Harta Penguasa Bertambah di Saat 140 Ribuan Rakyat Meninggal

  Ilustrasi pemakaman jenazah Covid-19/Net
Ilustrasi pemakaman jenazah Covid-19/Net

Harta bertambah karena hasil kerja dan usaha adalah lumrah dan sah-sah saja. Wajar bila antara pengeluaran berbanding pemasukan memang terdapat kelebihan. Berlaku bagi pekerja, pengusaha maupun pejabat negara.

Namun menjadi ketidakwajaran bilamana ketika mengemban tugas negara selevel menteri pun presiden yang selama kurun waktu menjabat wajib membebaskan diri dari segala bisnis yang dimilikinya langsung maupun tidak langsung. Sehingga nilai kekayaan pribadinya dapat terukur dengan wajar.

Maka ketika dalam laporan LHKPN beberapa menteri bahkan presiden memiliki kenaikan yang cenderung cukup signifikan ketimbang perolehan hasil gaji dan tunjangannya, publik pun bertanya-tanya. Wajar atau ada sisi resmi lainnya kah yang memungkinkan kenaikan harta mereka.

Pantas saja kenaikan harta penguasa itu makin membuat sedih rakyat. Mereka sekarang juga makin nelangsa menghadapi  pandemi dan cara pemerintah melakukan penanganan sekehendak seleranya saja.

Peremehan terhadap datangnya wabah Covid-19 di akhir tahun 2019 oleh otoritas kekuasaan hingga kepanikan tak terelakan yang pada akhirnya tidak hanya menyeret biaya yang melipat ke ribuan triliun juga menghasilkan ratusan ribu korban tewas dan jutaan warga terpapar tanpa rasa empati sedikitpun. 

Imbas yang memilukan perasaan hati juga timbulnya kasus-kasus 'over acting' penanganan pasien non Covid 'to be Covid' dan jenazah yang diistilahkan sebagai sengaja dikategorikan korban Covid.

Akhirnya aroma tidak sedap muncul terkait naiknya harta kekayaan para pejabat.

Penguasa bisa tetap memakmurkan hidupnya, tetapi mematikan jalan kehidupan rakyatnya dengan metode penanganan tak selaras perasaan hati rakyat banyak.

Kondisi ini tercermin dari LHKPN 2020, dimana harta mereka bertambah diantara 140 ribuan korban pandemi.

Adian Radiatus

Pemerhati masalah sosial dan politik