Merawat Kemajemukan dalam Kuliner khas Semarangan

Kota Semarang/Net
Kota Semarang/Net

Semarang menjadi kota yang menyimpan berbagai nilai historis dan budaya sebagai warisan leluhur. Beragam kekayaan produk budaya dimiliki masyarakat Kota Semarang, salah satunya di bidang kuliner.


Pengamat antropologi sosial dari Universitas Diponegoro Semarang Amirudin mengungkapkan, kuliner di kota ini tidak hanya dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat setempat saja. Namun, juga dipengaruhi oleh bangsa lain sebagai hasil akulturasi kebudayaan.  Akulturasi kebudayaan di Semarang terjadi karena Kota Semarang merupakan kota pelabuhan yang pada zaman dahulu banyak bangsa luar yang singgah dan berlabuh di Kota Semarang.

‘’Oleh sebab itu, banyak makanan Semarang yang merupakan produk akulturasi atau melting pot dari bangsa lain seperti Cina, Arab dan Eropa.  Salah satu yang terkenal adalah loempia, yang merupakan akulturasi dengan Cina, dan nasi kebuli akulturasi dengan Arab,’’ kata Amir, yang juga Ketua Program Studi Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Budaya Undip, dulansir dari Kantor Berita RMOLJateng, Kamis (16/9).

Budayawan Semarang Djawahir Muhammad, dalam buku Semarang Sepanjang Jalan Kenangan (1996) menceritakan sejarah tentang loempia. Pembuatan loempia dimulai oleh pasangan suami istri Tionghoa dan perempuan Jawa. Cerita dimulai dari kedatangan Tjao Thay Yoe, seorang pedagang darii Provinsi Fu Kien ke Semarang sekitar tahun 1800.

Setibanya Tjao di Semarang, ia membuka usaha dagang makanan khas China yakni sejenis martabak yang diisi rebung dan dicampur daging babi yang digulung dengan rasa asin. Tak butuh waktu lama, dagangan Tjao digemari masyarakat Semarang khususnya masyarakat urban Cina maupun peranakannya.

Untuk usaha dagangnya ini, rupanya Tjao memiliki seorang saingan. Ia adalah Wasi, seorang perempuan Jawa yang menjual makanan sejenis. Hanya saja, martabak Wasi diisi dengan orak-arik yang terdiri dari daging ayam cincang, udang dan telur dengan rasa manis. Walau bersaing dalam berdagang. Lambat laun, keduanya bahkan menjadi sahabat dan saling bertukar resep. Keduanya juga memutuskan menikah dan membuat lumpia perpaduan antara lumpia khas Tionghoa dan lumpia khas Jawa.

"Dari persahabatan itu mereka semakin dekat, saking bertukar resep kemudian menikah. Sebagai tanda cinta menyatunya dua budaya itu, Tjao dan Wasi menikah," ungkap Djawahir, dalam bukunya itu.

Kuliner yang juga punya akulturasi dengan budaya asing adalah ganjel rel, orang Semarang menyebutnya ganjel ril.  Kue ini berbentuk persegi panjang dan berwarna kecoklatan. Orang Semarang menamakannya demikian, karena bentuknya yang mirip bantalan rel zaman dulu yang terbuat dari kayu jati. Kue ini namanya merujuk kereta api, karena Kota Semarang merupakan kota yang pertama kalinya menjadi tempat pengoperasian sarana transportasi kereta api.

Budayawan dan pengamat kuliner Jongki Tio mengatakan, ganjel ril merupakan akulturasi budaya Jawa Semarangan, Belanda dan Tionghoa.

‘’Ini roti mirip yang disantap orang Belanda tempo doeloe. Namun disesuaikan dengan selera lidah orang Semarang. Roti ini dulu dikenal untuk sarapan. Makan satu, dua potong ganjel ril, minumnya tiga gelas, langsung kenyang,’’ ungkap Jongki Tio.

Menurut Jongki, dulu ganjel ril biasa ditemukan di Pasar Johar. Menjadi makanan khas saat Dugderan atau perayaan sehari menjelang bulan puasa yang menjadi tradisi warga Kota Semarang.

‘’Ini makanan warga kelas menengah ke bawah. Dulu, dibuat agar rakyat biasa, kalangan pribumi bisa merasakan roti seperti orang Belanda. Tapi dibuat padat agar bisa bikin kenyang,’’ imbuh pria yang masih sehat di usia 80 tahun ini.

Saat Dugderan, kata Jongki, ganjel ril selalu menjadi incaran bahkan rebutan masyarakat Semarang. Ribuan warga bahkan rela berdesakkan untuk mendapat kue tersebut, karena dipercaya bisa memperkuat diri ketika menjalankan ibadah puasa. Ganjel ril menjadi simbol ‘’tak hadir gangguan’’. Maksudnya dengan memakan kue ini, pelaksanaan puasa tidak diwarnai ganjalan, sehingga lancar hingga Lebaran tiba.

Roti ini berbentuk kotak dan berwarna coklat bertabur wijen. Warna coklatnya dari gula aren dan sangat bercita rasa kayu manis.

Namun, bagi Jongki Tio, roti ganjel ril yang ada saat ini, bukan lagi ganjel ril yang dikenalnya dulu di era 1950-an.

‘’Saat itu bentuknya besar dan kalau dimakan harus dipotong-potong dulu. Diatas roti diberi tepung agar tidak lengket, dan warnanya tidak coklat tua, tapi lebih muda,’’ ujarnya.

Menurut Jongki, ganjel ril yang asli semacam itu terakhir muncul pada akhir 1950-an. ‘’Sekitar tahun 1960-an, ganjil ril yang besar dan bertabur tepung di atasnya, sudah tidak ditemukan lagi, berganti dengan ganjel ril yang seperti kita lihat sekarang ini,’’ ujarnya.

Apa yang menyebabkan perubahan dalam budaya kuliner seperti yang terjadi pada ganjel ril? Menurut Amirudin,  globalisasi dan teknologi media, menjadi faktor  determinan terpenting dalam perubahan budaya  kuliner.

‘’Jika semula kelompok suku bangsa memiliki pola budaya kuliner yang umumnya bertumbuh dari konstruksi budaya berbasis selera, bahan dasar,  ornamen makanan, dan cara memasak yang sangat lokal, tetapi melalui perjumpaannya dengan kuliner global, maka sejak itu, perubahan-perubahan mulai terjadi,’’ ungkapnya.

Mengingat teksturnya keras dan manis, kata Amir, maka dalam perkembanganya mengalami adaptasi terhadap pola masak roti modern yang lembut, dan menarik. Itu sebabnya, dalam evolusinya, roti ganjel rel pun mengalami perubahan-perubahan  tekstur dan ornamen.

Semarang juga memiliki keanekaragaman jenis kuliner yang merupakan hasil dari aktivitas kebudayaan masyarakatnya. Keanekaragaman jenis kuliner tersebut mencerminkan bagaimana karakter dan ciri masyarakat Semarang. 

Djawahir Muhammad dalam bukunya menulis, ciri khusus atau karakter yang tercermin dari masakan Semarang yang bercitarasa pedas, bumbu yang minimalis dan disajikan dalam keadaan panas. Hal ini disebabkan karena Kota Semarang merupakan daerah pesisir dimana keadaan iklim dan cuacanya yang panas.  Selain hal tersebut, kuliner khas Semarang diracik dengan bumbu yang sederhana dan minimalis karena masyarakat Semarang merupakan masyarakat yang sederhana tidak neko-neko. Kekhasan karakter masyarakat Semarang tersebut dapat dilihat pada salah satu masakan yang bernama Pindang Serani, yang merupakan salah satu masakan khas Semarang yang dibuat dengan cara yang sangat sederhana dan bahan-bahannya mudah didapatkan.

Bahannya adalah ikan pindang yang direbus dengan bumbu-bumbu dapur yang minimalis berupa garam, bawang putih, bawang merah, cabai, tomat dan serai. Seluruh bumbu tersebut hanya direbus bersama dengan ikan pindang dan disajikan ketika hangat.

Budaya kuliner di Semarang, kata Amirudin, banyak dipengaruhi budaya Tionghoa. Karena Semarang itu multikultural sejak Tionghoa dan Arab masuk.

‘’Itu terlihat dari mitos  Warak Ngendok yang menjadi simbol identitas budaya Kota Semarang. Binatang Warak Ngendok merupakan simbol perbaduan bagaimana warga Semarang memiliki cara pandang multikultural hingga ke produk-produk budaya material yang dilahirkan. Termasuk dalam bentuk-bentuk kuliner khasnya mulai dari Soto, Bubur Ayam,  tahu petis, babat gongso,  mie kopyok, tahu gimbal, dll. Hampir sebagain besar  merupakan hasil perpaduan budaya jawa cina atau jawa arab yang terwujud dalam bumbu-bumbunya, tempat makannya, sampai ke toping makanannya,’’ papar Amir.

Menurut Amir, budaya kuliner, termasuk kuliner khas Semarangan relatif bisa bertahan ratusan tahun, karena budaya makan relatif lebih plastis, terikuti, dan diwariskan secara turun temurun, dan banyak para pendukungnya. ‘’Selain itu, institusi pendidikan juga memberikan pelembagaan budaya kuliner makin terjaga melalui sekolah tata boga, sekolah pariwisata, didukung teknologi media,’’ paparnya.

Kuliner khas Semarangan, nyatanya, bukan hanya tentang sajian nikmat mengundang selera, melainkan mengingatkan kenangan kita akan akulturasi budaya yang saling melebur, serta menjadi pengingat bagi generasi penerus akan pentingnya merawat pluralisme di tengah masyarakat kita  yang sangat majemuk. Ya, dari meja makan, kita terus merawat kemajemukan dan keindonesiaan kita.