Tjutjuk PSI: Jangan Ada Cagar Budaya yang Terlantar

Gedung Sinagog Surabaya, saat sebelum dirobohkan/net
Gedung Sinagog Surabaya, saat sebelum dirobohkan/net

Saat ini, DPRD Kota Surabaya bersama dengan Pemkot Surabaya tengah membahas Rancangan Peraturan Daerah atau Raperda tentang Pengelolaan Cagar Budaya.


Diskusi ini merupakan langkah untuk menyempurnakan Perda Nomor 5 tahun 2005 tentang Pelestarian bangunan dan atau Lingkungan Cagar Budaya yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Tjutjuk Supariono selaku Ketua Fraksi PSI Surabaya menyoroti adanya perbedaan jumlah Bangunan Cagar Budaya (BCB) antara data yang dihimpun oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olah Raga serta Pariwisata (DKKORP) dengan data dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). 

Perbedaan data ini dapat menimbulkan potensi adanya beberapa cagar budaya yang luput dari pemeliharaan.

“Berdasarkan hasil analisis fraksi kami, pada LKPJ 2021 disebutkan bahwa jumlah cagar budaya yang dimonitoring dan dievaluasi sesuai dengan kaidah pelestarian adalah sebanyak 250 bangunan. Sementara, data yang kami dapat saat rapat dengan TACB, jumlah bangunan cagar budaya yang sesuai SK Walikota adalah 266 bangunan. Jika jumlah BCB di Surabaya adalah benar 266 bangunan, lantas bagaimana nasib 16 bangunan lainnya? Tentu hal ini dapat menimbulkan potensi adanya BCB yang terlantar” terang Sekretaris Pansus Perda Cagar Budaya tersebut.

Menurutnya, masih banyak cagar budaya di Kota Surabaya yang terancam lenyap, bahkan sudah ada beberapa yang hilang. Maka dari itu, sinkronisasi data terkait jumlah BCB antara DKKORP dan TACB perlu dilakukan untuk menghindari adanya cagar budaya lain yang hilang.

“Saya menghimbau agar sinkronisasi data bangunan cagar budaya antara DKKORP dan TACB harus segera dilakukan, agar tidak terjadi lagi adanya cagar budaya yang terbengkalai. Apabila data ini sudah sinkron, kemudian target jumlah cagar budaya yang dilindungi untuk tahun 2022 ini dapat digeser dan disesuaikan dengan update data terbaru” tegas Tjutjuk.

“Selain itu berkaitan dengan raperda tentang pengelolaan cagar budaya, saya mengusulkan agar di dalamnya dapat mengatur terkait dengan badan pengelola cagar budaya. Pemkot kemudian dapat membentuk badan ini, yang diisi oleh seluruh lapisan masyarakat yang tidak memiliki kepentingan selain komitmen untuk pelestarian cagar budaya. Badan pengelola ini perlu bersifat terbuka untuk dipantau seluruh masyarakat secara umum. Sehingga, baik pemerintah maupun masyarakat dapat bersama-sama mengelola, mengawasi, dan mengembangkan cagar budaya yang merupakan kekayaan warisan budaya kita” tutup Tjutjuk.