Mundur Kembali?

KH As'ad Said Ali/Net
KH As'ad Said Ali/Net

UNTUK kedua kalinya, KH As'ad Said Ali maju kembali sebagai calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia pernah mencalonkan diri pada Muktamar NU ke-33 pada 2015 di Jombang. 

Pada waktu itu, Kiai As'ad bertarung dengan KH Said Aqil Siroj. Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) ini mengantongi 107

suara. Sedangkan Kiai Said 287 suara.

Selebihnya, KH Sholahuddin Wahid 10 suara, KH Hilmi Muhammadiyah 3 suara, KH Idrus Ramli 1 suara, KH Mustafa Bisri 1 suara. Ada juga KH As'ad Said, ada juga yang atas KH Said Ali dan KH Ali Said, masing-masing 2 suara. Dan 2 suara abstain.

Dari pemilihan putaran pertama ini, hanya Kiai As'ad dan Kiai Said yang berhak maju pada putaran kedua. Sebab, Tata Tertib Pemilihan Ketua Umum PBNU, mensyaratkan dukungan minimal 99 suara untuk masuk pada putaran kedua.

Namun, Wakil Ketua PBNU periode 2010-2015 ini memilih mengundurkan diri dari arena pencalonan. Sehingga, Kiai Said terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PBNU Periode 2015-2020.

Kiai As'ad dan Kiai Said punya hubungan yang sangat baik. Pada Muktamar NU ke-32 pada 2010 di Makassar, Kiai As'ad adalah tim dari Kiai Said.

Secara demonstratif linkage dua tokoh ini merupakan satu alumni Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Dua nama ini bertengger sebagai Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum PBNU.

Dua santri terbaik KH Ali Maksum, Rais Aam PBNU Periode 1980-1984 ini, tampak bertarung terbuka pada Muktamar NU Jombang. Namun setelah pemilihan tahap pertama suaranya tertinggal jauh, Kiai As'ad menyerahkan suaranya pada Kiai Said.

"Saya kalah pinter, kalah pengalaman dari Kiai Said. Dengan ini saya serahkan semuanya kepada Kiai Said, sekali lagi saya terima kasih kehadiran saya disini tetap sebagai orang NU," tegas keponakan KH MA Sahal Mahfudz ini.

Keputusan Kiai As'ad diapresiasi oleh Kiai Said dengan ucapan terima kasih. "Yang telah rela menerima hasil dari muktamar ini dengan menyerahkan ke kita semua, cukup satu putaran, padahal beliau (KH As'ad) berhak 2 putaran. Tapi dengan kebesaran jiwanya, beliau rela," pungkas sahabat pondok Kiai As'ad.

Dua pernyataan di atas secara semiotika ala Charles Morris, menandakan kedalaman hubungan Kiai As'ad dan Kiai Said semenjak nyantri dan kuliah di Yogyakarta. Pasti, sudah ada kesepakatan di atas kesepakatan.

Bahwa, siapa pun yang memperoleh suara terbanyak, dan suaranya sudah mencapai 50 persen lebih dari 412 suara muktamirin, maka suaranya yang kalah dilimpahkan pada yang menang. Ini untuk menghindari pemilihan putaran kedua.

Oleh karena itu, kesediaan Kiai As'ad sebagai calon alternatif Ketua Umum PBNU, sekadar untuk meramaikan bursa calon. Para muktamirin yang punya hak suara memiliki "pelarian" atas dua kandidat "pilihan" yang menguat di hadapan publik. Ia tak ubahnya dengan KH Marzuki Mustamar sebagai calon alternatif pula.

Memang, Kiai As'ad tampil sebagai calon alternatif tidaklah datang ujug-ujug. Ada latarbelakang wacana yang digulirkan oleh KH  Malik Madani Yogyakarta, KH Asep Saifuddin Chalim Mojokerto, PWNU Aceh Teungku Faisal Ali, PCNU Berru Sulawesi Selatan Irham Jalil, untuk mengusungnya.

Para pendukung Kiai As'ad rerata berpandangan bahwa sosok Kiai kelahiran Kudus, 19 Desember 1949 ini merupakan seorang yang teguh dalam pendirian, tak bisa dibeli dan berjuang untuk kemandirian NU.

Keberadaan Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) dinilai sebagai prestasinya.

Program kaderisasi penggerak NU tersebut telah diikuti ribuan orang. Program ini bertujuan khusus untuk memberikan wawasan pengetahuan yang mendalam tentang Ahlusunnah Waljama’ah (Aswaja), keorganisasian, wawasan global, spiritual.

Selain itu, peserta pendidikan kader penggerak NU diberi penguatan tentang maraknya bahaya radikalisme, fundamentalisme dan aliran-aliran lainnya yang dapat membahayakan keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Di balik berbagai program PKPNU di atas, Kiai As'ad bukan semata berhasil mengorkestrasi wacana dan gerakan NU, tetapi membangun militansi yang kuat dalam melawan radikalisme dan fundamentalisme yang mengancam Negara Pancasila. Sebuah ideologi negara yang menjadi jalan kemaslahatan bangsa.

Dari berbagai karya tulisnya, Kiai As'ad berpandangan bahwa pasca reformasi, terjadi pergolakan di jantung tradisi NU satu pihak. Dan, pertarungan ideologi dunia di pihak lain.

Indonesia dihadapankan pada pilihan penguatan ideologi Pancasila berbasis deklarasi hubungan Islam dan Pancasila ala NU.

Narasi ini dengan apik disajikan oleh Kiai As'ad di dalam berbagai bukunya: "Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Bangsa", "Pergolakan di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati", "Ideologi Gerakan Pasca Reformasi" dan lain sebagainya.

Lepas dari semua itu, Kiai As'ad sepertinya lebih cocok sebagai seorang ideolog daripada masinis dari loko NU. Sehingga, kesediaannya maju sebagai Ketua Umum PBNU bisa dimaknai untuk mundur kembali.

Nanti ujung-ujungnya, ia meratakan jalan bagi Kiai Said untuk memimpin NU periode 2021-2026 mendatang.

Benarkah demikian? Biarlah sejarah yang menjawabnya.

*Penulis adalah mantan Wakil Sekretaris PCNU Jember dan Pendiri Eksan Institute