Hari Anak Nasional, Taman Zakat Ajak Para Orang Tua Melek Digital

Talk show virtual Taman Zakat/
Talk show virtual Taman Zakat/

Hari Anak Nasional 23 Juli dimanfaatkan oleh Lembaga Amil Zakat Taman Zakat untuk mengingatkan para orang tua agar tidak gagap teknologi di era perkembangan teknologi. 


Karenanya, Taman Zakat menggelar kegiatan talk show secara daring dengan tema ‘Parenting 4.0, Menjadi Orang Tua Bijak di Era Digital yang menghadirkan psikolog Anglis Ayu Anjarsari, Sabtu 23 Juli 2022. 

General Manajer Taman Zakat Ziyad menyampaikan bahwa kegiatan ini digelar karena banyaknya pemberitaan miring yang disebabkan karena kurangpahamnya orang tua tentang perkembangan teknologi. 

“Padahal anak-anak sudah sangat akrab dengan gawai mereka. Orang tua tak akan bisa mengawasi anaknya yang sedang asyik bermain gadget,” katanya, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Minggu, (24/7)

Ziyad menjelaskan, salah satu spirit Taman zakat ialah mendorong lahir nya generasi yg unggul seperti dalam salah satu visinya.

“Spirit zakat mengentaskan kemiskinan, ini bisa diupayakan melalui pendidikan. Ini terkait erat dengan upaya pengentasan kemiskinan,” katanya.

Dengan mengedukasi orang tua di era digital saat ini, menurutnya, tantangannya luar biasa, karena semua bisa diakses, tinggal bagaimana mengantisipasinya.

“Orang tua saat ini tidak bisa boleh lagi menafikkan perkembangan teknologi di era digital,” katanya. 

Hal itu dibenarkan oleh Anglis Ayu Anjarsari, Founder  Pusat Layanan Psikologi ALESIA Surabaya, psikolog yang menjadi nara sumber kegiatan itu.

Menurutnya, di masa 4.0, orang tua tidak bisa mengkondisikan anaknya agar bisa steril dari gadget.Orang tua seharusnya tidak menghindari namun mengatur langkah bijak yang proporsional untuk mengawasi anak dalam penggunaan gadget.

Ia menjelaskan, ada empat hal yang harus dilakukan orang dalam mengawasi anaknya di era digital. Pertama, orang tua tidak boleh gaptek. 

“Mau tidak mau, orang tua harus belajar digital. Anak kita hidup di zaman ini. Kita harus mempelajari berbagai platform. Agar bisa memahami bagaimana caranya bisa mentracking apa yang sudah dilakukan anak dalam gadgetnya,” pesannya. 

Kedua, membuat kesepakatan Pengasuhan. Misalnya kesepakatan durasi, varian akses apa saja yang tidak boleh ditonton dan tidak. 

“Jika bertemu hal yang tidak seharusnya ditonton, kita harus ajarkan bagaimana mengcounter, misalnya mengklik tanda silang di pojok,” katanya. 

Orang tua juga seharusnya banyak tahu konten mana yang mengandung pornografi, kekerasan atau kata-kata kasar agar bisa lebih waspada apabila anak membuka konten itu. 

Mendampingi anak bersama gadgetnya, menurutnya harus dengan keterbukaan dan dialog dua arah. Ia juga menyarankan, sebaiknya status gawai yang diberikan ke anak adalah pinjam orang tuanya, bukan miliknya sendiri. 

“Beda rasanya, jika miliknya sendiri dan milik orang tuanya. Agar anak paham jika orang tuanya selalu berhak membuka dan mengambil gadget yang dipakainya.,” kataAnglis.

Ketiga, menghadirkan figur asuh yang kompeten. “Orang tua dituntut terus belajar sehingga kompeten mendampingi tumbuhkembang anak,” katanya. 

Keempat monitoring secara kontinyu. Mengasuh anak, menurutnya punya waktu yang panjang, bahkan sampai orang tua itu meninggal. 

Menurutnya, monitoring berarti orang tua melakukan pengamatan, tidak sekadar melihat apa yang dilakukan anak. 

“Jika hanya melihat, orang tua akan cukup tenang ketika melihat anaknya diam, tidak menganggu kakaknya misalnya,” katanya. 

Pengamatan, menurutnya jauh lebih dari sekadar melihat. Orang tua harus tahu sebab diamnya sang anak. Jika sebab diamnya karena asyik menonton Youtube, orang tua harus tahu dan memastikan apa yang ditonton aman untuknya. 

“Pengamat ini bahkan sampai membuat orang tua memahami kebiasaan yang dilakukan ananda kesehariannya,” katanya. 

Pengamatan kepada anak ini, ia menyarankan harus terus dilakukan dengan terus melakukan komunikasi intensif kepada anak.