Massa Antikorupsi Desak Penuntasan Dugaan Korupsi KONI Blitar dan Pembangunan Hotel yang Cacat Hukum

Massa Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) dan Front Mahasiswa Revolusioner (FMR) menggelar aksi demo di kantor Kejari Kota Blitar dan DPRD Kota Blitar, Selasa (21/9)/Ist
Massa Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) dan Front Mahasiswa Revolusioner (FMR) menggelar aksi demo di kantor Kejari Kota Blitar dan DPRD Kota Blitar, Selasa (21/9)/Ist

Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) dan Front Mahasiswa Revolusioner (FMR) menggelar aksi demo pada Selasa (21/9). Aksi digelar di dua titik. Pertama mendatangi kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Blitar dan kedua mendatangi kantor DPRD Kota Blitar. 


Di kantor Kejari Blitar, aksi masa mendesak penuntasan dugaan penyelewengan dana hibah Rp7,4 miliar di Kota Blitar.

Hal ini disampaikan koordinator aksi Moh Trijanto pada wartawan. Menurutnya, kasus dugaan korupsi di di tubuh lembaga Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Blitar mirip dengan dugaan korupsi KONI Pusat yang melibatkan mantan Menpora Imam Nahrawi.

"Kita menyakini dugaan korupsi di KONI Kota Blitar mirip dengan dugaan KONI Pusat yang melibatkan mantan Menpora Imam Nahrawi," ujar Trijanto dikutip Kantor Berita RMOLJatim.

Dana yang diduga diselewengkan di KONI Kota Blitar juga berasal dari hibah. Dana dikucurkan Pemkot Blitar sejak 2017 sampai 2019. 

Dikatakan Trijanto, indikasi awal dugaan penyelewengan diketahui dari cabang olahraga pencak silat yang sejak 2017 ternyata sudah dibekukan. Meski sudah beku, namun setiap tahun cabor pencak silat diduga masih menerima kucuran dana hibah. 

"Ini menjadi pertanyaan besar kita semua," kata Trijanto.

Selain itu disebutkan Trijanto, dalam surat pertanggungjawaban jawaban (SPJ) tahun 2019, terungkap banyak dana kegiatan yang diduga telah diselewengkan. Yakni mulai mark up harga peralatan olahraga. Misalnya pengadaan ratusan pasang sepatu olahraga Rp550 ribu per pasang.

"Padahal setelah dicek, harga sepatu yang diduga kuat imitasi atau KW tersebut hanya Rp150 ribu per pasang," terang Trijanto. 

Lanjut Trijanto, ada juga dugaan mark up anggaran di pengadaan makanan dan minuman. Saat rumah makan dicek, ternyata selama setahun tidak pernah menjadi mitra. Lalu dugaan berikutnya adanya pemalsuan tanda tangan honor kegiatan olahraga. Seperti honor wasit pertandingan. Dalam SPJ disebutkan Rp1 juta-Rp1,2 juta. Namun yang diterimakan hanya Rp750 ribu. 

Dari hasil audit BPK atas laporan keuangan Pemkot Blitar tahun 2019, menurut Trijanto, diketahui besar dana hibah yang mengalir ke KONI pada tahun 2019 Rp7,4 miliar. Nominal ini disinyalir sama dengan tahun anggaran sebelumnya.

Karena itu KRPK mendesak Kejari Blitar untuk membongkar kasus dugaan penyelewengan dana hibah di KONI Kota Blitar. 

"Karenannya kedatangan kami ke kejaksaan juga sekaligus menyerahkan data dokumen beserta bukti adanya dugaan penyelewengan," tegasnya.

Sementara di kantor DPRD Kota Blitar, massa menyoal pembangunan hotel yang terletak di Kelurahan Bendogerit, Kota Blitar.

Masih kata Trijanto, berdasarkan Perda Kota Blitar Nomor 12 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Blitar tahun 2011-2030 pasal 27 ayat (2) Huruf f poin 4 menyatakan, bahwa mata air sendang kelurahan Bendogerit adalah sumber mata air baku yang harus dilindungi dan diperkuat dengan pasal 3 Perda tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2015 Pasal 11 bahwa garis Sempadan mata air ditentukan mengelilingi mata air minimal 200 meter, dan berdasarkan kajian dan investigasi, KRPK bersama Forum Masyarakat Lingkungan dan Komunitas Sendang telah menemukan fakta bahwa pembangunan hotel tersebut hanya berjarak 95 meter dari mata air.

“Faktanya pembangunan hotel berjarak 95 meter dari mata air," tandasnya. 

Pihaknya juga mempertanyakan izin pembangunan hotel yang diduga cacat hukum, mulai dari SKRK, AMDAL hingga IMB. Dalam hal ini AMDAL yang muncul kurang lebih tahun 2020/2021. Tentu ini ada pelanggaran.

"Seharusnya pihak hotel melengkapi dulu seluruh syarat administratif untuk pembangunan sebelum dilaksanakan pengerjaan,”tegas Trijanto.

Karena itu KRPK menuntut kepada DPRD Kota Blitar dan Walikota Blitar beserta jajarannya untuk mengkaji ulang produk hukum pembangunan hotel. 

"Kita menuntut keterbukaan proses legislasi, sehingga memungkinkan masyarakat untuk melakukan kontrol secara terbuka masif dan sistematis. Dan kita juga menuntut untuk menghindari kolusi, korupsi dan nepotisme dalam menerbitkan izin apapun,” demikian Trijanto.