Terus Merugi, Gapasdap Ketapang–Gilimanuk Minta Penyesuaian Tarif

(ki-ka) Ketua DPC Gapasdap Banyuwangi, I Putu Widiana dan Ketua Dewan Pembina DPP Gapasdap, Bambang Haryo Soekartono di Pelabuhan Ketapang/RMOLJatim
(ki-ka) Ketua DPC Gapasdap Banyuwangi, I Putu Widiana dan Ketua Dewan Pembina DPP Gapasdap, Bambang Haryo Soekartono di Pelabuhan Ketapang/RMOLJatim

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berimbas terhadap sektor penyeberangan, termasuk para pengusaha kapal ferry di Ketapang – Gilimanuk. 


Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) meminta pemerintah mengabulkan kenaikan tarif sebesar 35,4 persen agar tidak terus merugi.

Hal itu dikatakan Ketua DPC Gapasdap Banyuwangi, I Putu Widiana. Kenaikan tarif sebesar 35,4 persen tersebut sebenarnya, kata dia, telah dibahas sebelumnya bersama kementerian perhubungan. Bahkan, sebelum ada kenaikan harga BBM subsidi, pertalite dan solar 3 September 2022.

"Makanya harapan kita segeralah untuk penyesuaian tarif ini segera diturunkan SK-nya biar kita cepet ada penyesuaian, supaya tidak merugi terus. Kalau merugi terus itu bisa menyebabkan gulung tikar dan segala macam-lah,” kata Widiana dikutip Kantor Berita RMOLJatim, Jumat (16/9).

Sejak harga BBM naik, para pengusaha kapal ferry mengalami kesulitan. Terutama biaya operasional terbesar untuk kapal penyeberangan adalah bahan bakar yang semakin melambung tinggi, sekitar 9 sampai 13 persen kenaikannya. Hal itu bergantung terhadap tinggi dan rendahnya lintasan dan kapalnya.

“Kalau antara 9 – 13 persen ditambah 35,4 persen berarti pemerintah ini masih mempunya tanggungan untuk menaikkan tarif sekitar 50 persen, itu kenaikan sebenarnya. Cuma kita masih nunggu sejak adanya kenaikan BBM dari tanggal 3, tapi itu belum juga dinaikkan,” paparnya.

Kondisi itu, berbeda dengan pengguna jasa penyeberangan atau konsumen seperti truk dan bus yang lebih dulu menaikkan tarif sebelu ada ketentuan dari pemerintah. Kisarannya mulai 40 sampai 100 persen. Contohnya dari asosiasi truk, Aptrindo, yang sudah menaikkan lebih dulu antara 25 sampai 45 persen.

“Mereka sudah menaikkan, hanya kita yang nggak bisa menaikkan. Karena semua tarif dan tiket yang menjual adalah pemerintah. Kita nggak bisa apa-apa,” cetusnya.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, lanjutnya, selama ini Gapasdap dengan sangat terpaksa sudah mengurangi gaji para karyawan. Maka, Gapasdap berharap agar paling tidak tarif Ketapang – Gilimanuk naik sebesar 35,4 persen agar beban masa lalu terpenuhi.

Sementara itu, Ketua Dewan Pembina DPP Gapasdap, Bambang Haryo Soekartono menilai, rencana kenaikan tarif angkutan rata-rata seluruh Indonesia berkisar antara 11,79 persen itu belum seimbang dengan beban dan tanggung jawab para pengusaha kapal.

“Jadi 11,79 persen itu adalah rata-rata tarif di seluruh Indonesia, yang sudah ditanda tangani oleh menteri, itu aja sudah terlambat. Harusnya kalau pemerintah terlambat menentukan tarif, sedangkan bahan bakar adalah komponen terbesar daripada biaya operasional kapal Ferry ini, maka pemerintah seperti yang lalu-lalu memberikan bantuan langsung tunai kepada pengusaha-pengusaha ini agar bisa hidup,” papar Bambang.

Dalam kesempatan itu, bambang juga mengutarakan opsi lain bila pemerintah tidak mampu memberikan BLT kepada pengusaha kapal penyebrangan agar tidak melulu merugi, yakni pemerintah menghilangkan biaya PNBP (pendapatan negara bukan pajak).

“Kami berharap tarif ini bisa dinaikkan agar keselamatan pengguna jasa penyeberangan juga terjamin. Karena standarisasi pelayanan minimum (SPM) kita ini berat banget. Kalau ini terealisasi maka bila ada kekurangan, kekurangannya harus di kompensasikan dengan BLT. Tapi kalau tidak ada BLT kekurangannya ini setelah ada kenaikan tarif ini, ya, tugas pemerintah untuk menghilangkan semua biaya-biaya seperti PNBP. Kenapa di angkutan udara bisa dihilangkan PNBP-nya. Padahal angkutan udara itu yang naik masyarakat atas, kenapa kita enggak,” ungkapnya.