Diungkap Mendagri, Arus Uang Teroris


PENDANAAN teroris berubah. Dari transfer ke teroris, jadi himpun dana kedok yayasan sosial keagamaan, kata Mendagri, Muhammad Tito Karnavian di seminar virtual, Rabu, 23 November 2022. 

Soal pemberantasan teroris, Tito jagonya. Saat Densus 88 Anti-teror dibentuk Kapolda Metro Jaya, Irjen Firman Gani, 2004, Tito (waktu itu pangkat AKBP) memimpin tim, 75 polisi.

9 November 2005 Tito memimpin Densus 88 menggerebek markas teroris asal Malaysia, dr Azhari, di Batu, Malang. Lokasi dikepung delapan jam. Akhirnya baku tembak Azhari tewas di situ.

Terakhir, Tito Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 16 Maret 2016 – 13 Juli 2016. Lalu ia jadi Kapolri (13 Juli 2016 – 22 Oktober 2019).

Dipaparkan, tragedi Bom Bali Satu, 12 Oktober 2002. Korban tewas 202 orang, pelaku Jamaah Islamiyah, antara lain Hambali dan Mukhlas. Pembayaran ditransfer langsung. Dari penyuruh kepada pelaku teroris.

Tito: "Pendanaan bom Bali dari luar. Masuknya transfer uang ke keluarga pelaku teroris. Ada juga yang ditransfer langsung, kepada Hambali dan Muklas untuk pendanaan bom Bali satu."

Sebelumnya, 1 Agustus 2000 bom mobil diledakkan di depan rumah Dubes Filipina, Leonides T. Caday, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Dua warga tewas, puluhan luka. Pelaku: Al-Ghozi dan Amrozi.

Tito: "Pendanaan bom di Kedutaan Besar Filipina pendanaan lewat transfer kepada pelaku dan keluarga mereka."

Itu sejarah awal pendanaan teroris di Indonesia. Terorisnya ditransfer langsung ke rekening mereka, atau keluarga mereka. Dari penyuruh di luar negeri.

Setelah 2010 pola pendanaan teroris berubah. Tidak ada lagi bohir dari luar negeri. Setidaknya, sepi bohir. Karena mereka terlacak, diketahui pemerintah Indonesia.

Maka, terorisnya, atau pendukung teroris, merampok, mencuri, atau kejahatan finansial lain, untuk disumbangkan kepada pelaku teroris. Dari semula dibayari orang luar, berubah biaya mandiri. Dari hasil kejahatan.

Model itu pun kemudian terungkap juga. Pola berubah lagi. Kelompok teroris menyebar kotak amal. Di aneka tempat. Pasar swalayan, paling banyak di minimarket, tempat ibadah, atau tempat berkumpulnya orang.

Model ini ketahuan. Semula penyumbang tidak tahu bahwa sedekah mereka dijadikan dana teroris. Setelah banyak orang tahu, kotak amal jadi sepi penyumbang. Teroris jadi kekurangan dana, atau tidak ada yang bayar.

Sekarang, ditemukan yayasan-yayasan berbadan hukum, tapi ternyata mendanai terorisme.

Tito: "Sekarang menggunakan jalur-jalur seperti jalur sosial, kegiatan sosial, yayasan sosial. Saya tidak mengatakan semua, tapi yang kita temukan seperti itu. Yayasan sosial, yayasan-yayasan keagamaan, yang mungkin terafiliasi pada kelompok teroris."

Yayasan dimaksud, berbadan hukum. Sehingga arus uang di situ dianggap legal. Tapi, uangnya disalurkan membayar pelaku teroris.

Dikutip dari laman resmi Bank Indonesia, tindakan pemerintah soal itu disebut Anti Pencucian Uang (APU) dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme (PPT).

Lembaga keuangan, bank atau non-bank, rentan digunakan sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan PPT. Uang ilegal itu bergerak, tersamar di antara jutaan transaksi legal per hari.

Bank Indonesia sudah melakukan penilaian risiko Money Laundering (ML), Terrorist Financing (TF), dan Financing of Proliferation of Weapons of Mass Destruction (PFWMD) di sektor Penyelenggara Jasa Pembayaran Non Bank dan PVA Bukan Bank.

Penilaian didasarkan pada geografis, pelanggan, produk dan layanan, dan saluran pengiriman. Penilaian risiko dituangkan dalam Sectoral Risk Assessment (SRA).

Jadi, yang diwaspadai Bank Indonesia kini ada tiga: 1) Pencucian uang hasil kejahatan. 2) Pendanaan terorisme. 3) Pendanaan senjata pemusnah masal (PFWMD). Meskipun sekarang belum ada kasus untuk item nomor tiga.

Tapi, itu tugas Bank Indonesia sekarang menuju Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025

SPI 2025 menjamin keseimbangan antara inovasi dan integritas sistem pembayaran, melalui penerapan Anti Pencucian Uang, Kontra Pembiayaan Terorisme, dan Pencegahan Proliferasi Pembiayaan Senjata Pemusnah Massal

Ketatnya pengawasan lalu-lintas uang lewat bank atau lembaga keuangan bukan bank, membuat pendanaan teroris balik lagi ke zaman kuno: Membewa uang kontan.

Tito: "Tahun 2022, dari Januari-September, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) menerima 1.813 laporan pembawaan uang tunai dari sembilan lokasi pelaporan yang berada di perbatasan wilayah pabean. Antara lain, diduga pendanaan terorisme. Mayoritas lokasi pelaporan di Batam dan Bandara Soetta."

Berarti, ada indikasi pendanaan terorisme balik ke zaman dulu lagi: Bohir dari luar negeri lagi. Tentunya, jumlah pendanaan dari luar lebih besar dan lebih gurih dibanding teroris biaya mandiri, dengan cara merampok atau kotak amal.

Densus 88 Anti-teror pastinya mewaspadai ini. Untuk berperang (melawan teroris), putuskan jalur pasokan logistik dan makanan.

Dikutip dari strategi panglima perang China legendaris, Sun Tzu, strategi nomor dua, berbunyi: "Kepung Wei untuk mendapatkan Zhao".

Arti: Ketika musuh sulit diprediksi kapan bakal menyerang, maka seranglah sesuatu berharga yang mereka miliki. Yakni, jalur pasokan senjata dan makanan. Jelasnya: Uang.

Tanpa uang, teroris tidak perlu diprediksi lagi. Gerakan mereka bakal mati.

Penulis adalah wartawan senior

ikuti terus update berita rmoljatim di google news