Mengingatkan 22 Desember dan Nasib Perempuan Indonesia

Aktivis HMPI DKI Jakarta Muhammad Irvan Mahmud Asia/Ist
Aktivis HMPI DKI Jakarta Muhammad Irvan Mahmud Asia/Ist

MENURUT Yudi Latif (2021) tanggal 22 Desember bukanlah Hari Ibu dalam pengertian "mother’s day". Tanggal 22 Desember adalah Hari Gerakan Perempuan Indonesia.

Setelah Kongres Pemuda--melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, berlangsung pula Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22-25 Desember 1928 dan dihadiri oleh perwakilan berbagai organisasi perempuan saat itu. 

Jadi, 22 Desember bukanlah Hari Ibu dalam pengertian "mother’s day" sebagai simbol penghormatan kasih ibu (motherhood), melainkan hari Gerakan Perempuan Kebangsaan. 

Kalaupun mau disebut sebagai Hari Ibu, pengertian “Ibu” di sini berkaitan dengan kecintaan terhadap “Ibu Pertiwi”, bukan sebagai “Ibu Kandung”. 

Menurut Yudi  Indonesia bisa menetapkan “mother’s day” tersendiri bila dirasa perlu. Atau berhubung banyak orang terlanjur salah kaprah menjadikan 22 Desember sebagai “mother’s day” boleh saja kalau mau kita gabung antara hari Gerakan Perempuan dengan Hari Ibu. 

Dengan catatan, semangat memuliakan “Ibu Kandung” dan semangat mengobarkan peran perempuan dalam memuliakan “Ibu Pertiwi” harus dihela dalam satu tarikan nafas. 

Terlepas dari itu, ada hal yang lebih esensial untuk dibahas, misalnya bagaimana nasib perempuan Indonesia setelah kemerdekaan terutama dalam aspek kesetaraan--keadilan gender. 

Setelah Indonesia merdeka pada masa Soekarno sebutan ibu adalah panggilan pada semua perempuan dewasa. Dengan demikian arti ibu bukan hanya bermakna sebagai ibu rumah tangga.

Saat Orde Baru, terjadi politisasi ibu untuk melanggengkan kekuasaan. Julia Suryakusuma dalam bukunya “State Ibuism” memperlihatkan bagaimana cara rezim Orba melakukan hegemoni dengan menciptakan sekelompok perantara dalam bentuk Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk menguasai rakyat secara otoriter-paternalistik.

Setelah reformasi, memang ada kemajuan namun masih ada kesenjangan yang lebar. Kekerasan terhadap perempuan terjadi pada satu di antara tiga orang; kematian ibu saat melahirkan masih tinggi 305 per 1000 kelahiran hidup, hampir tiga kali lipat dari penurunan yang ditargetkan pemerintah; perceraian karena KDRT; dan kesenjangan dalam mengakses, mengelola, dan memperoleh manfaat pembangunan. 

Hal ini terlihat bagaimana perempuan pelaku usaha mikro dan kecil seringkali kesulitan menjangkau program-program peningkatan ekonomi, baik yang bersumber dari pemerintah maupun swasta.

Khusus masih tingginya kekerasan pada perempuan adalah akibat ketimpangan gender. Modus patriarki sudah berwujud pada agenda domestifikasi kaum perempuan.

Selama ini, perayaan Hari Ibu hanya dimaknai sebagai peran perempuan pada persoalan biologis. Kalaupun sudah ada pergeseran masih sebatas wacana. 

Padahal sejarah mencatat beberapa langkah maju gerakan perempuan bermuara pada humanitas tanpa ada tendensi biologis. Momentum peringatan “Hari Gerakan Perempuan” harus memberi jawaban atas ketimpangan tersebut.

Sebagai Pengingat

Faktor pendorong penyelenggaraan Kongres Perempuan pertama adalah kungkungan budaya patriarki yang tumbuh subur dalam kultur feodal.

Lebih jauh, isu yang dibahas dalam kongres tersebut adalah pendidikan bagi perempuan, nasib anak yatim piatu dan janda, perkawinan paksa dan perkawinan anak dibawah umur, sampai perceraian. Kongres juga membahas bagaimana peran perempuan tidak hanya sebagai istri. 

Bagaimanapun dinamikanya, kongres tersebut tetap menjadi tonggak perempuan berjuang secara kolektif menghadapi situasi politik, eksploitasi kolonial, jeratan tradisi  feodal dan patriarki. 

Perempuan bergerak menuntut hak-haknya, berjuang untuk kesetaraan dan nasionalisme. Termasuk bagaimana melakukan transformasi sosial.

Susan Blackburn, dalam buku "Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang (2007)" memperlihatkan bagaimana progresifnya agenda-agenda yang diajukan dalam Kongres Perempuan I. Misalnya pidato R. A. Soedirman dari organisasi Poetri Boedi Sedjati Surabaya tentang “Pergerakan Perempuan, Perkawinan dan Perceraian”, bahwa sudah saatnya merebut hak-hak perempuan sebagai tujuan pokok gerakan. 

Dengan suara lantang, ia menjelaskan tentang bagaimana perempuan dapat dikawinkan oleh orang tuanya dan kemudian harus tunduk kepada suaminya, dan dapat dicampakkan kapan saja oleh suaminya. 

Hal yang sama, juga dilakukan oleh Ny. Moegaroemah dengan mengkritik praktik perkawinan anak dan mendesak para perempuan bersatu melawan. 

Bahkan pidato R.A. Soekonto mengatakan bahwa zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di dapur saja.

Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki, sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum.

Soal perempuan adalah satu soal mayarakat dan negara. Itulah yang dikatakan Soekarno. Persoalan perempuan menjadi masalah yang tidak berkesudahan. 

Untuk itu, membutuhkan peran-peran perempuan yang tercerahkan dan memiliki komitmen perjuangan untuk mengatasi atau setidaknya mencegahnya.

Dalam ihwal kekerasan perempuan, baik yang hidup dalam masyarakat yang memegang adat patrilineal ataupun matrilineal, secara umum pun tidak pernah lepas dari persoalan diskriminasi maupun kekerasan.

Baik kekerasan fisik, ekonomi, psikis dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang disebabkan oleh konstruksi sosial yang ada di masyarakat. 

Hal ini menguatkan apa yang dikatakan Mansour Fakih dalam karyanya "Analisis Gender dan Trasformasi Sosial (2013)" bahwa perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. 

Pada dasarnya hal-hal yang menggambarkan bahwa perempuan dikodratkan sebagai sosok yang lemah dan berada pada posisi kedua setelah laki-laki, hanyalah merupakan hasil konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat, di mana masyarakat mengalami kesalahpahaman terhadap konsep gender.

Fatalnya ini masih bertahan karena sejak awal telah dibentuk melalui sosialisasi yang berjalan sangat lama dan bertemu dengan kondisi sosio kultural masyarakat sehingga makin kuat. 

Kondisi ini jelas merugikan perempuan; semakin termarjinalkan. Akibatnya diskriminasi, dominasi, subordinasi, dan kekerasan terus berlangsung tanpa ada ujungnya.

Menurut Soekarno dalam buku "Sarinah (2019:10)" baik yang menelaah persoalan perempuan dengan pendekatan fiqih Islam maupun yang hanya menggunakan rasionalisme saja, persoalan ini masih perlu dipecahkan. 

Dan dipecahkan di sini tidak hanya menjadi tanggungjawab perempuan, namun juga tanggung jawab laki-laki, karena persoalan perempuan adalah suatu soal masyarakat yang sangat penting. 

Nabi Muhammad bersabda bahwa “Perempuan itu tiang negeri; manakala baik perempuan, baiklah negeri. Manakala rusak perempuan, rusaklah negeri”.

Penguatan Payung Hukum 

Sudah saatnya mengakhiri perayaan yang melanggengkan domestifikasi perempuan seraya memujinya, namun pada saat yang sama juga mengurungnya. 

Benar bahwa ada kemajuan dalam pengarusutamaan gender namun masih sangat rendah dan masalah diskiriminasi pada perempuan masih sangat tinggi. Oleh karena itu, penguatan hukum untuk perlindungan perempuan menjadi keharusan.

Pertama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersama Komisi VIII DPR RI seharusnya meningkatkan status Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional menjadi UU. 

Inpres ini bertujuan perempuan dan laki-laki memperoleh akses terhadap, berpartisipasi dalam, mempunyai kontrol atas dan memperoleh manfaat yang sama dalam pembangunan nasional. 

Pengarusutamaan gender menjadi penting karena strategi yang dibangun adalah untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.

Kedua, penegakan hukum (law enforcement) dalam kaitan perlindungan perempuan. Indonesia sudah punya UU Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004, yang  mengharuskan tersedianya pelayanan bagi para korban dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan non-diskriminatif.

Ketiga, KPPPA dan Kemendagri harus mengembangkan standar penjaringan-evaluasi peraturan daerah  yang diskriminatif gender dan sosial. Hal ini bisa menjadi model penghapusan dan monitoring peraturan yang anti gender. 

Keempat, Bappenas, Kemendesa, Kemendagri, dan KPPPA harus sering berkoordinasi untuk memastikan partisipasi penuh perempuan dalam forum Musrembang. 

Kelima, segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Terlepas dari pro kontra di publik, keberadaan UU ini akan berkontirbusi dalam upaya mengurangi kekerasan seksual pada kaum hawa.

Penulis adalah aktivis HMPI DKI Jakarta