Antara Beruzlah, Bekerja, Belajar dan Berdakwah

 Jabal Nur di Mekah. Foto: Pinterest
Jabal Nur di Mekah. Foto: Pinterest

DALAM konteks modernisasi, umat Islam dengan berbagai ajarannya tidak boleh kaku dalam menghadapi berbagai keadaan. Umat Islam harus mampu menyelaraskan segala persoalan, menjadikannya seimbang. Meski terkadang, di saat kita merenungi hiruk pikuk serta tetek bengek dunia, muncul keinginan untuk beruzlah (mengasingkan diri) dari lingkungan masyarakat. 

Namun di sisi lain, kita juga merasa harus bertahan di dalam masyarakat. Berada di antara mereka. Mengaji, saling bertukar ilmu dan berdakwah. Kedua hal itu memiliki konsekuensi berbeda. Saat seorang muslim memilih untuk beruzlah, maka yang muncul selanjutnya adalah pertanyaan tentang relevansi amalan yang mengambil bentuk pengasingan diri dari masyarakat luas untuk diterapkan pada zaman modern yang serba kompleks, seperti saat ini. 

Saat seorang muslim memilih untuk tetap berada di tengah-tengah komunitasnya, maka pertanyaan berikut yang muncul adalah, “apakah memang tidak mungkin menerapkan suatu amalan, yang notabenenya berasal dari kalangan nabi dan orang-orang saleh, yang terbukti membuahkah hasil dalam membentuk mental dan kepribadian muslim secara lebih sempurna?”

Nah, banyaknya rentetan tanggapan yang akan muncul mengenai masalah ini memberikan kesan dan isyarat bahwa jawaban tidak mungkin hanya sebatas pilihan saja. Kita perlu menelaah dengan membalik lagi lembaran kertas yang ditulis oleh para ulama.

Di antara jawaban terbaik dalam hal ini adalah jawaban yang dilontarkan oleh Imam Al-Ghazali sebagai respons terhadap ulama yang hanya mementingkan uzlah dan ulama yang mengabaikan uzlah secara total.

Al-Ghazali berpendapat bahwa beruzlah merupakan perkara yang sangat mulia. Bahkan beliau sendiri menyempatkan beruzlah selama dua belas tahun untuk mengungsi dari hiruk pikuk kota Bagdad saat itu. Namun menurutnya, kepatutan uzlah tersebut berbeda-beda tergantung kepada individu masing-masing. Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menulis, “ketahuilah bahwa dalam perkara ini ( uzlah) ada perbedaan keutamaannya, tergantung kepada pribadi masing-masing.”

Kemudian Al-Ghazali memberikan jalan tengah antara beruzlah dan mukhalatah (berbaur dengan manusia). Jalan itu dinamainya I’tdal (memilih jalan tengah). Ini adalah lebih utama karena tidak kecut hatinya dengan beruzlah lalu meninggalkan faedah bermasyarakat dan juga tidak hanya bergaul semata-mata sehingga meluputkan fadhilah ‘uzlah”. 

Sama halnya dengan keutamaan nikah dan membujang sangat tergantung kepada orangnya bila dilihat dari bahaya-bahaya perkawinan dan faedahnya. begitu pula dalam uzlah dan mukhalatah ada faedah dan bahaya.

Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Imam Syafii ra. Dia berujar, “pengisolasian diri dari manusia bisa menimbulkan permusuhan. Sedangkan membuka diri pada mereka bisa mendatangkan keburukan, Karena itu tempatkan dirimu di antara keduanya.”

Khusus bagi para pelajar/murid yang berada di bawah bimbingan guru rohani, Imam Ghazali menganjurkan agar tidak perlu melakukan uzlah. Namun ereka harus tunduk dan pasrah kepada guru layaknya jenazah yang sedang dimandikan. Sebab dengan demikian, secara tidak langsung, mereka telah beruzlah dalam artian menghindarkan diri dari pergaulan bebas.

Kemudian mereka berkumpul bersama guru yang membimbing dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, sehingga selamatlah mereka. Mereka dapat menyebarkan nilai-nilai agama kepada masyarakat melalui dakwah bil-hal. Bahkan Imam Al-Ghazali menganjurkan agar tidak meninggalkan menuntut ilmu sebelum benar-benar sempurna keilmuan dan keagamaanya. 

Lalu bagaimana dengan bekerja? Dalam Ta’limul Mutaa’llim, Syeik Zarnuji menjelaskan bahwa menuntut ilmu bisa dilakukan bersama-sama dengan bekerja sambil mencari uang, seperti saat Abu Hanifah, seorang perawi hadis, bekerja sebagai pedagang kain dan mendalami fiqih. Begitu juga Abu Hafs Al-Kabir yang bekerja sambil mengulang pelajarannya sendiri.

Karena itu, bila seorang pelajar harus juga mencarikan nafkah keluarga dan segenap tanggungannya, bisalah kiranya di tengah keasyikan bekerja sambil mempelajari sendiri pelajaran dengan semangat dan segiat mungkin. 

Walhasil, tidak ada jalan lain bagi penuntut ilmu baik tua ataupun muda melainkan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan beribadah kepada Allah SWT. Sehingga nilai-nilai agama yang ada pada diri kita sendiri, khususnya, betul-betul terpatri dalam hati sanubari dan dapat pula dinikmati oleh masyarakat sekitar kita. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Penulis adalah santri dan pengajar.