Bayang-Bayang Islamofobia: Ketakutan India Vs Kekuatan Islam Perspektif Politik dan Sejarah Global

Ilustrasi tentara India
Ilustrasi tentara India

India, sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, menyimpan kontradiksi mendalam dalam tubuh kebangsaannya. Satu sisi menjunjung pluralisme dan konstitusi sekuler, namun sisi lain memelihara ketakutan sistematis terhadap kekuatan Islam, baik dalam bentuk populasi Muslim domestik maupun geopolitik dunia Islam secara luas.

Pertanyaan yang menggoda akal kritis adalah: mengapa India takut terhadap kekuatan Islam? Ketakutan ini bukan sekadar paranoia, melainkan fenomena kompleks yang berpangkal pada sejarah kolonial, trauma pemisahan Pakistan, politik Hindutva, dan hegemoni nasionalis yang mengusung superioritas Hindu.

Tulisan ini akan menguliti anatomi ketakutan India terhadap Islam dari pelbagai sudut: sejarah, ideologi, demografi, hingga geostrategi global. Dengan pendekatan ilmiah dan kritis, kita akan menyigi apakah ketakutan ini rasional atau konstruksi politis semata demi menguatkan dominasi kelompok mayoritas atas minoritas yang terus dipinggirkan.

Jejak Sejarah: Dari Penaklukan Muslim ke Trauma Pemisahan

Ketegangan India-Islam memiliki akar historis panjang. Invasi Muslim ke anak benua India yang dimulai sejak abad ke-8 dan mencapai puncaknya pada era Kesultanan Delhi serta Dinasti Mughal, membentuk lanskap sejarah yang kompleks. Narasi dominan di India kontemporer — terutama dalam diskursus Hindutva — menginterpretasikan periode ini sebagai "seribu tahun penjajahan Muslim".

Penaklukan Mahmud dari Ghazni, invasi Muhammad Ghori, hingga pemerintahan Babur, diproyeksikan dalam wacana nasionalis sebagai luka historis yang belum sembuh. Padahal, fakta sejarah menunjukkan bahwa percampuran budaya, hukum, arsitektur, dan ekonomi selama era Mughal memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan India modern.

Ketakutan ini mengalami eskalasi pasca-pemisahan India-Pakistan tahun 1947. Trauma pembelahan yang melibatkan kekerasan sektarian dan perpindahan massal manusia menjadi luka nasional yang dieksploitasi oleh elit politik. Islam di mata nasionalis India bukan hanya agama, tapi simbol "pengkhianatan sejarah".

Politik Hindutva dan Proyek Negara Hindu

Bharatiya Janata Party (BJP) dan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) menjadi tulang punggung ideologi Hindutva — suatu proyek politik yang hendak menjadikan India sebagai negara Hindu sejati. Dalam ideologi ini, Islam dipandang sebagai "unsur asing", sebuah entitas yang tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari tubuh India.

Islamofobia dalam diskursus Hindutva bukan hanya bentuk kebencian religius, tapi strategi politik untuk memobilisasi suara mayoritas. Framing terhadap Muslim sebagai ancaman digunakan untuk membenarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif, seperti Citizenship Amendment Act (CAA) dan National Register of Citizens (NRC) yang menyasar komunitas Muslim.

Narasi yang dibangun bukan lagi koeksistensi, tapi dominasi. India di bawah bayang-bayang Hindutva bukan negara sekuler, melainkan proyek homogenisasi identitas. Ketakutan terhadap Islam adalah bahan bakar ideologi ini, seperti halnya antisemitisme pernah digunakan dalam proyek fasisme Eropa.

Ketakutan Demografi: “Muslim Akan Kuasai India”

Propaganda demografis menjadi senjata utama dalam membentuk ketakutan massal terhadap Islam. Narasi yang sering digemakan: “Muslim berkembang biak lebih cepat”, “Muslim akan jadi mayoritas dalam beberapa dekade”. Statistik dipelintir dan dimanipulasi untuk memupuk paranoia massal.

Padahal, data sensus India secara konsisten menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Muslim memang sedikit lebih tinggi, tapi tidak sedemikian rupa untuk mengancam dominasi Hindu.

Bahkan dalam laporan NFHS-5 (National Family Health Survey), tingkat kelahiran Muslim mengalami penurunan signifikan seiring meningkatnya pendidikan dan akses terhadap layanan kesehatan.

Namun dalam atmosfer politik India, fakta kalah pamor dari ketakutan. Diskursus politik lebih memilih menggunakan "muslim phobia" untuk mengalihkan perhatian dari masalah struktural seperti kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial.

Islam sebagai Kekuatan Global dan Kecemasan Geopolitik

Kecemasan India terhadap kekuatan Islam juga tumbuh dari dinamika internasional. Negara-negara Islam, terutama Timur Tengah dan Asia Tenggara, dianggap sebagai kekuatan alternatif yang dapat membentuk solidaritas Muslim global.

Ketika Palestina didukung secara luas oleh komunitas Muslim, ketika OIC bersuara terhadap penindasan Muslim di India, negara ini mulai merasa "terpojok" dalam opini dunia.

Hubungan India dengan negara-negara Muslim, seperti Iran, Turki, dan Indonesia, juga sering kali bersifat ambivalen. Di satu sisi, India ingin menjalin kemitraan ekonomi; di sisi lain, ia mencurigai kekuatan politik Islam global sebagai ancaman terhadap "kedaulatan nasional".

Ketika Recep Tayyip Erdogan bersuara menentang perlakuan India terhadap Kashmir, media nasionalis India dengan cepat melabelinya sebagai "intervensi Islamis".

Kashmir sendiri adalah simbol ketakutan geopolitik India terhadap Islam. Mayoritas Muslim di wilayah tersebut, ditambah dengan konflik bersenjata, menjadikan narasi "Islam sebagai separatis" semakin kuat. India tidak hanya takut akan kekuatan militer Pakistan, tapi juga kekuatan solidaritas Islam global terhadap Kashmir.

Islam dan Resistensi Sosial: Ketakutan akan Kesadaran Kritis

Salah satu faktor yang kerap dilupakan adalah bahwa Islam dalam banyak konteks historis dan kontemporer merupakan sumber resistensi terhadap ketidakadilan. Dalam konteks India, Islam sering menjadi simbol perlawanan terhadap kasta, diskriminasi, dan eksklusi sosial.

Gerakan Dalit-Muslim Unity (Persaudaraan kaum tertindas), kritik terhadap Brahmanisme, serta perlawanan terhadap struktur oligarkis yang dipelihara negara, menjadikan Islam sebagai kekuatan tandingan ideologis. Di sinilah letak ketakutan yang sesungguhnya: Islam bukan hanya soal agama, tapi simbol pembebasan dari struktur penindasan yang mapan.

Rakyat Muslim India yang sadar politik dan identitasnya dianggap berbahaya. Mereka dibungkam, dimiskinkan, dan dicitrakan buruk agar tidak menularkan kesadaran kritis kepada kelompok-kelompok marginal lain. Ketakutan ini bersifat ideologis — karena Islam menawarkan narasi keadilan sosial yang kontradiktif terhadap proyek dominasi elite.

Media, Industri Ketakutan, dan Normalisasi Islamofobia

Media di India memainkan peran destruktif dalam menormalisasi ketakutan terhadap Islam. Channel televisi arus utama seperti Republic TV, Times Now, atau Zee News secara terbuka menyebarkan narasi bahwa Muslim adalah teroris, pengkhianat, atau biang kerok kekacauan sosial.

Industri film Bollywood pun tidak luput dari bias ini. Film-film yang menampilkan Muslim sebagai ekstremis, fanatik, atau pembawa konflik menjadi narasi dominan. Representasi ini membentuk persepsi kolektif bahwa Islam adalah “masalah” dalam tubuh India.

Industri ketakutan ini menghasilkan keuntungan politik dan ekonomi. Ketika publik dicekoki rasa takut terhadap Islam, mereka lebih mudah dimobilisasi untuk memilih partai yang menjanjikan “keamanan” dan “perlindungan terhadap mayoritas”.

Kontradiksi Demokrasi India: Sekuler dalam Konstitusi, Islamofobik dalam Praktik

India bangga dengan statusnya sebagai demokrasi terbesar. Namun, praktik yang dijalankan menunjukkan kontradiksi mendalam. Kebebasan beragama hanya berlaku secara formalistik. Dalam realitas, Muslim India mengalami pengawasan, diskriminasi, dan bahkan kekerasan sistematis.

Laporan dari berbagai LSM internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch, hingga USCIRF (United States Commission on International Religious Freedom) menunjukkan bahwa kebebasan Muslim di India mengalami kemunduran drastis dalam dua dekade terakhir. Pembatasan terhadap masjid, diskriminasi dalam pekerjaan, hingga kekerasan vigilante oleh kelompok Hindu radikal adalah kenyataan sehari-hari.

Demokrasi India berada dalam bayang-bayang majoritarianisme. Islam dijadikan kambing hitam atas kegagalan pemerintah dalam memenuhi janji-janji pembangunan. Ketakutan terhadap Islam adalah ilusi yang dipelihara untuk menutupi kebusukan di ruang kekuasaan.

Ketakutan atau Kejahatan Terencana?

Pertanyaan terakhir yang mesti kita ajukan secara kritis: apakah India benar-benar takut terhadap kekuatan Islam, ataukah ketakutan ini hanyalah kedok bagi proyek penindasan sistematis?

Dalam analisis sosiopolitik kontemporer, Islamofobia lebih tepat disebut sebagai strategi kekuasaan daripada reaksi psikologis. Ia diproduksi, direkayasa, dan disebarkan dengan tujuan politis yang jelas: mempertahankan status quo dan mengeliminasi kemungkinan bangkitnya kekuatan tandingan yang berbasis spiritualitas dan keadilan.

Jika kita mengamati pola-pola represi terhadap Muslim di berbagai negara, kita akan mendapati kemiripan yang mencolok: dari Myanmar, China, hingga India. Ketakutan terhadap Islam seringkali digunakan sebagai justifikasi untuk genosida simbolik dan kadang fisik. Maka, bukan Islam yang berbahaya, tapi kekuasaan yang takut kehilangan legitimasi moral di hadapan kekuatan keadilan yang diwakili ajaran Islam.

India tidak takut pada Islam karena Islam mengancam negara secara objektif, melainkan karena Islam menghadirkan tantangan moral, spiritual, dan sosial terhadap tatanan yang timpang. Ketakutan ini adalah cermin kelemahan negara yang tak sanggup berdamai dengan pluralisme sejati.

Ketika Islam menawarkan keadilan, kesetaraan, dan resistensi terhadap penindasan, negara yang membangun kekuasaan di atas diskriminasi merasa terancam.

Maka, jawabannya jelas: India takut pada kekuatan Islam karena kekuatan itu bukan dalam bentuk militer atau demografi, melainkan dalam bentuk ide — ide tentang keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan yang melampaui batas agama. Dan dalam dunia yang semakin timpang dan penuh kebohongan, ide semacam itu adalah bahaya nyata bagi mereka yang ingin berkuasa tanpa dipertanyakan.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news