Ketika Indonesia dan Presiden Jokowi Dapat Mandat Memimpin Dunia

Presiden Indonesia, Joko Widodo/Net
Presiden Indonesia, Joko Widodo/Net

INDONESIA memimpin dunia sudah benar, Jokowi sudah dilantik sebagai G20 Presidency, dan Indonesia telah diangkat menjadi Climate Change Super Power. Percaya tidak percaya ini merupakan takdirnya Indonesia dan Jokowi. Secara spiritual ini wahyu jagat telah turun.

Banyak yang mengira ini bukanlah sebuah posisi yang penting, ini cuma giliran kepemimpinan G20. Pandangan demikian sah-sah saja. Namun dari sisi geopolitik saat ini dugaan semacam itu keliru. Karena ini adalah ujian terakhir bagi G20. Kredibel, kuat atau cuma dahan rapuh atau kerupuk.

Selain itu, ini untuk pertama kali Indonesia berada pada posisi kepemimpinan yang sejalan dengan kebutuhan geopolitik dengan pembukaan UUD 1945 yakni menjaga ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh karenanya butuh cara yang benar, satu cara saja bagi Indonesia untuk menuntaskan amanahnya. Kesempatan yang tidak akan datang lagi, kalau sekarang tidak bisa menjalankan, maka tidak akan pernah bisa apa-apa.

Jokowi mesti berpikir keras, satu cara bisa tuntaskan banyak masalah. Satu kali dayung 7.000 kilometer lebih panjang Indonesia terlampaui, jadi cara apa yang bisa dilakukan Indonesia - Jokowi?

Coba kita perhatikan bagaimana kepemimpinan dunia pernah terjadi dalam sejarah modern yang kita dengar. Pertama harus dipimpin atau dipandu oleh sebuah falsafah dan ideologi. Sebuah cara pandang baru yang merupakan jalan yang harus ditempuh dan itu tentu saja menjadi tawaran Indonesia.

Selanjutnya yang kedua adalah strategi, yakni sebuah konstitusi baru dunia, konstitusi bersama yang jika dipegang secara konsisten maka masih ada peluang dunia selamat.

Sebaliknya jika tidak konsisten dan konsekuen maka dunia terus meluncur ke jurang sebagaimana yang terjadi sekarang sedang meluncur deras ke jurang. Ada yang berpegangan pada pohon, dahan dan rating yang telah rapuh. Pegangan yang lain belum disediakan oleh Indonesia.

Ketiga, Indonesia harus dapat menyediakan uang. Untuk bisa menyediakan uang maka ada tiga cara yang dapat ditempuh oleh Indonesia yakni: Pertama, Indonesia harus membuat uang yang dapat digunakan seluruh dunia untuk dapat keluar dari masalah tidak adanya uang untuk menjalankan sistem baru yang ditawarkan Indonesia.

Kedua, kalau tidak bisa membuat uang, maka Indonesia harus mencari uang. Ketiga kalau tidak bisa mencari uang maka Indonesia harus meminta semua orang mengumpulkan uang.

Tapi menjadi pemimpin kalau cuma bisa meminta orang mengumpulkan uang wibawa pemimpin itu tidak ada. Pemimpin tidak boleh menjadi pengengemis apalagi mengemis kepada yang sedang susah.

Setelah selesai dalam uang maka harus membangun organisasi kerja multilateral yang kuat, tangguh dipercaya, punya kredibilitas untuk menjalankan strategi yang ada. Di dunia ini terdiri dari orang tidak baik.

Orang orang yang punya uang tapi membuat kerusakan. Juga ada orang baik, tapi tidak punya kekuatan untuk berbuat kebaikan. Inilah fungsi organisasi baru yang akan dibangun. Organisasi yang mengurus perusahaan, mengurus negara dan mengurus seluruh anggota masyarakat dunia.

Tapi mungkin pemerintah Indonesia Jokowi bingung bagaimana memimpin dunia, bukan hanya memimpin negara-negara, tapi memimpin masyarakat dunia.

Bagaimana bisa Indonesia menjalankan? Apakah Indonesia mampu? Setahu kita dunia sudah mampu kayuh sepeda 100 km, Indonesia merasa dirinya hanya bisa kayuh sepeda 2 km. Bagaimana memimpin?

Begini saja dulu, coba tunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mau, dan bersedia mengemban amanah ini. Cara menunjukkan kemauan itu bisa dimulai dari APBN Indonesia dan dana CSR akan dialokasikan untuk membiayai komunitas global yang mau mendedikasikan hidup mereka pada perbaikan dunia, membangun inisiatif iklim dan mendorong keterbukaan digitalisasi secara internasional bagi transparansi.

Kalau belum punya uang bisa dimulai dengan membiayai Asia dulu, kalau uang masih sangat sedikit bisa dimulai dari Asean. Intinya mulai dengan menjadi pemimpin yang banyak memberi. Bagaimana sinuhun, iso apa ora

Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)