Program Jokowi dan Kebangkrutan Negara

Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Net
Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Net

PROGRAM pemerintah saat ini akan terus dilanjutkan oleh beberapa pasangan Capres-Cawapres 2024. Padahal, jika kita dalami secara rasional ekonomi akan membuat negara ini bangkrut. Dengan kata lain, melanjutkan program Joko Widodo (Jokowi) berarti mendorong negara ini ke jurang kebangkrutan karena terjebak utang. 

Pemerintah Jokowi selama hampir dua periode selama ini sebetulnya secara kebijakan fiskal ditopang oleh kekuatan utang. Program-program populisnya seperti pembangunan infrastruktur fisik dan bantuan sosial selama ini berjalan karena utang.

Menurut Laporan Statistik Utang Sektor Publik (SUSPI) per akhir September 2023, utang negara mencapai sebesar Rp15.295,86 triliun. Terdiri dari utang Pemerintah Pusat (Rp7.920 Triliun), Pemerintah Daerah (Rp75 Triliun), Korporasi publik bukan lembaga keuangan (Rp996 triliun), dan Korporasi publik lembaga keuangan (Rp6.305 Triliun). Utang ini meningkat pesat dan dikelola secara ugal-ugalan oleh pemerintahan Jokowi.

Posisi utang kita sudah cukup parah karena kemampuan membayar utang yang rendah dan memberatkan fiskal. Posisi utang Indonesia saat ini, menurut ekonom Awalil Rizky (2022), ibarat gali lubang buat jurang karena pinjaman pokok dan bunganya harus dibayar dengan utang baru.

Kondisi tersebut tentu tidak hanya menjebak generasi mendatang dengan ruang fiskal yang semakin sempit untuk mengalokasikan dana pembangunan, melainkan juga kita akan benar-benar masuk dalam jebakan besar negara-negara global utara. Kita akan disandera dan menjadi bulan-bulanan mereka serta bangsa bayang-bayang untuk selamanya.

Soal pengelolaan utang, pemerintah sering kali mengeluarkan narasi yang menyesatkan masyarakat. Masyarakat disesatkan dengan membandingkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, rasio utang Indonesia terhadap PDB kerap diperbandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat; utang kita dianggap masih lebih kecil dan lebih baik.

Padahal, posisi utang justru seharusnya dihitung dengan kemampuan bayar dan tentu disertai daya dukung indikator ekonomi makro lainnya, seperti rasio terhadap ekspor, rasio utang jangka pendek, rasio bagian utang luar negeri, termasuk rasio utang yang dikonsesikan.

Jika dibandingkan dengan Jepang, misalnya, kualitas dan kinerja kita sudah pasti sangat jauh di bawah mereka. Kemampuan bayar dan indikator daya dukung stabilitas ekonomi makro Jepang jauh lebih kuat daripada Indonesia. Sementara itu, juga tidak sepadan jika Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat yang “mencetak” dolar dan mampu menguasai peredaran mata uang se-dunia.

Negara-negara Global Utara sebagai pemberi utang memiliki maksud kuat untuk tetap dapat mengendalikan negara-negara Global Selatan termasuk Indonesia. Mereka segera menyuntikkan “bantuan utang” di saat negara pengutang dilanda krisis ekonomi atau memberi utang haram dengan komitmen atau keharusan membangun infrastruktur yang sebenarnya adalah faktor pendukung (endorsement) bagi kepentingan investasi mereka, terutama di sektor ekstraktif seperti tambang, perkebunan monokultur, dan sektor tersier keuangan.

Jika ekonomi yang ditopang oleh utang mengalami gagal bayar, seluruh pengeluaran pemerintah yang semula diharapkan menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi habis difokuskan untuk membayar utang. Pengeluaran rutin pemerintah dan pembangunan akan mandek. Akibatnya, ekonomi masyarakat ikut stagnan. Pengangguran meningkat, daya beli masyarakat turun dan kemiskinan akan meningkat. Akhirnya, bencana kelaparan akan menanti di depan mata.

Sektor riil ekonomi masyarakat akan turut melambat, pemasukan dari pajak untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan juga menurun, bahkan cadangan devisa akan terkuras habis dan kemungkinan besar hanya difokuskan untuk pembiayaan bagi pemenuhan importasi pangan saja.

Jika tak dapat dilakukan penjadwalan utang kepada pemberi utang maka negara bersangkutan akan berantakan. Apalagi, jika utang tersebut lebih banyak ditopang oleh obligasi negara yang sudah jatuh tempo yang tentu akan sulit sekali untuk dinegosiasikan.

Negara-negara maju itu tahu persis bahwa utang sekecil apapun adalah instrumen atau pintu masuk ke satu negara untuk mencengkeram kepentingan ekonomi dan politik negara lain. Mereka akan datang membantu dengan prinsip tidak ada makan siang gratis.

Kita dapat belajar dari Srilanka. Negara ini bangkrut akhir-akhir ini karena jebakan utang terutama dari China dan Jepang. Pembangunan infrastruktur fisik dan juga belanja sosial yang ugal ugalan untuk menangguk popularitas politik pemerintah telah membuat negara ini bangkrut.

Ekonomi Sri Lanka porak-poranda bukan karena tidak ada pembangunan. Tapi justru karena pembangunan yang ditopang utang secara ugal-ugalan. Negeri dengan tingkat pendapatan per kapita kurang lebih sama dengan Indonesia itu remuk. Kebanyakan rakyat hanya bisa makan satu kali sehari.

Kemarahan merebak di berbagai wilayah. Rakyat merangsek masuk istana Presiden. Sementara itu, negara pemberi utang, terutama China dan Jepang, tidak bersedia menjadwalkan utang Sri Lanka. Beban fiskal berupa utang yang melampaui kekuatan ekonominya justru membuat jatuh dalam keterpurukan.

Bagi negara negara global selatan seperti Indonesia, ekonomi utang itu ibarat buaian yang sengaja digelontorkan oleh negara-negara Global Utara untuk dua tujuan utama: menguasai ekonomi dan politik kita. Jadi meneruskan program Jokowi adalah meneruskan negara ke pintu kebangkrutan negara.

*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses), Penulis Buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme".