Soal TKA dan Kerja Sama, Tiongkok Bersikap Munafik

Ilustrasi TKA China/Ist
Ilustrasi TKA China/Ist

SERING memanfaatkan sabda Nabi Muhammad SAW terkait "belajarlah ilmu bila perlu sampai ke Negeri China", maka sesungguhnyas kaum elite dan pelajar Tiongkok sejak perang dunia kedua berakhir juga memiliki idealisme "Belajar ilmu (pengetahuan) ke Amerika".

Maka bangsa Indonesia tak perlu menjadi terpesona berlebihan kepada Tiongkok. Semua negara di dunia tentu ingin bangsanya maju dan tidak ingin dikuasai bangsa lain. Sehingga menolak hegemoni Tiongkok di Indonesia adalah hal yang wajar. 

Ketidakwajaran sikap Tiongkok dalam hubungan dengan Indonesia dapat dilihat pada masalah di Laut Natuna Utara, sehingga Ketua DPR Puan Maharani pun angkat bicara meminta Tiongkok untuk tidak mengklaim secara sepihak dan mendesak agar Tiongkok menghormati kedaulatan wilayah Indonesia. 

Jangan sampai politik non blok bebas aktif yang dianut Indonesia menjadi bias akibat pejabat dalam negeri yang terlalu percaya dan berbaik hati pada mulut manis Tiongkok. 

Begitu pula dalam hal masuknya TKA China, dimana sejarah kemiskinan bagi bangsa Tiongkok tentu tak boleh terulang setelah pintu reformasi ekonomi dibuka namun tetap dengan prinsip  "Demi Tiongkok" adalah indoktrinasi harga mati yang berarti jangan pernah lupa sesama saudara lainnya. 

Metamoforsis doktrin ideologi komunis mereka. 

Sehingga tidaklah mengherankan bilamana dalam perjanjian kerjasama  ada klausul (tertulis ataupun tidak) tenaga kerja yang dibutuhkan oleh pengusaha Tiongkok akan didatangkan dari Tiongkok di segala jenjang posisi tanpa kecuali.

Hal ini dapat terlihat jangankan di lokasi pengolahan hasil tambang atau proyek besar lainnya, bahkan pabrik swasta biasa pun bila kerjasama investasi akan memuat prasyarat tenaga kerja asal sana meskipun sesungguhnya dapat dipenuhi oleh tenaga kerja lokal. 

Faktanya memang tenaga kerja di negara Tiongkok sangat berlimpah sehingga satu-satunya saluran yang memberi peluang adalah "dieksport" dalam bentuk TKA yang disertakan. Mirisnya ditunjang oleh pejabat Indonesia yang baik hati masuklah ribuan TKA China tersebut dengan mulus. Seakan masuk ke negaranya sendiri. 

Namun sifat Tiongkok terkait masalah perut bangsanya tentu tidak lurus-lurus saja. Mereka rela bersikap munafik seakan hendak memberi banyak keberuntungan bagi rakyat Indonesia asal mereka leluasa menciptakan kekayaan baru bagi para TKA-nya.

Mereka tidak mungkin datang berbondong-bondong bila tidak ada kompensasi yang memadai bagi kantongnya. Sama seperti para wanita penghiburnya yang bertarif tinggi sudah menjadi rahasia umum. 

Jadi memang kita tak perlu heran melihat mentalitas orang Tiongkok tidak sebagus karya seni budayanya. Dalam urusan cari makan mereka rela berdalih apa saja. 

Hanya sayangnya mereka akan berkilah, mengapa mau bekerjasama dengan mereka bila demikian. Tak lain karena para pejabat Indonesia telah dibuat terpesona dengan gambaran janji manis masa depan yang 'wah' oleh Tiongkok.  

Logika lainnya adalah Tiongkok bukannya tidak tahu kalau kedatangan TKA-nya menimbulkan protes berbagai pihak di Indonesia baik elite politik dan aktivis pemerhati maupun kalangan profesional intelektual berbagai kelompok yang concern terhadap kehormatan bangsanya. 

Tentu saja demi perut dan penghasilan TKA-nya, Tiongkok perlu dan bersedia bermuka tebal asal tetap dapat mengeruk keuntungan SDA Indonesia dengan memanfaatkan kebaikan hati para pejabat Indonesia yang terlalu percaya pada mereka. 

Dengan latar belakang keserakahan Tiongkok dalam hubungan ekonomi bisnis maka tidaklah mengherankan begitu 'gercep'nya mereka menyambut kemenangan Taliban dengan menawarkan kerjasama ekonomi berbungkus tema "saling menguntungkan".

Jadi sekali lagi daripada kita bersusah payah mengingatkan pejabat Indonesia akan perilaku "manis dibibir lain di hati" para pejabat Tiongkok itu, adalah lebih nyata berjuang menemukan sosok pemimpin baru secara konstitusional yang kelak dapat menegakan harga diri bangsa, sehingga tidak seperti Tiongkok yang munafik terkait kerjasama apapun termasuk TKA-nya.

Adian Radiatus

Pemerhati sosial dan politik


ikuti update rmoljatim di google news