- Rasisme Kulit Putih di Balik Trump
- Mengupas Sejarah Budaya Makan Daging
- Serdadu Di Antara Politik dan Media
SEMUA orang yang peduli politik Timur-Tengah tentu tahu kalau Iran saat ini negara paling gigih melawan AS. Iran tak pernah berhenti memaki-maki AS sebagai setan besar dan Israel setan kecil. Kedua setan harus dilawan sampai kapanpun. Tak ada kata jeda apalagi berhenti bagi Iran. Dengan cerdik, Iran membangun proksi perlawanan di zona konflik. Hezbullah dan Hamas.
Hamas jelas bagian dari Poros Perlawanan serta berbagi tujuan strategis dengan Iran. Iran dan sekutu dekatnya, Hizbullah Lebanon, telah melatih dan mendanai sayap militer Hamas – dan organisasi saudaranya, Jihad Islam Palestina – meningkatkan kemampuan intelijen dan operasionalnya. Begitu Israel melancarkan serangan ke Gaza, Iran serta anggota poros lainnya segera datang membantu Hamas.
Iran dan sekutu porosnya memobilisasi jaringan militer, politik, dan komunikasi mereka di seluruh wilayah, meluncurkan serangan pesawat tak berawak dan rudal terhadap Israel dari Lebanon serta pasukan AS di Irak dan Suriah, dan melumpuhkan perdagangan maritim di Laut Merah dari tempat mereka bertengger di Yaman.
Baku serang terjadi. Iran dan konco-konconya menunjukkan kemampuan luar biasa menerjemahkan tujuan strategis bersama untuk memerangi Israel dan Amerika Serikat. Respons poros perlawanan ini terkoordinasi baik serta fleksibel di seluruh kawasan. Israel membalas Hizbullah, dan kemudian untuk unjuk kekuatan Israel menyerang konsulat Iran di Suriah pada April 2024. Iran membalas lewat serangan beruntun terhadap Israel dengan ratusan drone dan rudal, yang pada gilirannya menyebabkan serangan Israel di pangkalan militer di Iran.
Negara-negara Barat terkejut dengan kemampuan poros perlawanan itu. Terlihat jelas, Barat tak menyangka rencana strategi serta aksi Iran. Pemahaman Barat terhadap straegi serta perhitungan taktis Iran sangat tidak memadai dan sangat ketinggalan zaman. Negara-negara Barat masih memandang Iran melalui prisma Revolusi 1979, dan peran sentral yang dimainkan agama dan para mullah di dalamnya. Padahal, fakta hari ini memperlihatkan, Iran bukanlah negara kaleng-kaleng saat menantang hegemoni Barat di Timur Tengah.
Namun, tak bisa dipungkiri, bahwa ideologi revolusioner mendefinisikan karakter Republik Islam selama tahun-tahun pembentukannya. Nilai-nilai serta ingatan revolusi tetap tertanam dalam kenegaraan Iran, tetapi seperti yang dijelaskan buku ini, revolusi tidak lagi menjelaskan tindakan Iran di panggung dunia kini.
Kebijakan Iran selama perang Gaza bisa meyakinkan siapapun bahwa tindakan Iran itu dapat dijelaskan dengan baik melalui ideologi Islam atau niat untuk mengekspor revolusinya yang digembar-gemborkan di masa lalu. Alih-alih mengkonfirmasi citra karikatur teokrasi kuno yang menantang modernitas di Barat, perang di Gaza memperjelas bahwa Iran saat ini memperlihatkan dirinya sebagai inspirasi bagi gerakan perlawanan global menantang Amerika Serikat Inspirasi ini bergaung bak seruan kembali dari cita-cita anti-imperialisme dan antikolonialisme yang akrab di akhir abad kedua puluh, saat AS berusaha untuk mengatur Timur Tengah dan sekitarnya.
Untuk mencapai tujuan itu, Iran bertindak berdasarkan asumsi dan perhitungan yang mencerminkan pengalaman sejarah, imperatif keamanan, dan ambisi kekuatan besar. Republik Islam telah melangkah maju menjadi sebuah prototipe negara-bangsa. Islam tetap menjadi bahasa politik Iran, dan instrumen di tangan kelas politik dan pemimpin militernya untuk mewujudkan kepentingan politik dan ekonomi di dalam negeri serta mendefinisikan kepentingan nasional di luar negeri, tetapi tujuan-tujuan itu sekarang bersifat sekuler.
Selama empat setengah dekade terakhir, papar penulis, Iran telah merangkul visi khusus keamanan nasional yang didefinisikan secara luas oleh dua pemimpin tertinggi Republik Islam yang telah memimpin negara itu sejak revolusi, Ayatollah Ruhollah Khomeini dan Ali Khamenei. Visi itu tentu bertentangan dengan Amerika Serikat, negara yang berusaha menurunkan citra keamanan dan kehebatan Iran agar AS tetap bisa menjaga pengaruhnya.
Dalam praktiknya, visi ini telah menemukan manifestasi dalam evolusi strategi besar yang telah memandu Iran. Ini akan menunjukkan bahwa terlepas dari sifat otoriter Republik Islam, pertimbangan strategis daripada mengelola perbedaan pendapat dan stabilitas domestik, yang menjadi perhatian penguasa Iran.
Vali Nasr gurubesar hubungan internasional dengan reputasi global. Artikel-artikelnya banyak dimuat di berbagai media bergengsi seperti The New York Times dan Wall Street Journal. Ia memang fokus mencermati perkembangan Iran dan hubungan Iran dengan negara-negara Barat.
Akhirulkalam, sebagai bangsa besar dengan sejarah masa lalu menakjubkan, tentu Iran telah mendefinisikan dirinya sebagai negara yang patut diperhitungkan Barat. Walau sempat mengalami masa-masa agak suram usai berlangsung Revolusi 1979, namun pelan-pelan negeri kaum mullah ini bangkit membenahi diri. Embargo dari negara-negara Barat ternyata sama sekali tak mempengaruhi kemajuan Iran.
*Penulis adalah akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Rasisme Kulit Putih di Balik Trump
- Mengupas Sejarah Budaya Makan Daging
- Serdadu Di Antara Politik dan Media