Propaganda Antipolitik Identitas dan Islamphobia

Aksi antiislamophobia/Net
Aksi antiislamophobia/Net

DALAM diskursus tentang hubungan agama dan politik, kita sudah sering mendengar gosip miring terhadap golongan ini atau sekelompok itu yang bisa ditelusuri akar masalahnya dalam pelbagai wacana, dialog, dan diskusi para elit.

Kecurigaan-kecurigaan yang tidak berdasar pada realitas sesungguhnya kini justru menghantui politik Indonesia. Tuduhan politik identitas yang dialamatkan kepada golongan atau kelompok tertentu pada prinsipnya sebatas gosip miring.

Dalam hubungan agama dan politik, atau hubungan agama dan negara, tidak terdapat bahaya-bahaya yang memecah-belah sebuah republik. Meskipun realitas sosial dan politik, masyarakat Indonesia terbagi dalam beberapa suku, etnis, agama dan golongan, tapi pada prinsipnya perbedaan itu telah diterima dengan cukup baik oleh masyarakat.

Dalam konteks politik Identitas, sejauh mengenai hubungan agama dan politik tidak bisa dipisahkan, bagaimanapun upaya untuk memisahkannya. Karena setiap afiliasi politik, baik itu kelompok civil society maupun partai politik memiliki sifat dan Identitas tersendiri yang menjadi penanda: secara kultural, ideologis dan massa.

Politik dan agama dalam pandangan Islam adalah dua ruang yang tersambung. Sejarah Islam juga tidak lepas dari Identitas tersebut, bahkan sejarah umat manusia selalu menjadikan Identitas sebagai bagian visi maupun misi perjuangannya.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, politik identitas (ashabiyah) telah menjadi bagian penting bagi negara-negara (Kesultanan) untuk melawan penjajahan Belanda di masa lalu. Para sultan dan rakyat di berbagai negara di Nusantara ini telah menjadikan Islam sebagai salah satu nilai perjuangan untuk menumbuhkan ashabiyah dan perlawanan.

Ibnu Khaldun misalnya, dalam Kitab Mukaddimah, menjelaskan bahwa Ashabiyah adalah unsur terpenting dalam membangun negara, tanpa ashabiyah, kelompok nomaden yang menaklukkan wilayah-wilayah tertentu tidak dapat membangun negara.

Ashabiyah politik dapat dimaknai sebagai perasaan senasib dan sepenanggunangan. Perasaan yang demikian tidak akan tercipta kalau tidak ada Identitas yang menyatukan. Karena itu, sejauh mengenai politik identitas - kecuali dalam bentuk provokasi politik-adalah sesuatu yang penting bagi bangsa dan negara.

Namun belakangan, politik identitas justru menjadi haram dalam perebutan kekuasaan. Bagi saya ini sangat mengada-ngada dan tidak berdasar.

Sejauh menggunakan politik identitas untuk membangun afiliasi politik, sejalan dengan sistem pemilihan Indonesia. Kita tau bahwa penggunaan dapil dalam setiap pemilihan DPR adalah afiliasi kedaerahan, dimana putera-puteri daerah tersebut dapat mewakili daerahnya di badan perwakilan.

Jadi penggunaan identitas sebagai afiliasi politik untuk mencapai tujuan politik yang sah dan konstitusional alias tidak dilarang.

Menuduh Kelompok Tertentu

Dalam dinamika politik Indonesia dewasa ini, bukan politik identitas yang perlu ditakutkan, tetapi menuduh kelompok tertentu menggunakan politik identitas dengan memojokkan golongan dan agama tertentu. Tuduhan itu sejauh mengenai kajian ilmiah tidak ada dasar teoritis nya.

Misalnya, tuduhan bahwa kalau seseorang (katakanlah ia politisi Islam) mencalonkan diri sebagai Presiden, maka akan terjadi perpecahan, negara akan menjadi negara Islam, kelompok minoritas akan disingkirkan dan lain-lain.

Pola dan tuduhan politik identitas hampir sama pernah terjadi dalam Pilpres AS Tahun 1801. Sebagaimana ditulis oleh Dr. Margarito Kamis (2019), mengutip kata-kata Leland.

Leland menggambarkan saat Jefferson terpilih menjadi presiden, mimbar-mimbar dipenuhi peringatan-peringatan, dan semua media massa mengeluhkan ramalan-ramalan, bahwa Alkitab semuanya akan dibakar, rumah-rumah pertemuan akan dihancurkan; ikatan pernikahan terurai, dan anarki, kekafiran dan ketidaksenonohan akan merajalela di seluruh negeri.

Peringatan itu semuanya tak terbukti bahkan tidak pernah terjadi sentimen dan anarkis yang ditakutkan itu. Tapi tuduhan keji terhadap Jefferson oleh lawan politiknya cukup menciptakan kekhawatiran yang serius. Karena pernah mempelajari Al-Quran, Jefferson pun disebut kafir.

Ketakutan semacam inilah yang sedang ciptakan oleh segelintir orang untuk memojokkan Islam. Fitnah dan tuduhan dari kelompok lain yang menjadi rival politik-lah kelompok Islam yang menciptakan rasa takut, dengan maksud memojokkan politik Islam dan Politisi Islam. Agar dengan fitnah itu politik Islam di benci dan mereka memperoleh keuntungan dari semua itu.

Sementara penguasaan sumber daya alam, ketimpangan ekonomi, penguasaan atas tanah yang dimonopoli oleh segelintir minoritas kaya terhadap mayoritas rakyat tidak pernah menjadi pembicaraan sedikitpun bagi penganjur politik identitas ini.

Karena itu saya curiga, bahwa proyek politik identitas ini diciptakan untuk memperlemah kekuatan politik berbasis kerakyatan, agar supaya oligarki semakin mdncengkram dengan memojokkan politik Islam.

Inilah skenario kaum liberal dan sekuler (dalam makna yang pejoratif) juncto oligarki untuk merusak keberagaman yang terbangun selama ini. Kaum liberal dan sekuler ini tidak akan pernah berhenti untuk mengganggu umat Islam dengan narasi islamphobia yang cukup merusak dengan menciptakan ketakutan-ketakutan yang tidak mendasar.

Padahal dalam sejarah berdirinya Republik, kelompok Islam ini sedari awal telah secara toleran dan moderat menerima keragaman dan persatuan Indonesia sebagai capaian final untuk sebuah negara, tanpa embel-embel negara Islam.

Bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu tidak akan pernah terwujud kalau seandainya Politik Islam tidak tampil sebagai pelopornya. Muhammad Natsir Ketua Umum Partai Masyumi yang juga Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen Republik Indonesia Serikat mengusulkan mosi integral dan lahirnya NKRI.

Begitupun sebelum kemerdekaan, kekuatan Islam, baik melalui organisasi Islam seperti Muhammadiyah, NU, MIAI, Syarikat Islam dan lainnya berjuang dengan identitas keislamannya untuk memerdekakan Indonesia.

Atas dasar identitas Islam itu, ulama-ulama mengeluarkan Resolusi Jihad oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari (22 Oktober 1945). Hanya dengan kekuatan Islam sebagai kekuatan mayoritas itulah republik merdeka dan dipertahankan.

Karena itu, Saya meyakini, bahwa tidak ada sedikitpun noktah dalam pikiran umat Islam untuk melakukan diskriminasi terhadap etnis, suku, agama dan golongan. Sedari awal Islam berjuang untuk Negara Kesatuan, dan tidak akan mungkin merusak itu apapun alasannya.

Maka, hentikan tuduhan bahwa umat Islam atau politik Islam menggunakan politik identitas dengan niat memecah belah, karena itu fitnah keji bagi umat Islam. Umat Islam telah berpendirian, bahwa NKRI adalah kesepakatan bersama, tanpa berniat untuk merubahnya.

Sanggahan untuk Penganjur Politik Identitas

Penganjur narasi Politik Identitas seperti Hasto Kristianto telah menyulutkan api ketakutan dan phobia terhadap kelompok tertentu. Dalam pidatonya disekolah Partainya, Hasto menggelorakan Semangat Sumpah Pemuda, "demi menjaga identitas para kader partainya ditengah situasi politik yang cenderung mengarah pada praktik-praktik politik identitas" (viva.co.id, 28/10/2022)

Disatu sisi dia ingin mempertahankan Identitas partainya dengan menggelorakan perlawanan terhadap identitas politik kelompok lain. Dari perkataan Hasto dapat kita tangkap bahwa merekalah yang menggunakan politik Identitas untuk menyerang Identitas kelompok lain dengan cara mengkambinghitamkan kekuatan politik lain.

Dapat dikatakan, sejauh ini, kelompok Islam tidak pernah menggunakan politik Identitas untuk memusuhi kelompok lain. Umat Islam tidak pernah menjadikan politik Identitas untuk memecah belah bangsa ini, justru intergrasi bangsa terwujud dengan semangat identitas keIslaman dan keIndonesia yang menyatu dalam satu tarikan nafas, dengan cita-cita yang sama yaitu bangsa yang merdeka dan berdaulat bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Karena itu, setelah membaca pernyataan dari mereka yang anti politik identitas , saya dapat mengerti bahwa mereka berpolitik dengan Identitas, tetapi dengan cara yang kurang beradab, yaitu menyerang Identitas kelompok lainnya, kemudian memfitnahnya sebagai pemecah belah.

Selain Hasto, Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar itu menyebut partainya menolak politik identitas saat perhelatan Pemilu 2024 mendatang (Tribunnews.com, 21/10/2022). Dengan nada yang hampir sama, penolakan akan politik Identitas ini memiliki motif, yaitu ketakutan akan menyatunya kekuatan Islam.

Kalau kekuatan Islam menyatu maka pemilu 2024, bukan tidak mungkin dimenangkan oleh umat Islam. Nah untuk memecah kekuatan Islam itu, mereka memainkan narasi politik Identitas dengan nada yang memojokkan.

Tetapi yang agak mengecewakan ketika elit-elit Islam ikut memframing narasi politik identitas ini. Seperti Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyerukan agar politik identitas tidak lagi dimainkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. "Kita sudah sepakat tidak menggunakan politik identitas di dalam Pemilu nanti 2024," kata Ma'ruf di Serang, Jumat (28/10/2022).

Keterlibatan elit Islam dalam wacana ini bagi saya sangat melukai perasaan ummat. Sebab kita tau, tujuan mengkampanyekan politik identitas itu motif utamanya adalah menghadang politik Islam di pemilu.

Karena itu, saya semakin yakin bahwa politik Identitas adalah politisasi yang diciptakan untuk memojokkan kelompok tertentu, lebih khusus umat Islam, mereka menciptakan ketakutan ditengah masyarakat agar mereka merasa dizalimi, padahal mereka sendiri zalim dan menzalimi kelompok lain.

Akibatnya, partai-partai Islam dan partai partai yang berbasis Islam, dijauhkan dari umat Islam dan tidak mendapat dukungan dengan tujuan tidak memperoleh suara signifikan dalam pemilu, maka yang diserang adalah identitas politiknya, meskipun tidak secara langsung, tetapi cukup mempengaruhi perolehan suara partai Islam atau partai berbasis Islam, orang takut memilih, karena islamphobia itu.

Sebagai penutup saya mengajak kepada kita semua untuk menggunakan Identitas kebangsaan dan Identitas nasional dan identitas golongan untuk membangun bangsa. Karena dengan identitas itu kita memiliki semangat kebangsaan dan semangat kebudayaan yang menjadi identitas kita.

Jangan pernah takut untuk berpolitik dengan identitas, karena itu sebagai basis kekuatan kita baik untuk diri maupun untuk golongan lebih-lebih identitas nasional sebagai sebuah negara. Mempertahankan identitas nasional adalah mempertahankan negara dari ancaman dan bahaya yang merongrong kedaulatan negara. 

Penulis adalah Ketua Umum Partai Masyumi.