Korupsi Mamin Fiktif di BKPP, Praktisi Hukum: Penilaian BPK ke Pemkab Banyuwangi Patut Dipertanyakan

Direktur Diska Legal Office di Jalan Mendut Regency Blok M1 Banyuwangi, Ahmad Syauqi/dok. RMOLJatim
Direktur Diska Legal Office di Jalan Mendut Regency Blok M1 Banyuwangi, Ahmad Syauqi/dok. RMOLJatim

Dugaan tindak pidana korupsi makan minum (Mamin) fiktif di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan tahun anggaran 2021 menyeret nama Kepala Badan, NH, jadi tersangka.


Lantas, kecurigaan muncul terhadap perolehan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Pemkab Banyuwangi, 10 kali berturut-turut.

 Direktur Diska Legal Office, Ahmad Syauqi menyatakan, kasus tipikor yang tengah ditangani Kejaksaan Negeri Banyuwangi itu disebut sudah on the track. Sedang, penetapan tersangka NH tentunya juga tidak mengabaikan dua alat bukti, untuk membuktikan modus korupsi yang dituduhkan.

“Bahwa terkadang pada alat bukti keterangan saksi sebuah kasus bisa berkembang, harapan saya Kejari dapat menemukan petunjuk aliran dana korupsi ini hingga ke hilir,” ungkap Ahmad Syauqi kepada Kantor Berita RMOLJatim, Selasa (15/11).

 Karena pada prakteknya, korupsi di dalam lembaga pemerintahan seringkali tidak berdiri sendiri. Ada pejabat yang berwenang dan pihak swasta yang memperkaya pejabat tersebut atau sebaliknya.

 Maka seharusnya, kata dia, delik formil yang diterapkan adalah pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2021 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) KUHP.

 Sehingga tersangka bisa berkembang, baik untuk menjerat pihak penyedia Mamin karena memperkaya pejabat. Sedang pasal 3 lebih spesifik digunakan untuk menjerat para pejabat BKPP.

 “Adapun pasal 55 ayat (1) KUHP, penyidikan atau persidangan nantinya harus mampu menelusuri aliran dari hulu ke hilir dana korupsi tersebut. Termasuk mens rea atau niat jahat para pelakunya,” tegasnya.

 Ia menjelaskan, apakah berhenti di inisiatif Kepala BKPP saja atau ada pejabat di atasnya yang memerintahkan, secara langsung atau tidak langsung. Langsung maksudnya pada kasus a quo, dan secara tidak langsung dapat diartikan ada skema upeti ke atasan, yang menjadi target setoran dari SKPD-SKPD secara berkala.

 “Meski actus reus atau keterlibatan pidana mereka harus dibuktikan pada tahap selanjutnya. Termasuk apakah nilai kerugian negara akibat kasus ini hanya Rp 400-an juta itu atau jauh lebih besar,” beber Syauqi.

Menurut pria kelahiran Banyuwangi itu, tindakan korupsi adalah sebuah perilaku. Dalam kamus, perilaku diartikan sebagai reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Sehingga kenapa seseorang bisa korupsi tidak hanya akibat tingginya gaya hidup dan moral yang lemah. Namun bagi seorang pejabat pemerintah, faktor akuntabilitas, budaya organisasi dan teladan pemimpin sangat mempengaruhi.

 “Jika sebuah SKPD dipimpin seorang yang korup, maka hampir dipastikan organisasi yang dipimpinnya tidak memiliki akuntabilitas yang benar. Tapi, bukannya sudah ada penilaian dari BPK.”

Justru, jika kasus ini dapat dibuktikan di persidangan, maka patut dipertanyakan penilaian yang diberikan BPK kepada Pemkab Banyuwangi selama ini. Dan jika dugaan korupsi terjadi tidak hanya di satu SKPD, besar kemungkinan faktor teladan yang dicontohkan pejabat tertinggi menjadi sebab utama lahirnya budaya korupsi di pemkab tersebut,” ungkapnya.

 Ia berpendapat, dari berbagai motif korupsi oleh pejabat pemerintah, motif afiliasi dan kekuasaan adalah yang terkuat. Sebab, motif afiliasi terdapat hubungan langsung perilaku suap sebagai bagian perilaku korupsi, yakni suap dari bawahan kepada atasan. Dalam birokrasi pemerintahan, modus suap ini cenderung terfasilitasi dan terjadi terus-menerus.

 “Hal ini karena persepsi yang sama antara atasan dan bawahan, yakni manfaat komersial atas distribusi jabatan dan kekuasaan,” jelas dia.

 Pada tahap selanjutnya, individu dengan kekuasaan lebih tinggi paling memungkinkan untuk melakukan korupsi. Ini karena dia memiliki akses atas pemenuhan kebutuhan akan status, pengakuan, dan penghargaan dari bawahan dan pejabat lain.

 “Meski seringkali motif kekuasaan ini sifatnya personal, yakni untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan egoistis. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Di antara kekuasaan absolut adalah, kekuasaan yang dipegang oleh satu atau dua keluarga secara terus-menerus atau turun-temurun,” pungkas praktisi hukum yang berkantor di Mendut Regency Blok M1 Banyuwangi itu.