Setahun Taliban Berkuasa, Hak Perempuan Afghanistan Makin Mengkhawatirkan

Pelajar perempuan di Afghanistan/Net
Pelajar perempuan di Afghanistan/Net

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mencatat terjadinya kemunduran yang signifikan dan mengkhawatirkan pada perlindungan hak-hak perempuan Afghanistan sejak Taliban berkuasa setahun yang lalu.


Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Martin Griffiths pada Selasa (23/8) menyerukan kepada Taliban untuk membuka kembali sekolah anak perempuan dan menyatakan kondisi mereka yang semakin mengalami kemunduran.  

"Sudah lebih dari 300 hari sekolah khusus perempuan di tutup. Ini menandai kondisi perempuan dan anak perempuan menghadapi kemunduran yang mengkhawatirkan atas hak-hak mereka," ujarnya, seperti dimuat NDTV.

Direktur Amnesty International untuk Asia Selatan, Yamini Mishra mengatakan hak-hak perempuan dan anak perempuan telah dilucuti oleh Taliban, sehingga mereka harus menghadapi masa depan yang suram.  

"Penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan, eksekusi tanpa pengadilan telah lama dilakukan Taliban. Perempuan dan anak perempuan telah dilucuti hak-haknya. Mereka kehilangan pendidikan dan disingkirkan dari kehidupan publik," jelas Mishra.

Seorang aktivis hak-hak perempuan, Noor Uzbek mengutuk pejabat Taliban yang telah menutup pintu sekolah selama satu tahun. Sementara itu, pihak berwenang serta organisasi internasional telah memperburuk situasi dengan tidak mengambil upaya nyata untuk keluar dari situasi ini.

Rezim Taliban di Afghanistan telah menuai kritik keras di seluruh dunia atas dekrit yang melarang anak perempuan bersekolah di atas kelas enam. Kemungkinan dibuka kembalinya sekolah kata otoritas Kabul akan bergantung pada perintah pemimpin Taliban.  

Keputusan Taliban untuk mencegah anak perempuan kembali ke sekolah menengah telah membuat satu generasi anak perempuan tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun secara penuh yang seharusnya menjadi hak dasar mereka yang wajib dipenuhi.

Pada saat yang sama, akses terhadap keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender telah dibatasi oleh pembubaran jalur pelaporan khusus dan mekanisme keadilan yang bias gender.

Taliban berulang kali berkomitmen untuk menghormati HAM dan ruang sipil bagi perempuan, namun nyatanya hal itu tidak terjadi karena nasib perempuan sangat menyedihkan di negara itu.

Anak perempuan dilarang pergi ke sekolah setelah kelas enam, aturan berpakaian wanita dikeluarkan, ada pembatasan gerakan, pendidikan,  dan kebebasan berekspresi perempuan yang jika dilanggar akan mengancam kelangsungan hidup mereka.