No Viral, No Justice

Peneliti JPIPNetwork, Roadiansyah/Ist
Peneliti JPIPNetwork, Roadiansyah/Ist

NAMANYA Kate Victoria Lim. Putri pengacara sohor Alvin Lim. Sudah dua hari ini wajah Kate menghiasi video yang lagi viral dari satu Whatsapp Group (WAG) ke WAG lain. Dengan nada menggugat, Kate menyoal kenapa papanya ditangkap. Suara tinggi Kate menghiasi video berdurasi satu menit limapuluh detik. Dan kalimat ''No Viral, No Justice'' meluncur tegas dari Kate pada detik ke 65-67. Tak diviral, tak ada keadilan. 

Fenomena 'No Viral, No Justice' sebenarnya sudah bergulir sejak setahun silam. Bertengger cukup lama di media-media sosial. Seruan warganet meminta keadilan melalui jagat maya. Ketika praktek keadilan di dunia nyata terasa masih menyesakkan dada karena kejanggalan dipertontonkan begitu nyata. 

Setiap peristiwa yang mengusik rasa keadilan akan selalu menarik perhatian publik. Apalagi jika ada upaya rekayasa atau merusak proses penegakan hukum, rasa keadilan publik ikut terkoyak. Sebut saja aneka peristiwa yang belakangan ini telah menjadi perhatian publik, seperti tragedi Kanjuruhan. Berbagai bukti sudah beredar, beragam fakta sudah tersebar. Tapi, rekonstruksi justru bikin geli.

Ketika peristiwa sudah viral, itu pertanda publik memberi perhatian. Lepas dari beragam respon, yang penting viral dan menjangkau publik secara luas. Ada pro dan kontra dalam viral. Itu biasa, malah bikin tambah viral. Ibarat masakan, apa yang diviralkan butuh penyedap. Pro-kontra itulah penyedapnya.

Apalagi kalau soal keadilan. Ini paling sensitif. Di tengah harga kebutuhan pokok kian mahal, hidup tambah merana, rasa keadilan jadi gampang terpantik. Pantas saja filsuf kulit hitam negeri Abang Sam (AS) Cornell West suatu ketika berujar, jangan pernah lupa kalau keadilan itu mirip cinta yang terlihat di depan umum.

Bagi penyuka rekayasa, tentu tak suka menegakkan keadilan. Hukum hanyalah alat untuk merekayasa. Mencari celah menutup fakta. Coba bayangkan, isi CCTV mendadak raib. Barisan saksi spontan seirama. Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah diolah sebelum diperiksa. Semua itu terjadi dalam satu peristiwa pidana. Bahkan, narasi disebar ke media. Tujuannya, agar rekayasa dipercaya sebagai fakta.

Keadilan Diperdebatkan     

Sudah lama keadilan diperdebatkan. Melalui jejaring media sosial sering kita baca keheranan warganet ketika menyaksikan peristiwa yang menyentuh rasa keadilan. Ketimpangan penanganan, kesalahan prosedur bahkan prosedur hukum untuk menegakkan keadilan pun kini acap dipertanyakan masyarakat. Sampai muncul anggapan, hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.     

Meski sebenarnya keadilan itu sendiri setua usia manusia di muka bumi. Gagasan keadilan menempati panggung utama baik dalam etika, maupun dalam filsafat hukum dan politik. Secara klasik, keadilan dianggap sebagai salah satu dari empat kebajikan utama (dan kadang-kadang keadilan sebagai yang terpenting dari keempatnya).

Keempat kebajikan utama itu biasa dikenal sebagai ''The cardinal virtues'' (kebajikan utama). Kata Inggris kardinal berasal dari kata Latin cardo, yang berarti "engsel". Keempat kebajikan utama itu adalah kehati-hatian (prudence), keadilan (justice), ketabahan (fortitude), dan kesederhanaan (temperance).​ Plato yang pertama kali membahas kebajikan utama di kitab Republik, lalu keempatnya masuk ke dalam sistem filsafat melalui murid Plato, Aristoteles. 

Namun demikian, keadilan di zaman modern, tulis John Rawls dalam bukunya 'A Theory of Justice' (1971), justru merupakan 'kebajikan pertama dari institusi sosial'. Walaupun sejarah definisi keadilan itu sendiri bisa dirujuk sampai ke masa baheula. Yang paling sohor berasal dari masa kekaisaran Romawi Justinian yang melahirkan kodifikasi Hukum Romawi dari abad keenam Masehi. 

Menurut hukum Romawi, keadilan didefinisikan sebagai 'kehendak yang konstan dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang atas haknya'. Definisi ini tentu saja abstrak, tapi menjadi nyata jika kita menyoroti empat debat penting ihwal keadilan hari-hari ini.

Pertama, antara konservatif lawan keadilan ideal. Pendukung konservatif berpandangan  keadilan berkaitan pada penghormatan hak-hak orang di bawah hukum atau aturan moral yang ada, atau secara umum untuk memenuhi harapan masyarakat dari praktik penegakan hukum, konvensi sosial, dan sebagainya. Sebaliknya, pendukung keadilan ideal berasumsi bahwa keadilan memberi kita alasan untuk mengubah undang-undang, praktik, dan konvensi secara radikal, sehingga menciptakan hak serta harapan baru. Perdebatan seru masih berlangsung diantara kedua kubu ini. Meski Rawls kemudian menyodorkan tawaran 'keadilan transisional'. Transisi menuju situasi yang adil. 

Kedua, keadilan korektif versus keadilan distributif. Keadilan korektif menyangkut hubungan bilateral antara pelaku kesalahan dan korbannya. Keadilan ini menuntut agar kesalahan itu dibatalkan. Korban dikembalikan ke posisi semula. Bisa juga mengharuskan pelaku kesalahan tidak mendapat manfaat dari perilakunya yang salah. Sedangkan keadilan distributif bersifat multilateral. Keadilan ini mengasumsikan agen pendistribusi, dan sejumlah orang yang memiliki klaim atas apa yang didistribusikan. Keadilan disini mengharuskan sumber daya yang tersedia untuk dibagi sesuai kriteria yang relevan, seperti kesetaraan, ganjaran, atau kebutuhan.

Ketiga, keadilan prosedural versus keadilan substantif. Kaitan paling nyata untuk ini adalah pada proses penegakan hukum secara prosedural. Saat proses ini berlangsung aparat penegak hukum menganggap kewajiban mereka telah dijalankan sesuai prosedur. Sejalan di atas aturan yang ada. Namun, hasil akhir dari proses penegakan hukum ternyata dirasakan tak memenuhi rasa keadilan korban. Misal, selama prosedur hukum itu dijalankan ternyata ada beberapa bagian yang tak diperhatikan aparat penegak hukum karena berbagai pertimbangan atau alasan. 

Keempat, keadilan komparatif dan keadilan non-komparatif. Secara nyata bisa dilihat dari perbandingan penanganan terhadap satu perkara/kasus. Ketika penanganan sedang berlangsung, seorang korban bisa membandingkan bagaimana penanganan terhadap dirinya dari pihak lain dalam perkara/kasus yang sama. Bisa timbul rasa tidak adil karena diperlakukan tak setara. Sebaliknya, keadilan non-komparatif memperlihatkan situasi berbeda butuh penanganan berbeda walau dalam kasus/perkara yang sama. 

Namun demikian, untuk menjawab kenapa keadilan menjadi penting bagi manusia. Filsuf Mazhab Frankfurt generasi keempat, Rainer Forst menjawab dalam bukunya ''Justice, democracy and the right to justification: Rainer Forst in dialogue'' (2014). Ia secara tegas menggambarkan dua gambar keadilan. Keduanya berkait pada gagasan moral tentang manusia. Gambar pertama, sebagai makhluk, manusia tidak boleh kekurangan apapun yang diperlukan untuk kehidupan yang 'baik' atau yang 'sesuai untuk manusia'. Gambar kedua, manusia sebagai makhluk yang martabatnya tidak tunduk pada dominasi.

Seruan Keadilan

Melawan dominasi tentu tidak mudah. Dibutuhkan cara-cara jitu, metode cermat. Salah-satunya memviralkan peristiwa yang menggugah rasa keadilan masyarakat. Langkah Kate memviralkan seruan keadilan adalah upaya melawan dominasi naratif yang telah melukai rasa keadilannya. Ia menyerukan keadilan untuk ayahnya, bahkan ia berani menanggung resiko sendirian.

Lepas dari perdebatan bagaimana posisi hukum dari sang ayah, langkah ''No Viral, No Justice'' dari Kate punya dasar akademis yang kokoh. Di dunia nyata, penegakan hukum sering terlalu kaku pada aturan yang ada, sebaliknya di jagat medsos, rasa keadilan itu bebas tersalurkan. Walau juga rawan dikriminalisasi. Dan bagi yang suka mengkriminalisasi lewat bukti medsos, ada baiknya mulai merenung kenapa keadilan harus diperjuangkan. Lewat viral sekalipun.

Peneliti JPIPNetwork