Jalan Terjal PLTN

Ilustrasi/Ist
Ilustrasi/Ist

PERKEMBANGAN organisasi yang kian modern menuntut seorang pemimpin yang tangguh, memiliki kecekatan, kecepatan serta mampu beradaptasi dalam melihat tantangan dan membawa gerbong organisasi berjalan secara cepat, tepat dan terarah. Organisasi yang fleksibel sejatinya merupakan buah tangan manusia yang mampu bertindak proaktif, kreatif, inovatif dan non konvensional.

Inilah yang diperlukan pemimpin saat ini, terutama dalam menghadapi perubahan jaman. Energi dan Industri merupakan dua kata yang tidak terpisahkan sebagai parameter kunci pendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Pemimpin yang berwawasan ke depan sangat diperlukan untuk menggerakkan semua komponen dalam rangka mengawal terujudnya ketahanan energy dan industri yang maju.

Berbicara tentang energ, kini semakin populer menjadi topik yang banyak digunjingkan oleh berbagai kalangan, bukan hanya sebatas kelangkaannya tetapi juga pilihan-pilihan strategis terhadap jenis energi yang dipakai sebagai motor penggerak industri. Tuntutan terhadap green technology, ramah lingkungan, handal, dan murah semakin menonjol, terlebih upayam menurunkan kandungan carbon-diokside merupakan komitmen internasional yang harus dipenuhi Indonesia.

Tidak salah jika dalam mendongkrak rasio elektrifikasi rumah tangga dan rasio elektrifikasi desa dipilih energi listrik yang dapat langsung dinikmati oleh masyarakat seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), biogas, pembangkit angin (PLTB), dan Mikrohidro (PLTMH). N

amun jika berbicara pertumbuhan ekonomi setinggi 7-8 persen tentu tidak cukup hanya mendorong pemanfaatan energi listrik berskala kecil, dan fluktuatif. Pembangkit sebagai Based load yang andal, aman, emsi karbon rendah, dan murah perlu diupayakan untuk mencapai pertumbuhan di atas.

Bila dibandingkan negara-negara tetangga, konsumsi listrik Indonesia yang hanya sekitar 1.024 kWh per kapita cukup tertinggal. Dari catatan Bank Dunia, pada tahun 2014, konsumsi listrik Thailand telah mencapai 2.540 kWh per kapita, Malaysia 4.596, Vietnam 1.439, Singapura 8.854, Spanyol 5.000, Inggris 5.120, Spanyol 5.350 kWh per kapita, Luksemburg 13.873, Finlandia 15.246, Kuwait 15.333, Kanada 15.544 kWh per kapita.

Sebuah studi dari Price Water House Cooper (PWC) yang dirilis pada awal tahun 2017 mengemukakan bahwa Indonesia akan menjadi negara nomor lima ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030, dengan istimasi GDP mencapai USD $5.424 dan GDP per Kapita sebesar USD $18.400.  Sedangkan data empiris dari berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa setiap kWh konsumsi listrik akan memberikan kontribusi sekitar $4 – $5 PDB, oleh karena itu Indonesia akan dapat mencapai posisi  diperlukan energi listrik sebesar 4.600 kWh per kapita.

Di sisi lain, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah membuat estimasi yang mirp dengan PWC yaitu jika pertumbuhan ekonomi dipatok pada posisi 7-8% maka pada tahun 2025 konsumsi listrik akan menjadi sekitar 2.500 kWh per kapita.

Jika kita lihat data selama Januari-Maret 2018 konsumsi listrik yang tercatat di PLN sebesar 55,42 Tera Watt Hour (TWh) yang terdiri dari konsumsi sektor bisnis sebesar 9,9 TWh, industri sebesar 18,5 TWh, dan rumah tangga sebesar 22,9 TWh, menegaskan bahwa sektor industri belumlah dominan dalam pemanfaatan listrik di Indonesia.

Sementara rendahnya laju pertumbuhan energi sangat “erat” dengan “keterbatasan” kemampuan pendanaan pemerintah dalam penyediaan subsidi energi untuk BBM dan listrik serta harga pasar yang fluktuatif. Dengan keterbatasan ini, mengakibatkan “sulitnya” membentuk pasar energi yang efisien di dalam negeri, sehingga para produsen energi lebih tertarik untuk mengekspor produk energinya daripada melayani kebutuhan domestik yang tidak kompetitif.

Sebagaimana dirilis oleh Katadata.com, proyek pembangkit 35.000 MW yang hingga saat ini baru beroperasi 2.600 MW, sedangkan beberapa pembangkit lain sebesar 15.200 MW ditunda pelaksanaannya, tentu akan membuat Indonesia semakin jauh menuju tingkat nomor lima dunia.

Meskipun capaian itu bisa dipenuhi dengan energy listrik yang ada saat ini seperti PLTU batu bara, dan migas maka jumlah emisi yang dilontarkan ke atmosfir tentu tidak sedikit jumlahnya. Sebuah kajian tentang jumlah kematian yang diakibatkan oleh PLTU batu bara adalah jauh lebih tinggi dibanding kematian akibat PLTN. Selain itu, keuntungan lain yang dimiliki PLTN seperti ramah lingkungan, harga yang murah serta kehandalan energy yang sangat tinggi menjadi pilihan menarik untuk memenuhi kekurangan energy pada tahun 2025 dan tahun 2050. Kita belum terlambat… Kita masih ada waktu untuk berkemas menyusun kekuatan mencapai estimasi PWC diatas, asalkan diskriminasi dan fakta yang diputarbalikkan tentang PLTN tidak terjadi lagi, dan tidak berada di posisi anak tiri dalam Bauran Energi Nasional. PLTN yang dinyatakan sebagai pilihan terakhir energi merupakan faktor penghambat laju penyediaan energi listrik di tanah air.

Kendala Pengembangan EBT

Global Subsides Initiative (GSI) merupakan bagian dari International Institute for Sustainable Development (IISD) merilis laporan terbaru tentang kendala yang dihadapi dalam pengembangan EBT. Ada beberapa hambatan besar pengembangan EBT di Indonesia.

Pertama, harga pembelian untuk energi terbarukan dibatasi di angka yang terlalu rendah sehingga tidak menarik bagi pengembang pembangkit baru, bahkan di beberapa daerah lebih rendah daripada harga pembangkit batubara. Kedua, adanya perubahan kebijakan dan peraturan yang cukup sering dilakukan berujung pada ketidakpastian dan penundaan, serta meningkatkan risiko bagi para investor.

Ketiga, subsidi dan dukungan finansial untuk bahan bakar fosil khususnya batu bara bertentangan dengan keinginan untuk melakukan transisi ke energi terbarukan. Keempat  terdapat ketidakjelasan siapa yang menjadi leading sektor energi terbarukan di Indonesia untuk mendorong munculnya kebijakan proenergi terbarukan sehingga bisa berjalan sesuai harapan.

Rendahnya kebijakan penyediaan  insentif den kemudahan investasi untuk menumbuhkan energi terbarukan, menjadi factor penentu penghambat  pembangunan energi terbarukan di Indonesia. Kecil kemungkinan Indonesia mencapai target 23 persen EBT pada tahun 2025 kecuali jika dibuat kebijakan baru yang pro terhadap penumbuhan energi terbarukan.

Seperti diketahui, target EBT dalam RUEN ditetapkan sebagai bagian dari serangkaian kebijakan termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca, merupakan elemen penting untuk meraih target ketersediaan energi, untuk meraih tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, energi terbarukan diharapkan lebih terjangkau, ramah lingkungan, tidak membahayakan kesehatan, dan lebih mudah diakses bagi masyarakat di pedalaman dibandingkan proyek energi berskala besar dan terpusat yang berbahan bakar fosil. Saat ini, kontribusi energi terbarukan di Indonesia kurang dari 10 persen dari total bauran energi primer.

PLTN adalah solusi

Sudah tak terhitung jumlahnya para peneliti, perekayasa, dan akademisi memperkenalkan nuklir sebagai energy listrik yang handal, ramah lingkungan dana aman, namun kesekian kali pula sosialisasi tersebut kandas akibat adanya sejumlah alasan, antara lain ditengarai masih besarnya potensi sumber daya energy lain yang terkandung di perut bumi Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan eknonomi.

Tidak tanggung-tanggung dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), PLTN ditempatkan pada posisi bontot sebagai pilihan terakhir energi. Diskriminasi pemanfaatan PLTN sebagai “pilihan terakhir” merupakan bukti dari sebuah “pengangkangan” kedaulatan dan demokrasi di bidang kemandirian energi. Hal ini terlihat dari adanya keberpihakan yang tegas terhadap jenis energi tertentu, tetapi “impoten” dan “tumpul” terhadap energi lain seperti PLTN. Ini merupakan sebuah fluktuasi antara “kebenaran” dan “kepalsuan” yang diputarbalikkan.

Sebuah data menunjukkan bahwa PLTN menunjukkan angka kematian yang paling kecil diantara pembangkit lainnya, yaitu untuk setiap TWh menunjukkan jumlah kematian nuklir 60, angin 150, rooftop solar 440, hydro 1400, natural gas 4000, minyak bumi 36000, dan batubara 100.000.

Diskriminasi PLTN ini mengakibatkan terganggunya capaian bauran energi 2025 sehingga memiliki potensi tidak terpenuhinya kecenderungan kecukupan energi kedepan terutama dalam rangka upaya pertumbuhan industry.

PLTN akan menjadi solusi kecukupan energi jika beberapa hal di bawah ini segera dipenuhi, yaitu: perlu adanya Komitmen Nasional yang jelas dan terstruktur tentang pembangunan PLTN berupa peta jalan yang komprehensif. Perbaikan Iklim dan Regulasi yang mendukung, Building Share Vision juga perlu ditingkatkan agar masyarakat mengetahui dan memahami pentingnya energi yang kuat untuk kebutuhan industry. Penguasaan Teknologi menjadi factor utama dalam pembangunan PLTN yang dapat ditempuh dengan berbagai jalan diantaranya dengan kerjasama riset dan pengembangan SDM bersama vendor.

Penulis adalah Staf Ahli Menteri bidang Relevansi dan Produktivitas, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.