian Pak Jokowi, tudingan melakukan apropriasi budaya itu berarti beliau menggunakan busana daerah dalam acara kenegaraan hanya untuk membangun citra politiknya sendiri. Citra politik pro kemajemukan, yang dalam kritik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, sesungguhnya omong kosong.

Selamat hari kemerdekaan Indonesia ke-76!

Penulis adalah pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi