Dulu Jokowi Bilang Proyek Kereta Cepat Tak Bebani APBN, Deddy Sitorus: Harus Ada Audit Menyeluruh

Anggota Komisi VI DPR RI fraksi PDI Perjuangan, Deddy Yevri Hanteru Sitorus/Net
Anggota Komisi VI DPR RI fraksi PDI Perjuangan, Deddy Yevri Hanteru Sitorus/Net

Presiden Joko Widodo dinilai inkonsisten atas proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pasalnya, biaya proyek diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 


Kebijakan ini dituangkan Jokowi ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) 93/2021, Perubahan atas Perpres 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

Padahal pada 2015 silam, Jokowi menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak akan membebani APBN, tapi menggunakan skema business to business (B to B).

Tertuang juga dalam aturan lamanya, yaitu Pasal 4 Perpres 107/2015 bahwa pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilakukan dengan skema obligasi oleh konsorsium BUMN atau patungan.

Bertepatan dengan perubahan beleid tersebut, biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak. Yaitu, dari semula 6,07 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 86,67 triliun menjadi 8 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp 114,24 triliun. Artinya, ditemukan pembengkakan anggaran sekitar Rp 27,57 triliun.

Menanggapi kebijakan baru Jokowi, Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta pemerintah konsisten dengan skema awal pendanaan proyek strategis nasional ini. bukan justru menyentuh duit negara.

"Kita berharap agar pemerintah konsisten dengan tidak menggunakan APBN untuk proyek ini," ucap Deddy dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (11/10).

Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini memandang seharusnya pemerintah melakukan  investigasi terlebih dahulu sebelum menetapkan kebijakan baru.

"Harus ada audit menyeluruh terhadap proyek ini sebelum mengambil keputusan bahwa negara harus intervensi pembiayaan," katanya.

Menurut Deddy, berdasarkan logika bussines planning yang dipakai ketika proyek ini dibuat, sudah sepatutnya ada evaluasi secara menyeluruh, agar tidak terjadi moral hazard.

"Apakah ada penyimpangan dari perencanaan semula? Ataukah memang sejak awal tidak feasible tetapi dipaksakan secara tidak bertanggung jawab?," tandasnya.