Taliban Picu Islamofobia di India

Kembalinya kelompok militan Taliban ke puncak kekuasaan di Afghanistan memicu gelombang baru Islamofobia di India/Net
Kembalinya kelompok militan Taliban ke puncak kekuasaan di Afghanistan memicu gelombang baru Islamofobia di India/Net

Kembalinya kelompok militan Taliban ke puncak kekuasaan di Afghanistan memicu gelombang baru Islamofobia di India. Hal ini terutama dikembangkan oleh kampanye "kebencian" yang diluncurkan oleh kelompok sayap kanan.


Targetnya pun beragam, mulai dari politisi, penulis, wartawan, influencer hingga warga biasa yang merupakan muslim. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah insiden atau komentar yang muncul usai Taliban menduduki Kabul pada 15 Agustus lalu.

Merujuk pada laporan media lokal yang dihimpun oleh Al Jazeera, sempat ada kabar yang menyebut bahwa sejumlah warga muslim di negara bagian tengah Madhya Pradesh mengangkat slogan-slogan pro-Pakistan selama kegiatan Muharram. Kemudian kepala menteri negara bagian dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa segera mengomentari laporan tersebut dengan mengatakan bahwa dia tidak akan mentolerir mentalitas Taliban semacam itu.

Namun, dua hari setelah komentarnya, situs web pemeriksa fakta terkemuka Alt News menemukan bahwa laporan awal soal warga Muslim Madhya Pradesh mengangkat slogan-slogan pro-Pakistan adalah hoaks.

Insiden lain terjadi di negara bagian Assam di timur laut, di mana 15 warga Muslim, termasuk cendekiawan Islam, politisi dan jurnalis lokal, ditangkap karena diduga “mendukung” Taliban di unggahan media sosial. Mereka didakwa di bawah Undang-Undang Aktivitas Melanggar Hukum (Pencegahan) atau UAPA.

Sementara itu, menurut penyair dan aktivis Hussain Haidry, saat ini, warga Muslim yang melawan kebencian atau vokal tentang kekejaman terhadap komunitas di India dituduh sebagai simpatisan Taliban, bahkan jika mereka juga sebenarnya mengecam kelompok itu.

Salah satu contoh nyata dari situasi itu adalah apa yang dialami oleh penyair terkenal Munawwar Rana di kota Lucknow. Dia menjadi sasaran kemarahan dari kelompok sayap kanan ketika dia membuat analogi antara Taliban dan Valmiki, yang menulis epos Hindu, Ramayana.

Selama debat TV dua minggu lalu, Rana mengatakan, karakter berubah dari waktu ke waktu. Dia mengutip sebagai contoh Valmiki yang menjadi dewa setelah menulis Ramayana.

"Sebelumnya dia adalah seorang bandit," ujarnya pada saat itu.

Atas komentarnya itu, dia menjadi sasaran serangan Islamofobia dari orang-orang yang ingin mempolarisasi masyarakat pada garis agama. Dia bahkan dianggap sebagai pendukung Taliban, meski dirinya sebenarnya menentang hal itu.

“Sebagai orang India atau Muslim, kapan kita pernah mendukung teroris? Apa yang harus kita lakukan dengan Taliban? Tetapi jika ada ledakan di mana saja di dunia dan seorang Muslim terlibat, kami akan disalahkan untuk itu,” kata Rana kepada Al Jazeera.

Ada juga insiden yang dialami oleh Shafiqur Rahman Barq, seorang politisi di Uttar Pradesh. Dia menghadapi tuduhan penghasutan karena diduga membandingkan perjuangan kemerdekaan India melawan Inggris dengan perjuangan Afghanistan melawan pendudukan Amerika Serikat.

Dalam sebuah video yang diunggah oleh Kantor Berita ANI pada 17 Agustus lalu, Barq mengatakan bahwa orang India telah berjuang untuk kebebasan ketika negara itu berada di bawah pendudukan Inggris.

“Sekarang mereka (Afghanistan) berada di bawah pendudukan Amerika, sebelumnya Rusia, mereka (Taliban) juga menginginkan kebebasan dan membebaskan negara mereka,” katanya pada saat itu.

Dia kemudian mengklarifikasi pernyataannya. Dalam sebuah pernyataan kepada Al Jazeera, Barq mengatakan bahwa pernyataannya disalahartikan dan bahwa dia telah menyebut pengambilalihan Taliban di Afghanistan sebagai masalah internal negara itu.

“Pemerintah terus berubah di negara lain. Mengapa kita harus menaruh minat pada apa yang terjadi di mana saja? Negara kami akan membuat kebijakan, apakah akan mengakui aturan (Taliban) mereka atau tidak dan kami akan mengikutinya,” kata Barq.

Para pemimpin dan juru bicara BJP di India memang secara eksplisit menyebut Taliban sebagai “teroris”. Namun, insiden-insiden Islamofobia terbaru yang terjadi di India agaknya disalahartikan oleh BJP untuk mempolarisasi pemilih.

Menurut antropolog politik Irfan Ahmad, terkait dengan apa yang dialami oleh Barq, Nomani dan Rana, tidak ada seorang demokrat pun yang menemukan sesuatu yang tidak pantas dalam pernyataan mereka karena mereka telah mengomentari perjuangan Taliban melawan kekuatan asing. Menurutnya, mereka bahkan mengkritik pendudukan 20 tahun atas nama "perang melawan teror".

“Mereka tidak terlalu memuji Taliban sebagai perbuatan mereka,” kata Ahmad yang merupakan seorang peneliti senior di Max Institut Planck untuk Studi Keanekaragaman Agama dan Etnis.

Namun pernyataan dan komentar mereka disalahartikan sebagai bentuk dukungan kepada Taliban. Hal ini, di sisi lain, akan memberi lebih banyak umpan kepada para pemimpin BJP, terutama terkait dengan pemilihan yang sudah dekat di Uttar Pradesh.

Sebenarnya, serangan kebencian terhadap Muslim India telah menjadi urusan sehari-hari di India. Dalam laporan tahun 2020, Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) menyebut India sebagai “negara yang menjadi perhatian khusus”.

“Pemerintah nasional mengizinkan kekerasan terhadap minoritas dan rumah ibadah mereka berlanjut tanpa hukuman, dan juga terlibat dalam dan menoleransi ujaran kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan,” kata laporan itu, melansir Kantor Berita Politik RMOL.